Hadirnya UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat (UUPZ) sebagai pengganti dari UU No 38/1999 setidaknya mengindikasikan dua hal. Pertama, formalisasi syariat, yang menandakan bahwa UUPZ tidak sekular dan tidak tepat diposisikan (digugat dan dikritik) semata-mata dengan pertimbangan konstitusional tanpa argumentasi syariat. Kedua, adanya proses ijtihad, yang menandakan bahwa UU tidak mutlak seperti halnya syariat Islam itu sendiri. Indikator pertama membuktikan UU No 23/2011 sebagai bentuk keleluasaan umat Islam untuk mengatur urusan yang bertalian dengan ibadah sosial secara formal melalui hukum positif, disamping bentuk formalisasi syariat lainnya seperti dalam tatakelola urusan haji dan perkawinan.
Indikator kedua, pertimbangan (butir e) UU No 23/2011 menyatakan bahwa UU No 38/1999 sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti, menandakan bahwa UU No 23/2011 merupakan hasil ijtihad yang berubah sesuai dengan telaah ilmiah dan upaya penemuan aspek kemaslahatan publik, dan bukan hukum yang berdiri sendiri serta terlepas dari matriks hukum syariat.
Syariat yang selalu berupaya mewujudkan kemaslahatan adalah tetap dan tidak berubah, hanya keadaan masyarakat dan faktor-faktor sosial yang berubah. Tapi nyatanya faktor-faktor itu dapat memengaruhi elastisitas hukum (fiqih) Islam. Itulah mengapa para ulama merumuskan kaidah “la yunkaru taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azman” (tidak dapat dipungkiri adanya revisi hukum seiring dengan perkembangan zaman). Al-Burnu (1996) menegaskan bahwa yang dimaksud ‘hukum’ disana adalah hukum ijtihadi. Karena hukum asal yang ditetapkan oleh nash tidaklah berubah, yang mungkin berubah hanya hukum-hukum cabang yang interpretatif dan tidak disebutkan secara definitif dan spesifik oleh Alquran dan hadits perihal kebolehan atau ketidakbolehannya.
Adapun penolakan sebagian kalangan atas kaidah tersebut sebenarnya disebabkan karena memandang ‘hukum’ yang termaktub dalam kaidah sebagai hukum-hukum qath’iyyah, padahal yang sebenarnya berubah bukanlah hukum-hukum yang qath’iyyah akan tetapi yang ijtihadiyyah. Karena jika hukum ijtihadiyyah tidak bisa berubah, niscaya ijtihad tidak lagi diperlukan.
Alquran menegaskan bahwa hukum pada dasarnya bukan buah tangan manusia dan hasil olah pikir komunitas (lihat QS 12 : 40, QS 5 : 44-47). Di Indonesia, hukum positif dan hukum syariat secara umum masih merupakan dua legalitas yang berbeda. Satu-satunya cara untuk mengompromikannya adalah dengan jalan menemukan kemaslahatan (al-mashlahah). Wilayah kemaslahatan semacam ini diperkenankan untuk ditelusuri selama tidak secara definitif dan eksplisit disebutkan perintah atau larangannya dalam Alquran, hadits, atau melalui ijma’. Kalangan ahli hukum Islam mengenalnya dengan mashalih mursalah. Kemaslahatan semacam ini merupakan irisan antara hukum positif dan hukum syariat. Maka sekalipun UU No 23/2011 hanya diposisikan sebagai hukum positif tanpa kategorisasi sebagai produk ijtihad, ia tetap legitimate untuk dijadikan landasan hukum pengelolaan zakat di Indonesia, sepanjang mengandung unsur kemaslahatan secara jelas.
