Pengesahan UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat pada tanggal 27 Oktober 2011 lalu telah menimbulkan pro dan kontra. Pro kontra tersebut bermuara pada tiga hal, yaitu isu marjinalisasi lembaga amil zakat (LAZ) bentukan masyarakat, superioritas negara dan sentralisasi pengelolaan zakat nasional, serta ketidaksamaan level of playing field akibat perbedaan perlakuan antara BAZNAS dengan LAZ, sehingga dikhawatirkan UU yang baru ini menjadi kontra produktif dengan upaya pembangunan zakat nasional.
Adanya kekhawatiran tersebut merupakan hal yang wajar. Namun demikian, ada perspektif lain yang harus dipahami sehingga kita tidak salah kaprah dalam menilai UU yang baru. Pertama, munculnya kekhawatiran akan terjadinya marjinalisasi kekuatan masyarakat sipil, antara lain dipicu oleh Pasal 17 UU No 23/2011, dimana keberadaan LAZ hanya untuk membantu BAZNAS. Kata membantu memberikan kesan adanya degradasi posisi LAZ, dimana berdasarkan UU yang lama (UU No 38/1999) posisi LAZ sejajar dengan BAZ.
Jika ditelaah secara mendalam, sesungguhnya tidak ada satu pun pasal dalam UU yang mereduksi fungsi LAZ dalam menghimpun dan menyalurkan zakat. LAZ yang telah terakreditasi sebelumnya, tetap bisa menjalankan program seperti biasa. Yang ada adalah tambahan tugas LAZ untuk melaporkan kegiatan penghimpunan dan pendayagunaan zakat yang telah dilakukannya kepada BAZNAS (Pasal 19), dan bukan kewajiban untuk menyetorkan zakat kepada BAZNAS. Hal ini dimaksudkan agar konsolidasi dan sinergi antar lembaga zakat menjadi lebih baik. Meski BAZNAS memiliki kewenangan sebagai penanggung jawab tugas pengelolaan zakat secara nasional (Pasal 6), akan tetapi LAZ tetap memiliki ruang gerak secara mandiri. Yang penting semua terkoordinasikan dengan baik.
Pemicu kekhawatiran yang kedua, adalah terkait dengan persyaratan ormas Islam bagi LAZ (Pasal 18). Seolah-olah LAZ harus berafiliasi dengan ormas yang telah ada. Padahal tidak ada keharusan untuk berafiliasi dengan ormas yang telah ada. LAZ sendiri pun bisa mendaftarkan diri sebagai ormas, dimana persyaratan pendirian ormas ini sesungguhnya tidak terlalu ketat, jika yang menjadi rujukan adalah UU No 1/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Dikotomi Sipil vs Negara
Terkait dengan tudingan superioritas negara atas masyarakat sipil, penulis melihat ada kekeliruan persepsi di tengah masyarakat. Seolah-olah keduanya adalah entitas yang saling berhadapan dan saling melemahkan. Apalagi mengingat kondisi negara dan pemerintah yang saat ini mengalami krisis kepercayaan. UU ini pun lantas dipandang sebagai supremasi kemenangan negara atas masyarakat sipil.
Menurut penulis, argumentasi ini kurang tepat. Oleh karena itu, kita harus melihat zakat ini dari kacamata syariah, jangan sampai nilai-nilai syariah zakat justru tercerabut. Secara syariah, konsep pelaksanaan zakat selalu dikaitkan dengan kekuasaan. Makna ‘khuz’ dalam QS. 9: 103 menunjukkan adanya ‘back up’ kekuasaan dalam pengelolaan zakat. Demikian pula dalam sejarah Islam sejak zaman Rasul SAW.
Namun demikian, dalam konteks Indonesia, keberadaan lembaga zakat bentukan masyarakat juga memiliki andil yang sangat besar dalam mendorong lahirnya institusi zakat yang amanah, kredibel dan profesional. BAZNAS sendiri pun lahir dari rahim perjuangan LAZ yang terhimpun dalam Forum Zakat (FOZ). Karena itu menurut penulis, agar selaras dengan konsep syariah, maka keberadaan LAZ ketika sudah dikukuhkan secara resmi, harus dianggap sebagai ‘bagian dari kekuasaan’. Alasannya sederhana, karena keberadaan dan operasionalisasi LAZ dijamin dan diakui legalitasnya oleh UU, sehingga valid jika kita mengatakan LAZ sebagai bagian dari kekuasaan. Dengan demikian, dikotomi ini dapat kita hilangkan.
Selanjutnya, yang sering menjadi faktor penghambat sinergi BAZNAS dan LAZ adalah ‘paradigma kompetisi’ ala ekonomi konvensional. BAZNAS dan LAZ dianggap sebagai kompetitor yang berebut kue untuk memperbesar ‘market share’ masing-masing. Akibatnya, setiap lembaga akan menganggap institusi lainnya sebagai pesaing, apalagi muncul tudingan ketidakadilan karena BAZNAS memegang sebagian fungsi regulasi dan LAZ tidak, sehingga dikhawatirkan akan muncul konflik kepentingan. Konflik BAZNAS sebagai pemain yang memiliki sebagian kewenangan wasit, berhadapan dengan LAZ sebagai pemain murni.
Seharusnya yang dikembangkan adalah logika sebagai kesebelasan yang sama, bukan dua tim yang berbeda, dimana BAZNAS adalah kaptennya. Sebagai kapten, BAZNAS perlu memimpin dan mengkoordinasikan pemain-pemain yang lain, yang memiliki beragam posisi, agar target pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan dapat tercapai. Kebersamaan ini sangat penting, mengingat tantangan pengelolaan zakat ke depan semakin berat, baik dari sisi sosialisasi dan edukasi publik, dukungan regulasi, maupun ketersediaan SDM. Wallahu a’lam.
Irfan Syauqi Beik, Staf Ahli Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Adanya kekhawatiran tersebut merupakan hal yang wajar. Namun demikian, ada perspektif lain yang harus dipahami sehingga kita tidak salah kaprah dalam menilai UU yang baru. Pertama, munculnya kekhawatiran akan terjadinya marjinalisasi kekuatan masyarakat sipil, antara lain dipicu oleh Pasal 17 UU No 23/2011, dimana keberadaan LAZ hanya untuk membantu BAZNAS. Kata membantu memberikan kesan adanya degradasi posisi LAZ, dimana berdasarkan UU yang lama (UU No 38/1999) posisi LAZ sejajar dengan BAZ.
Jika ditelaah secara mendalam, sesungguhnya tidak ada satu pun pasal dalam UU yang mereduksi fungsi LAZ dalam menghimpun dan menyalurkan zakat. LAZ yang telah terakreditasi sebelumnya, tetap bisa menjalankan program seperti biasa. Yang ada adalah tambahan tugas LAZ untuk melaporkan kegiatan penghimpunan dan pendayagunaan zakat yang telah dilakukannya kepada BAZNAS (Pasal 19), dan bukan kewajiban untuk menyetorkan zakat kepada BAZNAS. Hal ini dimaksudkan agar konsolidasi dan sinergi antar lembaga zakat menjadi lebih baik. Meski BAZNAS memiliki kewenangan sebagai penanggung jawab tugas pengelolaan zakat secara nasional (Pasal 6), akan tetapi LAZ tetap memiliki ruang gerak secara mandiri. Yang penting semua terkoordinasikan dengan baik.
Pemicu kekhawatiran yang kedua, adalah terkait dengan persyaratan ormas Islam bagi LAZ (Pasal 18). Seolah-olah LAZ harus berafiliasi dengan ormas yang telah ada. Padahal tidak ada keharusan untuk berafiliasi dengan ormas yang telah ada. LAZ sendiri pun bisa mendaftarkan diri sebagai ormas, dimana persyaratan pendirian ormas ini sesungguhnya tidak terlalu ketat, jika yang menjadi rujukan adalah UU No 1/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Dikotomi Sipil vs Negara
Terkait dengan tudingan superioritas negara atas masyarakat sipil, penulis melihat ada kekeliruan persepsi di tengah masyarakat. Seolah-olah keduanya adalah entitas yang saling berhadapan dan saling melemahkan. Apalagi mengingat kondisi negara dan pemerintah yang saat ini mengalami krisis kepercayaan. UU ini pun lantas dipandang sebagai supremasi kemenangan negara atas masyarakat sipil.
Menurut penulis, argumentasi ini kurang tepat. Oleh karena itu, kita harus melihat zakat ini dari kacamata syariah, jangan sampai nilai-nilai syariah zakat justru tercerabut. Secara syariah, konsep pelaksanaan zakat selalu dikaitkan dengan kekuasaan. Makna ‘khuz’ dalam QS. 9: 103 menunjukkan adanya ‘back up’ kekuasaan dalam pengelolaan zakat. Demikian pula dalam sejarah Islam sejak zaman Rasul SAW.
Namun demikian, dalam konteks Indonesia, keberadaan lembaga zakat bentukan masyarakat juga memiliki andil yang sangat besar dalam mendorong lahirnya institusi zakat yang amanah, kredibel dan profesional. BAZNAS sendiri pun lahir dari rahim perjuangan LAZ yang terhimpun dalam Forum Zakat (FOZ). Karena itu menurut penulis, agar selaras dengan konsep syariah, maka keberadaan LAZ ketika sudah dikukuhkan secara resmi, harus dianggap sebagai ‘bagian dari kekuasaan’. Alasannya sederhana, karena keberadaan dan operasionalisasi LAZ dijamin dan diakui legalitasnya oleh UU, sehingga valid jika kita mengatakan LAZ sebagai bagian dari kekuasaan. Dengan demikian, dikotomi ini dapat kita hilangkan.
Selanjutnya, yang sering menjadi faktor penghambat sinergi BAZNAS dan LAZ adalah ‘paradigma kompetisi’ ala ekonomi konvensional. BAZNAS dan LAZ dianggap sebagai kompetitor yang berebut kue untuk memperbesar ‘market share’ masing-masing. Akibatnya, setiap lembaga akan menganggap institusi lainnya sebagai pesaing, apalagi muncul tudingan ketidakadilan karena BAZNAS memegang sebagian fungsi regulasi dan LAZ tidak, sehingga dikhawatirkan akan muncul konflik kepentingan. Konflik BAZNAS sebagai pemain yang memiliki sebagian kewenangan wasit, berhadapan dengan LAZ sebagai pemain murni.
Seharusnya yang dikembangkan adalah logika sebagai kesebelasan yang sama, bukan dua tim yang berbeda, dimana BAZNAS adalah kaptennya. Sebagai kapten, BAZNAS perlu memimpin dan mengkoordinasikan pemain-pemain yang lain, yang memiliki beragam posisi, agar target pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan dapat tercapai. Kebersamaan ini sangat penting, mengingat tantangan pengelolaan zakat ke depan semakin berat, baik dari sisi sosialisasi dan edukasi publik, dukungan regulasi, maupun ketersediaan SDM. Wallahu a’lam.
Irfan Syauqi Beik, Staf Ahli Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)