Senin (15/9) lalu sepatutnya dijadikan tonggak bersejarah perubahan sistem zakat kita. Betapa tidak, puluhan nyawa melayang sia-sia di tengah bulan suci Ramadhan yang memberi berkah kepada setiap umat Muslim.
Puluhan syahid tersebut berjuang menyabung nyawa hanya untuk memperoleh beberapa lembar ribuan dari seorang muzaki. Sayangnya, seperti juga sistem zakat kita, kekisruhan terjadi ketika ribuan orang secara bersamaan antre dan berdesak-desakan.
Kembali pelajaran penting diperoleh. Jika sistem zakat sudah baik, mungkin tidak perlu lagi seorang pengusaha H Syaichon bersusah-payah menyalurkan zakatnya ke fakir miskin tersebut. Perlu ditelaah lebih jernih, mengapa banyak muzaki yang lebih senang menyalurkan zakatnya langsung tanpa melalui Badan Amil Zakat/Lembaga Amil Zakat? Pertanyaan ini sungguh mudah dijawab jika kita melihat fenomena maraknya bermunculan BAZ/LAZ, tetapi tidak disertai dengan sistem yang akuntabel dan responsibel.
Momentum amendemen UU zakat
Pemerintah telah mengajukan amendemen UU No 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Republika, 12/9). Alasan yang diajukan adalah agar pengelolaan zakat dapat lebih profesional dan transparan. Saat ini ada 18 lembaga amil zakat yang resmi diakui pemerintah. Sementara itu, jumlah yang tidak resmi jumlahnya mencapai ratusan.
Alasan lain pemerintah mengamendemen UU tersebut karena selama ini tidak ada satu pun LAZ yang dikelola masyarakat melaporkan penyaluran dananya ke Departemen Agama. Menurut pemerintah, revisi UU Zakat tidak bermaksud menghapus lembaga zakat yang dikelola masyarakat atau swasta, tapi lebih dimaksudkan agar zakat harus dikelola oleh pemerintah, seperti halnya pajak.
Menurut LAZ, pemerintah justru mencantumkan rencana penghapusan lembaga zakat masyarakat atau swasta. Hal ini dapat dilihat dari alasan yang dikemukakan pemerintah.
Alasan pertama, menurut versi LAZ, adalah organisasi pengelolaan zakat sebagaimana diatur di UU itu tidak sesuai ketentuan agama. Kedua, pengelolaan zakat hanya boleh dilakukan oleh BAZ yang dibentuk pemerintah di semua tingkatan, dari pusat sampai kelurahan/desa. Ketiga, LAZ bentukan masyarakat atau swasta diubah menjadi unit pengumpul zakat (UPZ). UPZ tak berhak mendistribusikan zakat.
Keempat, lembaga pengelola zakat yang tidak berhak akan diancam hukuman penjara tiga tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 500 juta. Kelima, paling lambat dua bulan setelah diundangkan, setiap LAZ harus mengubah status menjadi UPZ atau unsur BAZ.
Dari polemik yang mulai muncul ini, perlu solusi untuk mencari jalan tengah antara keinginan pemerintah di satu pihak dan LAZ di lain pihak untuk mengelola zakat nasional. Solusi yang bisa dilakukan adalah penguatan stakeholders, dewan pengawas BAZ/LAZ, dan manajemen BAZ/LAZ sebagai satu sistem tata kelola zakat nasional.
Good zakat governance
Prinsip good governance juga dapat diterapkan dalam pengelolaan organisasi zakat. BAZ/LAZ sebagai organisasi nirlaba juga dapat mengadopsi konsep GCG. Adalah suatu hal penting bagi pembayar zakat (yang sesungguhnya pemilik dari BAZ/LAZ meyakini bahwa zakat mereka yang dibayarkan digunakan secara efisien untuk kepentingan terbaik mereka.
Cara pemilik dapat mengeksekusi hak-hak dan tanggung jawabnya dalam mencapai tujuan dasar tersebut, dalam kata lain bagaimana mereka meng-govern operasi dari BAZ/LAZ, disebut corporate governance. Dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat, singgungan sektor BAZ/LAZ dan korporasi suatu negara semakin luas.
BAZ/LAZ berhadapan tidak hanya dengan para muzaki, tetapi juga berinteraksi dan bahkan bergantung pada korporasi yang semakin lama semakin ketat menjadikan GCG sebagai faktor menentukan mereka akan menyalurkan dananya ke BAZ/LAZ di suatu negara tertentu atau tidak. Pada tataran yang paling dasar, good governance dalam konteks zakat berkaitan dengan cara dana dikumpulkan, dikelola untuk kepentingan terbaik pembayar zakat tersebut.
Kepentingan terbaik pembayar zakat adalah tersalurnya ke delapan pihak yang berhak atas zakat tersebut. Oleh karena itu, suatu sistem good governance dikatakan efisien bila mampu memberikan ruang bagi pembayar zakat untuk melakukan pengawasan BAZ/LAZ secara menyeluruh sehingga semua elemen yang berisiko dapat ditangani dengan baik (Finger dkk, 2001). Dalam hal ini, pengertian pengendalian oleh pembayar zakat bukan berarti pengendalian yang benar-benar sangat mendetail dan benar-benar secara fisik dilakukan.