Proses yang digunakan untuk melegitimasi diterapkannya kemaslahatan yang ada dalam UU dilakukan melalui istishlah, yang secara teknis merupakan proses ilmiah untuk merekonstruksi hukum fiqih dengan pertimbangan mashalih mursalah. Terkait dengan ini, penulis sependapat dengan langkah yang diambil oleh al-Raisuni (1992) yang enggan membeberkan secara panjang lebar pandangan pro dan kontra seputar keabsahan mashlahah mursalah. Karena pada kenyataannya, penggunaan mashlahah mursalah untuk menarik suatu hukum telah lebih dahulu dipelopori oleh Umar bin Khaththab melalui riwayat yang mutawatir sampai kepada beliau. Indikasi ini diperoleh melalui prinsip-prinsip umum syariat yang bisa ditemukan melalui penelitian ilmiah induktif terhadap dalil-dalil yang qath’i.
Dalam klasifikasi Prof Wan Mohd Nor, sifat ijtihad termasuk relatif mutlak (relatively absolute) jika dibandingkan dengan syariat Allah yang pasti mutlaknya (absolutely absolute). Regulasi buatan manusia yang berupa undang-undang ataupun aturan sosial-politik lainnya, bukanlah aturan yang pasti benar dan mutlak, karena dia bersumber dari hasil pengamatan akal yang terbatas terhadap realita kehidupan yang dinamis. Sampai titik ini, undang-undang menjadi hal yang relatif untuk ditaati dan tidak mutlak untuk dijadikan acuan kehidupan sosial. Lain halnya jika undang-undang tersebut digali dari dalil-dalil syariat yang global, dan kemudian diformulasikan dalam bentuk peraturan, regulasi, atau undang-undang, maka posisinya tidak lagi menjadi relatif, akan tapi meningkat menjadi relatif mutlak. Ini karena ia merupakan hasil ijtihad yang digali dari dalil syariat dan berdasarkan metodologi pengambilan hukum yang benar menurut standarisasi ilmiah, namun mutlak karena memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat umum, sebagai konsekuensi dari hasil ijtihad yang absah dan valid.
Secara umum, kaidah bertindak yang semestinya dipegang pertama kali adalah “al-ashlu fi al-af’al al-taqayyud bi al-ahkam al-syar’iyyah” (pada dasarnya setiap perbuatan terikat dengan hukum syariat). Selanjutnya, konsiderasi kemaslahatan untuk menganalisis UU No. 23/2011 adalah yang sejalan dengan kaidah “taqdim al-mashlahah al-’ammah & ‘alaa al-khashshah” (mengedepankan kemaslahatan umum ketimbang kemaslahatan khusus). Al-Anzi (1997) menyitir kaidah tersebut dengan prefiks penjelas i’tibar (pertimbangan), yakni ‘i’tibar al-mashlahah al-’ammah muqaddamah ‘alaa i’tibar al-mashlahah al-khashshah (mempertimbangkan ‘kemaslahatan umum’ lebih didahulukan ketimbang mempertimbangkan kemaslahatan khusus).
Jelaslah bahwa pertimbangan kiprah dan “kebesaran” nama suatu LAZ tidak boleh dikedepankan melebihi pertimbangan besarnya tujuan kemaslahatan publik. Sekalipun pada kenyataannya masing-masing pola dan teknis pengelolaan, baik yang dikoordinasi oleh negara ataupun swasta memiliki sisi kemaslahatan partikular yang diyakini oleh setiap amil, namun tetap saja negara melalui UUPZ merupakan otoritas dan entitas yang jauh lebih besar dan lebih luas ketimbang swasta. Bahkan jika telah terbukti adanya kemaslahatan publik dalam implementasi undang-undang, maka legitimasi hukum dalam kaidah tersebut semakin kuat.
Kesalahan mendasar beberapa penggiat zakat, termasuk Koalisi Masyarakat Zakat (Komaz) yang secara resmi telah mengajukan judicial review atas UU No 23/2011 Tentang Pengelolaan Zakat, ialah paradigma a-fiqih yang mendasari persepsi kritisnya. Melalui apresiasi epistemologis terlihat bahwa upaya gugatan yang dilakukan tidak bertolak dari konsepsi yang tepat mengenai perspektif syariat perihal keamilan dan secara umum tentang posisi perundang-undangan dalam syariat, terlebih sebagai sebagai ijtihad dalam merealisasikan kemaslahatan publik. Benar bahwa gugatan yang dilayangkan membawa spirit perbaikan tatakelola zakat di Indonesia, dan tentu saja bertujuan sangat baik bagi LAZ.
Tidak dipungkiri pula bahwa upaya merevisi dan mengeliminasi beberapa pasal krusial dalam UU merupakan bentuk kekhawatiran akan mengendurnya hal-hal positif terkait tatakelola zakat yang sudah terlebih dahulu digulirkan oleh lembaga amil zakat, jauh sebelum terbitnya UU No 23/2011. Asumsi ini terbukti dengan hanya ada beberapa klausul saja yang dipermasalahkan, bukan keseluruhannya. Hal ini benar, karena semangat perbaikan pengelolaan zakat sama sekali tidak boleh didasarkan pada motif komunal.
Akan tetapi, langkah maju yang telah ditempuh dengan formalisasi pengelolaan zakat melalui UU No 23/2011 tidak layak dimentahkan dengan jalan ’sekular’ tanpa memertimbangkan metodologi ijtihad yang sah. Mengapa ’sekular’? karena UU No 23/2011 yang jelas membicarakan tatakelola zakat -yang merupakan ibadah sosial-finansial- diposisikan sebagai hukum positif an sich, bukan sebagai produk ijtihad. Padahal sejatinya dalam koridor ijtihad, kesimpulan yang benar bisa menjadi salah ketika metodologi dan proses penggalian hukum dilakukan secara salah. Sebaliknya, metodologi yang benar tetap menjadi benar sekalipun kesimpulan hukum mungkin saja salah. Dalam bahasa hadits dikatakan bahwa seorang mujtahid akan beroleh dua kebaikan atas cara dan kesimpulan yang benar, dan satu kebaikan atas cara yang benar dengan kesimpulan yang belum tepat (H.R. Al-Bukhari, 9/7352). Bahkan dalam perspektir tafsir dikatakan, “fa ashaaba, faqad akhta`a” (hasil benar yang tidak metodologis tetap dihitung sebagai sebuah kesalahan) (H.R. Abu Dawud, 3/3652). Karena itu, betapa pentingnya menyandarkan niat dan tujuan yang baik dengan metodologi yang tepat. Wallahu a’lam.
Zenno Noeralamsyah, Peneliti Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN)
Dr Irfan Syauqi Beik, Dosen IE-FEM dan MM Syariah IPB
Indikator kedua, pertimbangan (butir e) UU No 23/2011 menyatakan bahwa UU No 38/1999 sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti, menandakan bahwa UU No 23/2011 merupakan hasil ijtihad yang berubah sesuai dengan telaah ilmiah dan upaya penemuan aspek kemaslahatan publik, dan bukan hukum yang berdiri sendiri serta terlepas dari matriks hukum syariat.
Syariat yang selalu berupaya mewujudkan kemaslahatan adalah tetap dan tidak berubah, hanya keadaan masyarakat dan faktor-faktor sosial yang berubah. Tapi nyatanya faktor-faktor itu dapat memengaruhi elastisitas hukum (fiqih) Islam. Itulah mengapa para ulama merumuskan kaidah “la yunkaru taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azman” (tidak dapat dipungkiri adanya revisi hukum seiring dengan perkembangan zaman). Al-Burnu (1996) menegaskan bahwa yang dimaksud ‘hukum’ disana adalah hukum ijtihadi. Karena hukum asal yang ditetapkan oleh nash tidaklah berubah, yang mungkin berubah hanya hukum-hukum cabang yang interpretatif dan tidak disebutkan secara definitif dan spesifik oleh Alquran dan hadits perihal kebolehan atau ketidakbolehannya.
Adapun penolakan sebagian kalangan atas kaidah tersebut sebenarnya disebabkan karena memandang ‘hukum’ yang termaktub dalam kaidah sebagai hukum-hukum qath’iyyah, padahal yang sebenarnya berubah bukanlah hukum-hukum yang qath’iyyah akan tetapi yang ijtihadiyyah. Karena jika hukum ijtihadiyyah tidak bisa berubah, niscaya ijtihad tidak lagi diperlukan.
