Salah satu aspek penting dalam pembangunan zakat nasional yang perlu mendapat perhatian adalah urgensi berzakat melalui institusi amil. Selama ini, yang berkembang di tengah masyarakat adalah pemahaman bahwa ibadah zakat itu lebih afdhal dan lebih baik apabila muzakki, atau wajib zakat, menyalurkan langsung zakatnya kepada para mustahik, tanpa melalui perantara amil. Sebagian masyarakat bahkan merasa bahwa penyaluran langsung ini lebih efektif, karena mereka bisa melihat kondisi riil para penerima zakat.
Dengan pemahaman seperti ini, maka praktek membagi-bagikan uang kepada ribuan mustahik yang mengantri, masih kerap terjadi. Meski menyalurkan langsung ini tidak dilarang, namun misi zakat untuk mengentaskan kemiskinan dipastikan akan sulit terwujud. Juga dari sisi kemanusiaan, praktek tersebut kurang manusiawi dan cenderung merendahkan harkat dan martabat mustahik. Dengan pola seperti ini, maka dampak dari penyaluran zakat hanya akan bersifat jangka sangat pendek. Adapun tujuan jangka panjang yang ingin dicapai, yaitu memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan daya tahan perekonomian mustahik, bahkan mentransformasi mereka menjadi muzakki, akan sangat sulit dicapai.
Padahal, jika merujuk kepada apa yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW, maka kita akan menemukan fakta sebaliknya. Yaitu, tidak pernah ada contohnya di zaman Nabi, seorang muzakki menyalurkan zakatnya secara langsung kepada mustahik tanpa melalui amil, kecuali infak dan sedekah yang memang bebas untuk disalurkan secara langsung. Praktek ini kemudian berlanjut di masa khualafur rasyidin.
Menurut Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal, munculnya praktek penyaluran langsung itu mulai terjadi pada masa transisi kekuasaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib RA kepada Dinasti Umayyah. Abu Ubaid mengutip pernyataan dari salah seorang sahabat yang bernama Ibnu Umar RA. Ibnu Umar, ketika ditanya oleh masyarakat, mengatakan bahwa apabila terjadi situasi yang bersifat chaos, dimana terjadi instabilitas pemerintahan akibat konflik ataupun kudeta politik, maka menyalurkan zakat secara langsung kepada mustahik diperbolehkan.
Dalam konteks kekinian, situasi chaos ini dapat kita terjemahkan sebagai kondisi yang bersifat ekstrim dan tidak biasa terjadi. Sebagai contoh adalah bencana alam, kudeta pemerintahan, perang antar etnis, dan sebagainya. Atau bisa juga kita artikan sebagai suatu keadaan dimana di suatu daerah, tidak terdapat sama sekali institusi amil zakat, baik BAZNAS maupun LAZ (Lembaga Amil Zakat). Dalam situasi seperti ini, maka seseorang bisa langsung menyalurkan zakat kepada yang mereka membutuhkan tanpa melalui amil.
Sebaliknya, apabila situasi yang terjadi adalah bersifat normal, maka mengkonsolidasikan penghimpunan dana pada lembaga amil, menjadi satu hal yang perlu untuk dilakukan umat ini. Karena itu, dalam QS 9 : 60, Allah SWT secara eksplisit telah menegaskan keberadaan amil, sebagai lembaga yang menjalankan fungsi intermediasi antara muzakki dengan mustahik. Keberhasilan pelaksanaan fungsi intermediasi ini sangat menentukan pencapaian tujuan ibadah zakat itu sendiri.
Karakteristik Amil
Namun demikian, yang menjadi pertanyaan adalah, amil yang seperti apa yang diharapkan bisa membawa misi suci pembangunan zakat ini? Penulis melihat, paling tidak ada empat karakteristik yang harus dimiliki amil. Pertama, amil harus memiliki legalitas dan kewenangan yang dijamin oleh undang-undang atau hukum positif. Keberadaan UU No 23/2011 ini merupakan dasar hukum bagi terbentuknya institusi amil yang memiliki posisi yuridis yang kuat. Kedua, institusi amil haruslah transparan, akuntabel, dan dapat mempertanggungjawabkan kegiatannya secara terbuka kepada publik. Program-programnya harus jelas dan terarah, baik dari sisi penghimpunan, penyaluran, maupun pendayagunaan. Demikian pula halnya dengan aspek pelaporan dan pertanggungjawaban.
Ketiga, para amilin dan amilat, yaitu orang-orang yang bekerja pada institusi amil, haruslah mereka yang memiliki dedikasi dan komitmen untuk bekerja secara penuh waktu dan profesional dalam mengelola dana zakat. Tidak bisa seorang amil bekerja secara asal-asalan, apalagi muncul hanya setahun sekali pada saat Ramadhan. Karena itu, menurut ekonom Monzer Kahf, sebagai kepala negara, Rasulullah SAW telah menugaskan 25 orang sahabat sebagai petugas amil yang bekerja dengan penuh dedikasi.
Keempat, institusi amil ini bekerja dalam sebuah sistem yang terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik. UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat memberikan ruang bagi proses integrasi ini, dimana seluruh institusi zakat formal, baik LAZ maupun BAZNAS daerah, berada di bawah koordinasi BAZNAS Pusat. Integrasi dan sinergi ini sangat dibutuhkan mengingat tantangan yang dihadapi ke depannya semakin berat. Wallahu a’lam.
