Pada tanggal 11 Desember 2012 lalu, BAZNAS mendapat undangan untuk menghadiri forum Expert Group Meeting IDB (Islamic Development Bank) di Jeddah, yang membahas rencana IDB untuk mengembangkan Islamic Financial Assessment Program (iFSAP) bagi seluruh negara anggota IDB/OKI. iFSAP adalah suatu program komprehensif untuk mengukur dan menilai kinerja dan stabilitas sistem keuangan syariah setiap negara, yang mencakup seluruh jenis industri keuangan syariah, seperti perbankan syariah, pasar modal syariah, dan asuransi syariah. iFSAP ini juga didesain dalam rangka mendeteksi kemungkinan terjadinya krisis yang dapat memukul industri keuangan syariah dunia, atau menjadi semacam early warning system.
Dalam pertemuan tersebut, hadir perwakilan ekonom Bank Dunia, IMF, IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI (lembaga yang membuat standar audit dan akuntasi lembaga keuangan syariah dunia), perwakilan bank-bank sentral sejumlah negara terkemuka anggota OKI, dan otoritas keuangan lainnya, seperti otoritas pasar modal dan LKS non bank negara-negara anggota OKI. Kehadiran BAZNAS sebagai satu-satunya lembaga zakat dalam forum tersebut, adalah dalam rangka memberikan masukan terhadap rencana implementasi iFSAP dari perspektif otoritas zakat, yang oleh IDB, pandangan BAZNAS tersebut dianggap mewakili pandangan seluruh otoritas zakat yang ada di negara-negara anggota OKI. Direncanakan bahwa cakupan assessment iFSAP ini akan diperluas ke sektor zakat, wakaf dan keuangan mikro.
Bagi BAZNAS, keterlibatan dalam forum tersebut juga menunjukkan bahwa perannya di dunia internasional semakin penting. Bagi dunia perzakatan nasional, hal ini juga mengisyaratkan bahwa program-program institusi zakat nasional, perlahan tapi pasti, semakin mendapat perhatian dan pengakuan secara global. Untuk itu, peningkatan kualitas kinerja pengelolaan zakat, perlu untuk terus menerus dilakukan.
Tiga model
Terkait dengan pengembangan dan implementasi iFSAP, BAZNAS berpendapat bahwa untuk sektor zakat, perlu diperhatikan model regulasi yang berkembang di sejumlah negara anggota OKI sebelum dilakukannya proses assessment. Hal ini dikarenakan oleh perbedaan tingkat pengelolaan zakat yang ada. Ada negara yang sudah sangat advance dari sisi regulasi, ada yang baru pada level intermediate, dan ada pula negara yang sama sekali belum menyentuh sektor zakat. Sebagai gambaran umum, jika pengelolaan zakat dikelompokkan berdasarkan perspektif ketersediaan regulasi dan kewajiban zakat pada level hukum positif, maka ada tiga model yang berkembang.
Model 1 adalah model komprehensif, dimana negara telah memiliki UU Zakat secara khusus, dan telah mewajibkan rakyatnya untuk membayar zakat. Jika tidak membayar zakat, ada ancaman hukum yang dikenakan, baik yang sifatnya administratif maupun pidana. Sedangkan Model 2 adalah model parsial, dimana negara telah memiliki UU zakat, namun belum mewajibkan zakat kepada rakyatnya secara hukum positif. Dengan kata lain, zakat baru sebatas kewajiban agama, dan tidak ada sanksi bagi muzakki yang tidak menunaikan kewajibannya. Adapun Model 3 adalah model sekuler, dimana negara tidak memiliki UU zakat, tidak mengatur pengelolaan zakat secara khusus, dan menyerahkan pengelolaan zakat sepenuhnya kepada rakyatnya. Indonesia sendiri saat ini ada pada fase Model 2.
Agar implementasi iFSAP bisa berjalan dengan baik, maka harus dibuat tahapan untuk mendorong negara-negara anggota OKI agar masuk pada Model 1 pengelolaan zakat. Minimal pada fase Model 2 (model parsial). Jika ini bisa dilakukan, maka peluang untuk merealisasikan potensi zakat dunia, yang menurut riset Monzer Kahf mencapai rata-rata 1,8 4,34 persen dari PDB masing-masing negara, menjadi semakin besar. Sehingga peran zakat dalam memerangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, dapat dioptimalkan. Wallahu a’lam.