Juga bukan berarti manajemen harus dilakukan sendiri oleh pembayar zakat tersebut. Arti dari pengawasan oleh pembayar zakat adalah kondisi di mana pembayar zakat berada dalam suatu posisi yang menentukan efektivitas pemberian insentif kepada manajemen serta dapat melaksanakan pengawasan yang efektif terhadap manajemen sehingga mereka dapat yakin bahwa pihak manajemen telah menjalankan baik strategi maupun pengelolaan harian BAZ/LAZ untuk kepentingan terbaik umat.
Sejalan dengan tujuan akhir di atas, OECD (1999, 2004) memberikan panduan prinsip-prinsip good corporate governance yang juga dapat diadopsi oleh sistem zakat nasional, yaitu fairness, transparency, accountability, dan responsibility. Siapa sajakah yang seharusnya terlibat dalam sistem tata kelola zakat nasional?
Ada beberapa pihak yang berperan dalam sistem zakat. Pertama, pembayar zakat. Pembayar zakat adalah pihak yang berperan penting dalam sistem perzakatan. Mereka yang menggerakkan roda sistem zakat.
Apa yang dibutuhkan oleh pembayar zakat dalam sistem tata kelola zakat? Ada beberapa hal yang dibutuhkan, di antaranya sistem perencanaan zakat, sistem pembayaran zakat yang sederhana, sistem pemantauan penyaluran zakat, dan sistem pelaporan penyaluran zakat.
Kedua, Departemen Agama. Berbagai suara yang muncul di masyarakat lebih menginginkan pemerintah sebagai regulator zakat. Peran Depag sebagai regulator zakat memungkinkan zakat diawasi secara sungguh-sungguh dan menjadi wasit yang adil ketika ada penyimpangan pengelolaan zakat. Salah satu alasan logis mengapa pengumpulan zakat lebih didorong melalui lembaga amil zakat karena pemerintah telah mengelola pajak.
Ketiga, BAZNAS. Perlu redefinisi ulang fungsi dari BAZNAS. Jika UU Zakat jadi diamendemen, fungsi BAZNAS sebagai pengumpul langsung zakat perlu dialihfungsikan sebagai koordinator pengumpulan zakat. Ujung tombak pengumpulan zakat berada pada LAZ yang telah tumbuh dan berkembang secara mandiri.
Selama ini masyarakat tidak pernah diinformasikan secara transparan jumlah dana zakat yang dikumpulkan oleh LAZ. Fungsi BAZNAS ke depan sebagai penghubung dari simpul-simpul pemungut zakat yang ada di masyarakat. Siapa yang bertugas menyalurkan? Yang menyalurkan zakat tetap pada LAZ yang dikoordinasi oleh BAZ.
Keempat, perguruan tinggi agama Islam. Selama ini peran mereka dalam pengelolaan zakat nasional belum tampak. Titik singgung yang sering dilaksanakan oleh mereka adalah menyediakan lulusan yang paham fikih zakat tapi masih miskin inovasi. Inovasi pengumpulan zakat sangat diperlukan mengingat karakteristik masyarakat Indonesia dan zakat itu sendiri.
Perguruan tinggi agama Islam juga belum banyak membuka diskursus yang memberikan pemikiran baru tentang pengelolaan zakat. Miskinnya diskursus ini mengakibatkan kurangnya kesadaran masyarakat membayar zakat.
Kelima, masyarakat. Masyarakat perlu dilibatkan sebagai pihak yang mengawasi kerja dan kinerja BAZ/LAZ. Pengawasan ini bisa berjalan jika masyarakat sadar akan pentingnya zakat dalam mengentaskan kemiskinan. Wujud partisipasi masyarakat bisa dalam bentuk aktif pada LAZ atau juga partisipasi yang pasif.
Keenam adalah BAZ/LAZ yang harus mulai membiasakan diri mengelola dana zakat yang sesuai dengan prinsip-prinsip manajemen modern. Perbaikan SDM, sistem informasi, sistem akuntansi, dan struktur organisasi merupakan agenda mendesak yang perlu dilakukan seiring amendemen UU Zakat.
Terakhir, dewan pengawas. Struktur LAZ harus berisikan orang-orang yang tidak hanya paham fikih zakat, tetapi juga paham manajemen pengawasan zakat. Selama ini masih sedikit LAZ yang memfungsikan dewan pengawas sebagai pengawas independen pengumpulan dan penyaluran zakat. Akibatnya, akuntabilitas LAZ tetap dipertanyakan.
Tragedi pilu Pasuruan telah terjadi dan mungkin akan terus terjadi jika kita tidak segera membenahi sistem zakat nasional. Semoga pula kejadian Pasuruan makin meningkatkan ketakwaan kita dengan mengambil hikmah sebagai modal perbaikan sistem zakat.
Dr. M. Fakhri Husein, Pengajar di Jurusan Keuangan Islam Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta