Pembahasan tentang kaum dhuafa senantiasa terkait dengan kemiskinan, karena pada umumnya kaum dhuafa dikaitkan dengan lemahnya kemampuan dalam mencukupi kebutuhan dasar hidup. Berdasarkan data BPS (2010), jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai angka 31,02 juta jiwa atau 13,33 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Untuk mengurangi angka kemiskinan ini, pemerintah telah mengalokasikan anggaran yang terus meningkat. Jika pada tahun 2004 dialokasikan anggaran Rp 18 triliun, maka pada tahun 2009 angka ini meningkat menjadi Rp 66,2 triliun. Pada tahun 2010 dana pengentasan kemiskinan mencapai Rp 80,1 triliun dan direncanakan tahun ini Rp 86,1 trilliun. Namun, besarnya anggaran ini dianggap belum sebanding dengan pengurangan penduduk miskin.
Dibandingkan kondisi pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin ini telah berkurang sekitar lima juta orang, di man saat itu terdapat 36,1 juta orang miskin (16,66 persen). Sementara total anggaran yang sudah dialokasikan selam 2004-2010 sebesar Rp 343,3 triliun. Jadi rata-rata dibutuhkan Rp 67,6 juta untuk membebaskan satu orang dari kemiskinan. Suatu jumlah anggaran yang bisa diperdebatkan tingkat efektivitasnya. Rendahnya laju pengurangan kemiskinan ini disinyalir karena masih rendahnya efektivitas program pengurangan kemiskinan yang dijalankan. Di samping itu, masih terbuka lebarnya pintu-pintu kemiskinan yang menyebabkan senantiasa bertambahnya orang-orang miskin baru dari waktu ke waktu.
Pengertian kemiskinan
Dalam mengukur tingkat kemiskinan, Badan Pusat Statistik menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs). Dengan pendekatan irti, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan (sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan) yang diukur dari sisi pengeluaran.
Sedangkan dalam terminologi Alquran, dinyatakan dua kelompok dhuafa yang mendapat prioritas dalam penerimaan zakat, yaitu kelompok fakir (fuqoro) dan kelompok miskin (masaakin). Kelompok fakir adalah kelompok yang tidak memiliki sumber pendapatan sama sekali, sementara kelompok miskin adalah mereka yang memiliki sumber pendapatan, namun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Artinya, keberadaan kedua kelompok ini terkait dengan kemampuan mereka dalam berusaha atau bekerja sebagai sumber pendapatan mereka.
Sementara Chambers (1983) menyatakan kemiskinan merupakan suatu kompleksitas dari hubungan sebab akibat yang saling berkaitan antara ketidakberdayaan (powerless), kerapuhan (vulnerability), kelemahan fisik (physical weakness), kemiskinan (poverty) dan keterasingan (isolation) baiksecara geografis maupun sosiologis. Oleh karena itu, upaya pengurangan angka kemiskinan pada dasarnya bukan hanya persoalan teknis semata tentang bagaimana memenuhi kebutuhan fisik dan atau kalori masyarakat secara berkesinambungan, namun lebih pada usaha untuk memberikan "energi" yang lebih besar kepada masyarakat melalui proses pemberdayaan (empowerment). Masyarakat miskin seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya, baik karena hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari lingkungannya.
Tipologi kaum dhuafa
Setiap orang memiliki kelemahan dan juga kelebihan. Termasuk pada masyarakat miskin itu sendiri. Hanya seringkali yang mengemuka adalah berbagai kelemahannya saja. Sehingga tidak jarang dijumpai berbagai upaya atau program penanggulangan kemiskinan yang menjadikan kaum miskin hanya sebagai objek, bukan sekaligus sebagai subjek. Disamping itu, upaya mengurangi angka kemiskinan seringkali dikaitkan dengan perlunya bantuan modal dalam bentuk uang (financial capital). Padahal keberhasilan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya juga sangat dipengaruhi oleh jenis modal lainnya, yaitu personal capital (motivasi, persepsi dan perilaku positif, pengetahuan, keterampilan) dan yang tak kalah pentingnya adalah socio/ capital. Oleh karenanya, strategi pengentasan kemiskinan harus dikaitkan dengan membangun ketiga jenis modal itu, di mana menempatkan dhuafa sekaligus sebagai subjek pelaku.
Berdasarkan kemampuan berusaha yang dimiliki di satu sisi, dan adanya kemauan untuk tidak lagi menjadi orang miskin pada sisi lain, dapat dibangun empat tipologi kaum dhuafa (lihat Gambar 1). Tipe I adalahmereka yang relatif memiliki kemampuan berusaha sekaligus kemauan untuk tidak menjadi orang miskin. Namun dikarenakan berbagai faktor, mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka adalah para pengusaha mikro atau petani gurem yang memiliki onuet kecil dan menghadapi kendala internal dan eksternal.
Tipe II adalah mereka yang sebenarnya relatif memiliki kemampuan berusaha, tapi kurang memiliki kemauan. Mereka ini adalah orang yang bermental pengemis, yang senantiasa mengharapkan dan bahkan bergantung pada bantuan pihak lain. Tipe IQ adalah mereka yang mau berusaha tapi kurang memiliki kemampuan. Tipe ini adalah orang yang kebingungan bagaimana keluar dari kemiskinan karena ketiadaan sumberdaya yang dibutuhkan. Sedangkan Tipe IV adalah mereka yang tidak memiliki kedua-duanya. Kelompok ini adalah fatalis yang rnengaggap bahwa kemiskinan adalah takdir yang tidak bisa diubah. Masing-masing tipe ini membutuhkan pendekatan berbeda-beda.
Strategi pengentasan kemiskinan
Langkah pertama yang diperlukan untuk mengentaskan kemiskinan adalah proses identifikasi penyebab kemiskinan, sehingga dapat diketahui tipologi masyarakat yang akan diberdayakan. Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan program pemberdayaan yang disesuaikan dengan tipologi masing-masing.
Pemberdayaan dhuafa Tipe I dibutuhkan untuk dapat mengembangkan usahanya, sehingga mereka dapat keluar dari garis kemiskinan. Penguatan social capital melalui pengembangan kerjasama sinergis dalam kelompok usaha bersama berbasis komunitas (seperti wilayah pemukiman, jamaah masjid, majelis talim) sangat dibutuhkan untukmeningkatkan proses pebelajaran bersama (mutual learning) dan sekaligus memperkuat posisi tawar (bargaining position) usaha mereka. Dengan berkembangnya kebersamaan (cooperativeness atau amal jamai) ini, diharapkan mereka dapat keluar dari garis kemiskinan secara berkelanjutan (sustainable).
Penyaluran kredit mikro akan mampu mengakselarasi pengembangan usaha mereka. Namun hal ini perlu didahului dengan upaya penyadaran finansial bagi mereka yang selama ini tidak tahu tentang keberadaan fasilitas pembiayaan mikro yang bisa dimanfaatkan (financial illiteracy). Langkah ini perlu diikuti dengan upaya membangun akses mereka terhadap lembaga pembiayaan itu sendiri. Keberadaan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS), misalnya dalam bentuk Koperasi Syariah maupun BMT, menjadi suatu kebutuhan untuk memediasi mereka dengan lembaga perbankan syariah. Sejalan dengan dibentuknya kelompok usaha bersama di atas, akan memudahkan jalan pembentukan LKMS yang dikelola oleh mereka dan untuk kepentingan mereka sendiri.
Sementara mereka yang termasuk Tipe n, Eti dan IV disentuh dengan program pemberdayaan sesuai tipologi masing-masing. Program pemberdayaan spesifik yang bertujuan dalam jangka pendek mengarahkan mereka menjadi Tipe I dan selanjutnya dikembangkan agar dapat keluar dari garis kemiskinan.
Namun demikian, pemberdayaan dhuafa Tipe I perlu mendapat prioritas, karena Tipe I ini dapat menjadi leverage factor yang signifikan dalam upaya pengentasan kemiskinan di Indonesia. Dengan berkembangnya usaha mikro mereka, diharapkan akan menjadi faktor pemicu berkembangnya sektor riil di tingkat akar rumput, yang akan memberikan efek ganda (multiplier effects) pada peningkatan lapangan kerja dan berkembangnya jenis usaha-usaha baru yang mungkin dikembangkan oleh para dhuafa Tipe lainnya.
Data Kementerian Negara Koperasi dan UKM menunjukan bahwa pada tahun 2009 terdapat 52,76 juta UMKM di Indonesia. Temyata 99,88 persen dari jumlah tersebut (52,17 juta) terkategori usaha mikro, yaitu usaha yang memiliki omset lebih kecil dari Rp 300 juta setahun. Sisanya sekitar 546 ribu terkategori sebagai usaha kecil dan 41 ribu sebagai usaha menengah. Artinya pengembangan UMKM di Indonesia seharusnya sejalan dengan program pemberdayaan dhuafa Tipe I yang dibahas di atas.
Suatu hal yang sangat penting untuk ditekankan dalam proses pemberdayaan kaum dhuafa Tipe I ini adalah bagaimana mengembangkan usaha mikro yang senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip syariah. Hal ini terkait dengan pembangunan akhlak pengusaha yang positif, seperti kejujuran, keadilan, tidak ada penzaliman terhadap orang lain (baik konsumen, pemasok, dan pekerja) serta memperhatikan kelestarian lingkungan. Sejak dini mereka perlu dibimbing bahwa berusaha dengan prinsip syariah akan lebih menjamin keberlangsungan dan kesuksesan usaha mereka.
Lukman M Baga, Kepala Pusat Kajian Pembangunan Syariah (PKPS) LPPM – IPB