Masjid merupakan institusi umat yang sangat strategis. Di samping menjadi tempat melaksanakan shalat berjamaah, masjid juga memiliki fungsi sebagai ujung tombak pengelolaan zakat. Dalam QS 9 : 18 ditegaskan bahwa diantara ciri orang yang suka memakmurkan masjid adalah mereka yang terbiasa melaksanakan shalat berjamaah dan menunaikan kewajiban zakat. Terdapat korelasi yang sangat kuat antara shalat, zakat, dan masjid. Karena itu, di antara indikator masjid yang “hidup” aktivitasnya adalah ketika pengelolaan zakat, infak dan sedekah telah menjadi bagian penting dari keseharian kehidupan masjid. Inilah yang menjadi salah satu misi BAZNAS, yaitu bagaimana menjadikan masjid sebagai bagian integral dari sistem pengelolaan zakat nasional, dimana masjid dijadikan sebagai mitra strategis dalam upaya meningkatkan kesadaran zakat masyarakat.
Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk merealisasikan misi tersebut adalah menjadikan masjid sebagai UPZ (Unit Pengumpul Zakat) pada BAZNAS daerah, terutama BAZNAS di tingkat kota dan kabupaten. Pada sejumlah masjid, meski mereka mendapat status sebagai UPZ, namun mereka juga mendapatkan mandat sebagai penyalur zakat. Artinya, UPZ masjid ini bukan hanya sebagai unit pengumpul saja, melainkan juga berperan dalam hal pendistribusian dan pendayagunaan zakat, karena masjid dianggap sebagai institusi yang paling dekat dengan umat dan mengetahui peta mustahik di sekitarnya.
Agar fungsi dan peran sebagai UPZ ini dapat terealisasikan dengan baik, diperlukan adanya pendampingan dan pembinaan yang intensif. Hal ini sangat penting, karena tidak semua masjid yang memiliki UPZ, memiliki pemahaman dan kapasitas pengelolaan zakat yang memadai.
Pendampingan ini juga bertujuan untuk menstandarisasikan pengelolaan zakat di tingkat UPZ masjid, agar mereka memiliki keseragaman sistem dengan pola pengelolaan yang telah dikembangkan oleh BAZNAS kabupaten dan kota.
Namun demikian, harus diakui bahwa upaya menjadikan masjid sebagai ujung tombak pengelolaan zakat, tidak mudah dilakukan. Apalagi ditambah dengan pemahaman masyarakat terhadap zakat yang masih sangat terbatas. Banyak warga masyarakat, termasuk para tokoh dan pengurus masjid, yang hanya memahami zakat dalam konteks zakat fitrah. Oleh karena itu, edukasi dan sosialisasi konsep zakat yang benar dan komprehensif, menjadi pintu masuk yang harus dilalui dengan baik, agar jangan sampai ada konflik yang tidak perlu akibat minimnya pengetahuan yang dimiliki.
Pada tataran praksis, sejumlah BAZNAS daerah telah menunjukkan kinerja yang baik dalam hal pembinaan masjid sebagai UPZ. Di antaranya adalah BAZNAS Kota Bogor, BAZNAS Kabupaten Sukabumi dan BAZNAS Kota Balikpapan. Harus diakui bahwa dengan UU Pengelolaan Zakat yang lama (UU No 38/1999), inisiatif pelibatan masjid dalam pembangunan zakat, sangat bergantung pada komitmen dan kinerja BAZDA (Badan Amil Zakat Daerah). Akibatnya, tidak semua BAZDA memiliki program yang sama. Namun dengan adanya UU yang baru, yaitu UU No 23/2011, maka BAZNAS Pusat memiliki peluang untuk melakukan intervensi dan menstandarisasikan pengelolaan zakat pada level masjid, dengan BAZNAS kabupaten dan kota sebagai operator lapangannya.
Standarisasi yang dimaksud antara lain mencakup aspek penghimpunan, penyediaan BSZ (Bukti Setor Zakat) bagi para muzakki, pencatatan dan akuntansi keuangan, hak amil, penyaluran zakat secara produktif dan konsumtif, serta kaidah pelaporan yang memenuhi unsur transparansi dan akuntabilitas. Dengan adanya upaya standarisasi ini, diharapkan akan tercipta pengelolaan zakat berbasis masjid yang lebih efektif dan efisien. Wallahu a’lam.
Irfan Syauqi Beik
Staf Ahli BAZNAS
Salah satu upaya yang telah dilakukan untuk merealisasikan misi tersebut adalah menjadikan masjid sebagai UPZ (Unit Pengumpul Zakat) pada BAZNAS daerah, terutama BAZNAS di tingkat kota dan kabupaten. Pada sejumlah masjid, meski mereka mendapat status sebagai UPZ, namun mereka juga mendapatkan mandat sebagai penyalur zakat. Artinya, UPZ masjid ini bukan hanya sebagai unit pengumpul saja, melainkan juga berperan dalam hal pendistribusian dan pendayagunaan zakat, karena masjid dianggap sebagai institusi yang paling dekat dengan umat dan mengetahui peta mustahik di sekitarnya.
Agar fungsi dan peran sebagai UPZ ini dapat terealisasikan dengan baik, diperlukan adanya pendampingan dan pembinaan yang intensif. Hal ini sangat penting, karena tidak semua masjid yang memiliki UPZ, memiliki pemahaman dan kapasitas pengelolaan zakat yang memadai.
Pendampingan ini juga bertujuan untuk menstandarisasikan pengelolaan zakat di tingkat UPZ masjid, agar mereka memiliki keseragaman sistem dengan pola pengelolaan yang telah dikembangkan oleh BAZNAS kabupaten dan kota.
Namun demikian, harus diakui bahwa upaya menjadikan masjid sebagai ujung tombak pengelolaan zakat, tidak mudah dilakukan. Apalagi ditambah dengan pemahaman masyarakat terhadap zakat yang masih sangat terbatas. Banyak warga masyarakat, termasuk para tokoh dan pengurus masjid, yang hanya memahami zakat dalam konteks zakat fitrah. Oleh karena itu, edukasi dan sosialisasi konsep zakat yang benar dan komprehensif, menjadi pintu masuk yang harus dilalui dengan baik, agar jangan sampai ada konflik yang tidak perlu akibat minimnya pengetahuan yang dimiliki.
Pada tataran praksis, sejumlah BAZNAS daerah telah menunjukkan kinerja yang baik dalam hal pembinaan masjid sebagai UPZ. Di antaranya adalah BAZNAS Kota Bogor, BAZNAS Kabupaten Sukabumi dan BAZNAS Kota Balikpapan. Harus diakui bahwa dengan UU Pengelolaan Zakat yang lama (UU No 38/1999), inisiatif pelibatan masjid dalam pembangunan zakat, sangat bergantung pada komitmen dan kinerja BAZDA (Badan Amil Zakat Daerah). Akibatnya, tidak semua BAZDA memiliki program yang sama. Namun dengan adanya UU yang baru, yaitu UU No 23/2011, maka BAZNAS Pusat memiliki peluang untuk melakukan intervensi dan menstandarisasikan pengelolaan zakat pada level masjid, dengan BAZNAS kabupaten dan kota sebagai operator lapangannya.
Standarisasi yang dimaksud antara lain mencakup aspek penghimpunan, penyediaan BSZ (Bukti Setor Zakat) bagi para muzakki, pencatatan dan akuntansi keuangan, hak amil, penyaluran zakat secara produktif dan konsumtif, serta kaidah pelaporan yang memenuhi unsur transparansi dan akuntabilitas. Dengan adanya upaya standarisasi ini, diharapkan akan tercipta pengelolaan zakat berbasis masjid yang lebih efektif dan efisien. Wallahu a’lam.
Irfan Syauqi Beik
Staf Ahli BAZNAS