Dr. Irfan Syauqi Beik
Staf Ahli BAZNAS dan Kaprodi Ekonomi Syariah FEM IPB
Dalam pertemuan tersebut, hadir perwakilan ekonom Bank Dunia, IMF, IFSB (Islamic Financial Services Board), AAOIFI (lembaga yang membuat standar audit dan akuntasi lembaga keuangan syariah dunia), perwakilan bank-bank sentral sejumlah negara terkemuka anggota OKI, dan otoritas keuangan lainnya, seperti otoritas pasar modal dan LKS non bank negara-negara anggota OKI. Kehadiran BAZNAS sebagai satu-satunya lembaga zakat dalam forum tersebut, adalah dalam rangka memberikan masukan terhadap rencana implementasi iFSAP dari perspektif otoritas zakat, yang oleh IDB, pandangan BAZNAS tersebut dianggap mewakili pandangan seluruh otoritas zakat yang ada di negara-negara anggota OKI. Direncanakan bahwa cakupan assessment iFSAP ini akan diperluas ke sektor zakat, wakaf dan keuangan mikro.
Bagi BAZNAS, keterlibatan dalam forum tersebut juga menunjukkan bahwa perannya di dunia internasional semakin penting. Bagi dunia perzakatan nasional, hal ini juga mengisyaratkan bahwa program-program institusi zakat nasional, perlahan tapi pasti, semakin mendapat perhatian dan pengakuan secara global. Untuk itu, peningkatan kualitas kinerja pengelolaan zakat, perlu untuk terus menerus dilakukan.
Tiga model
Terkait dengan pengembangan dan implementasi iFSAP, BAZNAS berpendapat bahwa untuk sektor zakat, perlu diperhatikan model regulasi yang berkembang di sejumlah negara anggota OKI sebelum dilakukannya proses assessment. Hal ini dikarenakan oleh perbedaan tingkat pengelolaan zakat yang ada. Ada negara yang sudah sangat advance dari sisi regulasi, ada yang baru pada level intermediate, dan ada pula negara yang sama sekali belum menyentuh sektor zakat. Sebagai gambaran umum, jika pengelolaan zakat dikelompokkan berdasarkan perspektif ketersediaan regulasi dan kewajiban zakat pada level hukum positif, maka ada tiga model yang berkembang.
Model 1 adalah model komprehensif, dimana negara telah memiliki UU Zakat secara khusus, dan telah mewajibkan rakyatnya untuk membayar zakat. Jika tidak membayar zakat, ada ancaman hukum yang dikenakan, baik yang sifatnya administratif maupun pidana. Sedangkan Model 2 adalah model parsial, dimana negara telah memiliki UU zakat, namun belum mewajibkan zakat kepada rakyatnya secara hukum positif. Dengan kata lain, zakat baru sebatas kewajiban agama, dan tidak ada sanksi bagi muzakki yang tidak menunaikan kewajibannya. Adapun Model 3 adalah model sekuler, dimana negara tidak memiliki UU zakat, tidak mengatur pengelolaan zakat secara khusus, dan menyerahkan pengelolaan zakat sepenuhnya kepada rakyatnya. Indonesia sendiri saat ini ada pada fase Model 2.
Agar implementasi iFSAP bisa berjalan dengan baik, maka harus dibuat tahapan untuk mendorong negara-negara anggota OKI agar masuk pada Model 1 pengelolaan zakat. Minimal pada fase Model 2 (model parsial). Jika ini bisa dilakukan, maka peluang untuk merealisasikan potensi zakat dunia, yang menurut riset Monzer Kahf mencapai rata-rata 1,8 4,34 persen dari PDB masing-masing negara, menjadi semakin besar. Sehingga peran zakat dalam memerangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, dapat dioptimalkan. Wallahu a’lam.
Dr. Irfan Syauqi Beik
Staf Ahli BAZNAS dan Kaprodi Ekonomi Syariah FEM IPB