Di tengah berita menggembirakan seputar pengurangan pajak untuk organisasi-organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan, riset, dan pembangunan masyarakat, muncul kabar tentang rencana revisi UU Zakat No 38 1999. Yang menarik untuk dikaji, revisi itu akan menyertakan klausul bahwa lembaga amil zakat (LAZ) non-pemerintah akan dihapus.
Hal ini tentu mengagetkan di tengah gencarnya pegiat filantropi menyosialisasikan gerakan sadar zakat kepada masyarakat dan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Mengapa muncul gagasan untuk menghapuskan LAZ swasta melalui revisi UU Zakat? Tulisan ini selain mencoba untuk mengkritisi ide penghapusan lembaga zakat, juga melihat ulang keberadaan gerakan filantropi Islam yang marak pada 1990-an dalam konteks perubahan sosial.
Dana filantropi fantastis
Usai lahirnya UU Zakat No 38 1999, aktivitas LAZ semakin marak dan memperoleh tempat di hati masyarakat karena telah memiliki payung hukum. LAZ berhasil memperoleh kepercayaan masyarakat dan mampu mengorganisasi filantropi Islam dengan profesional dan akuntabel sehingga mampu mengumpulkan sumbangan masyarakat dalam jumlah fantastis.
Dompet Dhuafa (DD), misalnya, pada 2007 berhasil mengumpulkan dana Rp 43 miliar dari ZIS, wakaf, dan dana solidaritas kemanusiaan. Tentu saja ini jumlah yang spektakuler yang belum mampu dicapai organisasi-organisasi nirlaba lain yang bergerak di bidang non-keagamaan.
Sebagai perbandingan, menurut survei the Synergos Institute (2002), pendapatan 25 organisasi sumber daya masyarakat sipil di Indonesia, di antaranya Satunama, LP3ES, YAPPIKA, dan Bina Swadaya dalam satu tahun sekitar Rp 126 miliar. Pendapatan domestik yang mereka terima hanya sepertiga dari jumlah tersebut (Rp 44 miliar), selebihnya diperoleh dari funding internasional.
Fakta ini membuat banyak kalangan tergerak mengembangkan lembaga filantropi Islam. Muhammadiyah, misalnya, pada 2002 membuat LAZ Muhammadiyah.
Selain karena ada UU Zakat yang bisa memfasilitasi berdirinya LAZ nasional, LAZ Muhammadiyah juga dibentuk karena melihat kesuksesan yang didulang DD untuk mengorganisasi zakat secara profesional dan modern. Selain itu, selama ini zakat, infak, dan sedekah di Muhammadiyah rata-rata dikelola secara spontan dan ala kadarnya.
Melihat besarnya dana umat yang terkumpul melalui lembaga zakat, sangat dipahami jika terjadi kekhawatiran (akan dampak politis?) dari beberapa kalangan, termasuk pemerintah, seperti terlihat dari munculnya keinginan menghapuskan lembaga zakat ini. Kekhawatiran itu muncul untuk mempertanyakan apakah LAZ menggunakan dan mendistribusikan zakat dan sedekah kepada masyarakat secara adil lintas ras, golongan, agama, dan kelompok kepentingan tertentu.
Karena ada keterkaitan beberapa pengelola zakat dengan partai tertentu, memunculkan keresahan sebagian kalangan jika dana filantropi umat Islam digunakan untuk tujuan politis, langsung maupun tidak. Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), lembaga amil zakat nasional yang lahir dari Partai Keadilan (sekarang Partai Keadilan Sejahtera/PKS), adalah sebuah contoh. Meskipun secara struktur PKPU telah terpisah dari PKS, keterkaitan keduanya tidak bisa dilepaskan begitu saja karena kebanyakan para pengelola lembaga zakat ini juga aktivis partai (Bamualim dan Abubakar, 2005).
LAZ dan perubahan sosial
Mencermati LAZ dalam sepuluh tahun terakhir, sebaiknya perlu menggunakan lensa yang lebih luas dalam konteks perubahan sosial. Keberhasilan LAZ dalam menyediakan fasilitas kesehatan, beasiswa, dan modal serta relief services di area bencana, kita semua sudah sering mendengar dan melihatnya. Namun, peran LAZ dalam memperbaiki nasib kelompok masyarakat yang lemah dan membawa perubahan sosial secara lebih luas, tentu perlu dikaji ulang.
Berkaitan dengan itu, David Lewis (2002) menyebutkan bahwa gerakan untuk memperkuat kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri. Termasuk dengan memengaruhi kebijakan publik, merupakan upaya perubahan sosial yang mengarah pada terciptanya masyarakat sipil.
Dari fakta historis menunjukkan sejak masa kolonial masyarakat Indonesia telah melakukan gerakan sosial dalam melawan imperialisme dengan mengorganisasi kekuatan dari bawah. Tentu saja gerakan melakukan perubahan sosial menuju masyarakat yang adil dan sejahtera masih relevan pada saat ini, terutama ketika kemiskinan dan ketidakadilan masih membelenggu kehidupan sebagian masyarakat.
LAZ dengan kekuatan dana yang signifikan dari umat tentu relevan untuk memulai gerakan sosial melawan kemiskinan tidak hanya dengan memberi santunan, tapi juga dengan melakukan pendampingan dan pengorganisasian masyarakat. Dengan begitu mereka bisa mandiri dan mampu menolong diri sendiri.
Advokasi juga bisa mengawal lahirnya kebijakan publik yang berpihak pada masyarakat lemah. Jangan sampai peran dan fungsi lembaga-lembaga filantropi modern tidak berbeda jauh dengan peran filantropi tradisional yang telah dilakukan oleh organisasi-organisasi sosial maupun individu-individu untuk membantu mereka yang tidak mampu selama ini.
Sebagai refleksi, menggabungkan aktivitas pendampingan sekaligus memberikan pelayanan sosial, sangat mungkin dilakukan oleh organisasi nirlaba. Peoples' Rural Education Movement di Orissa, India, misalnya, dengan dana Rp 2 miliar untuk jangka waktu satu tahun (1993-1994) mampu memberdayakan 600 ribu penerima bantuan di 5.000 desa dengan 42 orang people's organizations (POs).
Selain membawa dampak kuantitatif, gerakan pemberdayaan semacam ini juga lebih bertahan lama dan lebih efektif. Pengaruh penting lainnya adalah lahirnya kebijakan baru yang memihak pada kelompok lemah (Michael Edwards, 1999).
Kembali kepada rencana penghapusan LAZ swasta oleh pemerintah, apakah ide ini lahir karena tidak adanya data kuantitatif maupun kualitatif secara makro untuk mengukur kesuksesan LAZ ataukah lebih karena alasan politis? Tentu masih perlu diteliti lagi.
Kita perlu memberi perhatian serius dan menunjukkan sikap prihatin jika rencana ini dilakukan karena pemerintah mempunyai kekuasaan melahirkan atau meniadakan sebuah aturan. Semoga ini tidak terjadi karena kita hidup di negara yang menjunjung tinggi asas demokrasi dan memberi ruang besar perdebatan di masyarakat.
Tuti Alawiyah, Mahasiswa S3 pada School of Social Work University of Texas at Austin, Peneliti pada Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta