Dunia perzakatan internasional baru saja menyelesaikan salah satu perhelatan akbarnya, yaitu Muktamar Zakat Internasional ke-9 yang berlangsung di Amman, Yordania pada tanggal 26-28 November 2012 lalu. Dalam muktamar yang dihadiri oleh perwakilan dari 39 negara anggota OKI, topik utama yang menjadi pembahasan utamanya adalah bagaimana mendayagunakan zakat melalui program-program pemberdayaan yang bersifat produktif, sebagai upaya untuk meningkatkan daya tahan ekonomi mustahik dan mentransformasi mereka menjadi muzakki pada jangka panjang. Diangkatnya topik ini sebagai tema muktamar, karena masing-masing negara menyadari bahwa tanpa mengembangkan program produkif bagi mustahik, maka upaya pengentasan kemiskinan akan berjalan di tempat.
Dalam kesempatan muktamar tersebut, masing-masing negara yang hadir, saling berbagi pengalaman mengenai program pemberdayaan produktif bagi mustahik yang telah dilakukannya. Sudan misalnya, menyampaikan pengalamannya dalam mengelola lebih dari 200 ribu usaha mikro mustahik. Jumlah ini termasuk jumlah usaha mikro mustahik yang paling banyak, yang dikelola oleh suatu badan zakat resmi di sebuah negara anggota OKI. Yordania juga menyampaikan pengalaman menarik lainnya, yaitu bagaimana mereka mampu memanfaatkan keberadaan masjid sebagai ujung tombak penghimpunan dan penyaluran zakat. Tidak kurang dari 5 ribu masjid yang telah mereka berdayakan secara efektif, dengan beragam program produktif yang ditawarkan. Program produktif yang dikelola biasanya difokuskan pada sektor pertanian, peternakan, dan perdagangan umum, meski tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan pada sektor-sektor lainnya.
Adapun Indonesia sendiri menyampaikan pengalaman BAZNAS dalam mengembangkan dua jenis program produktif, yaitu Zakat Community Development (ZCD) dan Baytul Qiradh BAZNAS (BQB). ZCD adalah program yang didesain untuk memberdayakan suatu komunitas dengan menggunakan pendekatan yang bersifat komprehensif dan integratif. Titik berangkat pendekatan yang dilakukan dalam program ZCD ini mencakup tiga hal, yaitu pendekatan berbasis problem lokal, pendekatan berbasis lokasi geografis, dan pendekatan berbasis pada kelompok spesifik, seperti kelompok anak jalanan dan pengemis. Sedangkan BQB adalah program pendayagunaan yang dilakukan dalam bentuk lembaga keuangan mikro, yang bertujuan untuk memberikan akses pembiayaan dan pendampingan kepada mustahik, baik yang sifatnya qardhul hasan (pinjaman tanpa bunga), maupun pola-pola pembiayaan syariah komersial, seperti mudharabah dan musyarakah, ketika usaha mikro mustahik tersebut telah memasuki fase ekspansi dan pengembangan.
Selain itu, mutamar tersebut juga menyisakan informasi yang sangat menarik, yaitu pengalaman Kuwait sebagai satu-satunya negara yang tidak memiliki program zakat produktif di dalam negeri, melainkan di luar negaranya. Tahun ini Kuwait telah menyalurkan dana zakat lebih dari 35 juta dolar AS kepada sekitar 30 negara, dalam bentuk kerjasama program produktif bagi mustahik yang dilaksanakan di negara penerima bantuan.
Menuju integrasi global
Dengan tantangan yang semakin berat ke depannya, forum muktamar tersebut juga sepakat bahwa sinergi pengelolaan zakat secara global menjadi sebuah kebutuhan yang sangat penting dan mendesak. Untuk itu, Menteri Wakaf dan Urusan Keislaman Yordania, Abdul Salam Al-’Abbadi, mengusulkan dibentuknya federasi pengelola zakat internasional, sebagai forum bersama untuk menyatukan gerak langkah pengelolaan zakat di dunia Islam.