Alquran menegaskan bahwa hukum pada dasarnya bukan buah tangan manusia dan hasil olah pikir komunitas (lihat QS 12 : 40, QS 5 : 44-47). Di Indonesia, hukum positif dan hukum syariat secara umum masih merupakan dua legalitas yang berbeda. Satu-satunya cara untuk mengompromikannya adalah dengan jalan menemukan kemaslahatan (al-mashlahah). Wilayah kemaslahatan semacam ini diperkenankan untuk ditelusuri selama tidak secara definitif dan eksplisit disebutkan perintah atau larangannya dalam Alquran, hadits, atau melalui ijma’. Kalangan ahli hukum Islam mengenalnya dengan mashalih mursalah. Kemaslahatan semacam ini merupakan irisan antara hukum positif dan hukum syariat. Maka sekalipun UU No 23/2011 hanya diposisikan sebagai hukum positif tanpa kategorisasi sebagai produk ijtihad, ia tetap legitimate untuk dijadikan landasan hukum pengelolaan zakat di Indonesia, sepanjang mengandung unsur kemaslahatan secara jelas.
Proses yang digunakan untuk melegitimasi diterapkannya kemaslahatan yang ada dalam UU dilakukan melalui istishlah, yang secara teknis merupakan proses ilmiah untuk merekonstruksi hukum fiqih dengan pertimbangan mashalih mursalah. Terkait dengan ini, penulis sependapat dengan langkah yang diambil oleh al-Raisuni (1992) yang enggan membeberkan secara panjang lebar pandangan pro dan kontra seputar keabsahan mashlahah mursalah. Karena pada kenyataannya, penggunaan mashlahah mursalah untuk menarik suatu hukum telah lebih dahulu dipelopori oleh Umar bin Khaththab melalui riwayat yang mutawatir sampai kepada beliau. Indikasi ini diperoleh melalui prinsip-prinsip umum syariat yang bisa ditemukan melalui penelitian ilmiah induktif terhadap dalil-dalil yang qath’i.
Dalam klasifikasi Prof Wan Mohd Nor, sifat ijtihad termasuk relatif mutlak (relatively absolute) jika dibandingkan dengan syariat Allah yang pasti mutlaknya (absolutely absolute). Regulasi buatan manusia yang berupa undang-undang ataupun aturan sosial-politik lainnya, bukanlah aturan yang pasti benar dan mutlak, karena dia bersumber dari hasil pengamatan akal yang terbatas terhadap realita kehidupan yang dinamis. Sampai titik ini, undang-undang menjadi hal yang relatif untuk ditaati dan tidak mutlak untuk dijadikan acuan kehidupan sosial. Lain halnya jika undang-undang tersebut digali dari dalil-dalil syariat yang global, dan kemudian diformulasikan dalam bentuk peraturan, regulasi, atau undang-undang, maka posisinya tidak lagi menjadi relatif, akan tapi meningkat menjadi relatif mutlak. Ini karena ia merupakan hasil ijtihad yang digali dari dalil syariat dan berdasarkan metodologi pengambilan hukum yang benar menurut standarisasi ilmiah, namun mutlak karena memiliki kekuatan hukum untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat umum, sebagai konsekuensi dari hasil ijtihad yang absah dan valid.
Secara umum, kaidah bertindak yang semestinya dipegang pertama kali adalah “al-ashlu fi al-af’al al-taqayyud bi al-ahkam al-syar’iyyah” (pada dasarnya setiap perbuatan terikat dengan hukum syariat). Selanjutnya, konsiderasi kemaslahatan untuk menganalisis UU No. 23/2011 adalah yang sejalan dengan kaidah “taqdim al-mashlahah al-’ammah & ‘alaa al-khashshah” (mengedepankan kemaslahatan umum ketimbang kemaslahatan khusus). Al-Anzi (1997) menyitir kaidah tersebut dengan prefiks penjelas i’tibar (pertimbangan), yakni ‘i’tibar al-mashlahah al-’ammah muqaddamah ‘alaa i’tibar al-mashlahah al-khashshah (mempertimbangkan ‘kemaslahatan umum’ lebih didahulukan ketimbang mempertimbangkan kemaslahatan khusus).