Oleh: Irfan Syauqi Beik, Staf Ahli BAZNAS
Dengan pemahaman seperti ini, maka praktek membagi-bagikan uang kepada ribuan mustahik yang mengantri, masih kerap terjadi. Meski menyalurkan langsung ini tidak dilarang, namun misi zakat untuk mengentaskan kemiskinan dipastikan akan sulit terwujud. Juga dari sisi kemanusiaan, praktek tersebut kurang manusiawi dan cenderung merendahkan harkat dan martabat mustahik. Dengan pola seperti ini, maka dampak dari penyaluran zakat hanya akan bersifat jangka sangat pendek. Adapun tujuan jangka panjang yang ingin dicapai, yaitu memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan daya tahan perekonomian mustahik, bahkan mentransformasi mereka menjadi muzakki, akan sangat sulit dicapai.
Padahal, jika merujuk kepada apa yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah SAW, maka kita akan menemukan fakta sebaliknya. Yaitu, tidak pernah ada contohnya di zaman Nabi, seorang muzakki menyalurkan zakatnya secara langsung kepada mustahik tanpa melalui amil, kecuali infak dan sedekah yang memang bebas untuk disalurkan secara langsung. Praktek ini kemudian berlanjut di masa khualafur rasyidin.
Menurut Abu Ubaid dalam Kitab al-Amwal, munculnya praktek penyaluran langsung itu mulai terjadi pada masa transisi kekuasaan dari Khalifah Ali bin Abi Thalib RA kepada Dinasti Umayyah. Abu Ubaid mengutip pernyataan dari salah seorang sahabat yang bernama Ibnu Umar RA. Ibnu Umar, ketika ditanya oleh masyarakat, mengatakan bahwa apabila terjadi situasi yang bersifat chaos, dimana terjadi instabilitas pemerintahan akibat konflik ataupun kudeta politik, maka menyalurkan zakat secara langsung kepada mustahik diperbolehkan.
Dalam konteks kekinian, situasi chaos ini dapat kita terjemahkan sebagai kondisi yang bersifat ekstrim dan tidak biasa terjadi. Sebagai contoh adalah bencana alam, kudeta pemerintahan, perang antar etnis, dan sebagainya. Atau bisa juga kita artikan sebagai suatu keadaan dimana di suatu daerah, tidak terdapat sama sekali institusi amil zakat, baik BAZNAS maupun LAZ (Lembaga Amil Zakat). Dalam situasi seperti ini, maka seseorang bisa langsung menyalurkan zakat kepada yang mereka membutuhkan tanpa melalui amil.
Sebaliknya, apabila situasi yang terjadi adalah bersifat normal, maka mengkonsolidasikan penghimpunan dana pada lembaga amil, menjadi satu hal yang perlu untuk dilakukan umat ini. Karena itu, dalam QS 9 : 60, Allah SWT secara eksplisit telah menegaskan keberadaan amil, sebagai lembaga yang menjalankan fungsi intermediasi antara muzakki dengan mustahik. Keberhasilan pelaksanaan fungsi intermediasi ini sangat menentukan pencapaian tujuan ibadah zakat itu sendiri.
Karakteristik Amil
Namun demikian, yang menjadi pertanyaan adalah, amil yang seperti apa yang diharapkan bisa membawa misi suci pembangunan zakat ini? Penulis melihat, paling tidak ada empat karakteristik yang harus dimiliki amil. Pertama, amil harus memiliki legalitas dan kewenangan yang dijamin oleh undang-undang atau hukum positif. Keberadaan UU No 23/2011 ini merupakan dasar hukum bagi terbentuknya institusi amil yang memiliki posisi yuridis yang kuat. Kedua, institusi amil haruslah transparan, akuntabel, dan dapat mempertanggungjawabkan kegiatannya secara terbuka kepada publik. Program-programnya harus jelas dan terarah, baik dari sisi penghimpunan, penyaluran, maupun pendayagunaan. Demikian pula halnya dengan aspek pelaporan dan pertanggungjawaban.
Ketiga, para amilin dan amilat, yaitu orang-orang yang bekerja pada institusi amil, haruslah mereka yang memiliki dedikasi dan komitmen untuk bekerja secara penuh waktu dan profesional dalam mengelola dana zakat. Tidak bisa seorang amil bekerja secara asal-asalan, apalagi muncul hanya setahun sekali pada saat Ramadhan. Karena itu, menurut ekonom Monzer Kahf, sebagai kepala negara, Rasulullah SAW telah menugaskan 25 orang sahabat sebagai petugas amil yang bekerja dengan penuh dedikasi.
Keempat, institusi amil ini bekerja dalam sebuah sistem yang terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik. UU No 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat memberikan ruang bagi proses integrasi ini, dimana seluruh institusi zakat formal, baik LAZ maupun BAZNAS daerah, berada di bawah koordinasi BAZNAS Pusat. Integrasi dan sinergi ini sangat dibutuhkan mengingat tantangan yang dihadapi ke depannya semakin berat. Wallahu a’lam.
Oleh: Irfan Syauqi Beik, Staf Ahli BAZNAS