Menanggapi usulan tersebut, Ketua Umum BAZNAS KH Didin Hafidhuddin telah menegaskan kesiapan Indonesia untuk bersinergi dengan negara-negara yang lain, karena memang disadari bahwa tidak mungkin satu negara dapat menyelesaikan masalah domestiknya tanpa bekerjasama dengan negara lainnya. Wallaahu a’lam.
Dr. Irfan Syauqi Beik
Penulis adalah Staf Ahli BAZNAS dan Kaprodi Ekonomi Syariah FEM IPB
Dalam kesempatan muktamar tersebut, masing-masing negara yang hadir, saling berbagi pengalaman mengenai program pemberdayaan produktif bagi mustahik yang telah dilakukannya. Sudan misalnya, menyampaikan pengalamannya dalam mengelola lebih dari 200 ribu usaha mikro mustahik. Jumlah ini termasuk jumlah usaha mikro mustahik yang paling banyak, yang dikelola oleh suatu badan zakat resmi di sebuah negara anggota OKI. Yordania juga menyampaikan pengalaman menarik lainnya, yaitu bagaimana mereka mampu memanfaatkan keberadaan masjid sebagai ujung tombak penghimpunan dan penyaluran zakat. Tidak kurang dari 5 ribu masjid yang telah mereka berdayakan secara efektif, dengan beragam program produktif yang ditawarkan. Program produktif yang dikelola biasanya difokuskan pada sektor pertanian, peternakan, dan perdagangan umum, meski tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan pada sektor-sektor lainnya.
Adapun Indonesia sendiri menyampaikan pengalaman BAZNAS dalam mengembangkan dua jenis program produktif, yaitu Zakat Community Development (ZCD) dan Baytul Qiradh BAZNAS (BQB). ZCD adalah program yang didesain untuk memberdayakan suatu komunitas dengan menggunakan pendekatan yang bersifat komprehensif dan integratif. Titik berangkat pendekatan yang dilakukan dalam program ZCD ini mencakup tiga hal, yaitu pendekatan berbasis problem lokal, pendekatan berbasis lokasi geografis, dan pendekatan berbasis pada kelompok spesifik, seperti kelompok anak jalanan dan pengemis. Sedangkan BQB adalah program pendayagunaan yang dilakukan dalam bentuk lembaga keuangan mikro, yang bertujuan untuk memberikan akses pembiayaan dan pendampingan kepada mustahik, baik yang sifatnya qardhul hasan (pinjaman tanpa bunga), maupun pola-pola pembiayaan syariah komersial, seperti mudharabah dan musyarakah, ketika usaha mikro mustahik tersebut telah memasuki fase ekspansi dan pengembangan.
Selain itu, mutamar tersebut juga menyisakan informasi yang sangat menarik, yaitu pengalaman Kuwait sebagai satu-satunya negara yang tidak memiliki program zakat produktif di dalam negeri, melainkan di luar negaranya. Tahun ini Kuwait telah menyalurkan dana zakat lebih dari 35 juta dolar AS kepada sekitar 30 negara, dalam bentuk kerjasama program produktif bagi mustahik yang dilaksanakan di negara penerima bantuan.
Menuju integrasi global
Dengan tantangan yang semakin berat ke depannya, forum muktamar tersebut juga sepakat bahwa sinergi pengelolaan zakat secara global menjadi sebuah kebutuhan yang sangat penting dan mendesak. Untuk itu, Menteri Wakaf dan Urusan Keislaman Yordania, Abdul Salam Al-’Abbadi, mengusulkan dibentuknya federasi pengelola zakat internasional, sebagai forum bersama untuk menyatukan gerak langkah pengelolaan zakat di dunia Islam.
Menanggapi usulan tersebut, Ketua Umum BAZNAS KH Didin Hafidhuddin telah menegaskan kesiapan Indonesia untuk bersinergi dengan negara-negara yang lain, karena memang disadari bahwa tidak mungkin satu negara dapat menyelesaikan masalah domestiknya tanpa bekerjasama dengan negara lainnya. Wallaahu a’lam.
Dr. Irfan Syauqi Beik
Penulis adalah Staf Ahli BAZNAS dan Kaprodi Ekonomi Syariah FEM IPB