Jelaslah bahwa pertimbangan kiprah dan “kebesaran” nama suatu LAZ tidak boleh dikedepankan melebihi pertimbangan besarnya tujuan kemaslahatan publik. Sekalipun pada kenyataannya masing-masing pola dan teknis pengelolaan, baik yang dikoordinasi oleh negara ataupun swasta memiliki sisi kemaslahatan partikular yang diyakini oleh setiap amil, namun tetap saja negara melalui UUPZ merupakan otoritas dan entitas yang jauh lebih besar dan lebih luas ketimbang swasta. Bahkan jika telah terbukti adanya kemaslahatan publik dalam implementasi undang-undang, maka legitimasi hukum dalam kaidah tersebut semakin kuat.
Kesalahan mendasar beberapa penggiat zakat, termasuk Koalisi Masyarakat Zakat (Komaz) yang secara resmi telah mengajukan judicial review atas UU No 23/2011 Tentang Pengelolaan Zakat, ialah paradigma a-fiqih yang mendasari persepsi kritisnya. Melalui apresiasi epistemologis terlihat bahwa upaya gugatan yang dilakukan tidak bertolak dari konsepsi yang tepat mengenai perspektif syariat perihal keamilan dan secara umum tentang posisi perundang-undangan dalam syariat, terlebih sebagai sebagai ijtihad dalam merealisasikan kemaslahatan publik. Benar bahwa gugatan yang dilayangkan membawa spirit perbaikan tatakelola zakat di Indonesia, dan tentu saja bertujuan sangat baik bagi LAZ.
Tidak dipungkiri pula bahwa upaya merevisi dan mengeliminasi beberapa pasal krusial dalam UU merupakan bentuk kekhawatiran akan mengendurnya hal-hal positif terkait tatakelola zakat yang sudah terlebih dahulu digulirkan oleh lembaga amil zakat, jauh sebelum terbitnya UU No 23/2011. Asumsi ini terbukti dengan hanya ada beberapa klausul saja yang dipermasalahkan, bukan keseluruhannya. Hal ini benar, karena semangat perbaikan pengelolaan zakat sama sekali tidak boleh didasarkan pada motif komunal.
Akan tetapi, langkah maju yang telah ditempuh dengan formalisasi pengelolaan zakat melalui UU No 23/2011 tidak layak dimentahkan dengan jalan ’sekular’ tanpa memertimbangkan metodologi ijtihad yang sah. Mengapa ’sekular’? karena UU No 23/2011 yang jelas membicarakan tatakelola zakat -yang merupakan ibadah sosial-finansial- diposisikan sebagai hukum positif an sich, bukan sebagai produk ijtihad. Padahal sejatinya dalam koridor ijtihad, kesimpulan yang benar bisa menjadi salah ketika metodologi dan proses penggalian hukum dilakukan secara salah. Sebaliknya, metodologi yang benar tetap menjadi benar sekalipun kesimpulan hukum mungkin saja salah. Dalam bahasa hadits dikatakan bahwa seorang mujtahid akan beroleh dua kebaikan atas cara dan kesimpulan yang benar, dan satu kebaikan atas cara yang benar dengan kesimpulan yang belum tepat (H.R. Al-Bukhari, 9/7352). Bahkan dalam perspektir tafsir dikatakan, “fa ashaaba, faqad akhta`a” (hasil benar yang tidak metodologis tetap dihitung sebagai sebuah kesalahan) (H.R. Abu Dawud, 3/3652). Karena itu, betapa pentingnya menyandarkan niat dan tujuan yang baik dengan metodologi yang tepat. Wallahu a’lam.
Zenno Noeralamsyah, Peneliti Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN)
Dr Irfan Syauqi Beik, Dosen IE-FEM dan MM Syariah IPB