Para pemimpin G-20 di Perancis, telah menyepakati The Final Declaration (Cannes Declaration). Menurut Presiden RI, SBY, komponen utama dari deklarasi ini adalah Cannes Action Plan yang berisi komitmen negara anggota G-20 untuk melaksanakan dan melanjutkan berbagai kebijakan di bidang fiskal, moneter, reformasi sektor keuangan, dan reformasi struktural dengan memperhatikan dampak dari kebijakan domestik terhadap negara lain. Secara garis besar pembahasan lebih banyak didominasi isu krisis keuangan yang terjadi pada eurozone dan pemberdayaan IMF sebagai institusi penengah dan penyeimbang diantara berbagai kepentingan negara-negara dalam G20.
Dalam pembahasan dan kesimpulan pertemuan G20 tersebut, tidak terlihat adanya tindakan evaluasi dan intropeksi secara obyektif dan substantif terhadap sistem ekonomi kapitalis yang banyak dipraktekkan negara-negara anggota. Kendati negara-negara yang mempraktekkan sistem tersebut silih berganti mengalami krisis hingga saat ini. Peran IMF, dimana kontributor dana terbesarnya adalah AS dan negara-negara maju, juga masih sangat dominan. Artinya solusi yang dipilih masih seperti pada penanganan krisis-krisis sebelumnya, yakni melalui kucuran hutang dari IMF dengan persyaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut selama ini meliputi perdagangan bebas, privatisasi BUMN dan layanan publik, liberalisasi pasar modal dan deregulasi yang dikenal dengan konsensus Washington.
Bagaimana prinsip ekonomi syariah memandang krisis yang banyak dialami negara barat dan apakah hasil pertemuan G20 sudah menyentuh akar permasalahan? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut dan sebagai second opinion yang obyektif, patut disimak sebuah artikel yang ditulis di surat kabar resmi Vatikan Osservatore Romano, bahwa sistem keuangan syariah yang mengedepankan etika bisa membawa para nasabah untuk kembali percaya pada sistem keuangan dan semangat dari makna layanan jasa keuangan yang sebenarnya. Pendapat senada dinyatakan Menteri Keuangan Prancis, Christine Lagarde, “Yang kita butuhkan saat ini adalah ekuitas, sistem bagi hasil, moralitas, beretika, dan realita, transaksi riil.”
Menarik pula untuk dikaji fenomena occupy wall street yang merebak hampir di seluruh negara di dunia. Rakyat di negara-negara kapitalis melakukan unjuk rasa global mengecam kinerja kapitalisme. Sebagian masyarakat dunia semakin menyadari bahwa krisis ekonomi global dipicu oleh kegiatan ekploitasi yang dilakukan pihak ekonomi super kuat/korporasi-korposari kelas dunia yang biasanya berkolaborasi dengan oknum politisi di setiap negara. Mereka pun menyadari transaksi-transaksi semu di lembaga keuangan dan perbankan konvensional hanya memperkaya segelintir orang yang sudah kaya dengan semakin memiskinkan mayoritas penduduk dunia. Kinerja tersebut menimbulkan multiplier efffect terhadap gejolak inflasi, gejolak nilai tukar, lonjakan angka pengangguran, kemiskinan, kesenjangan sosial, eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan.
Dalam pembahasan dan kesimpulan pertemuan G20 tersebut, tidak terlihat adanya tindakan evaluasi dan intropeksi secara obyektif dan substantif terhadap sistem ekonomi kapitalis yang banyak dipraktekkan negara-negara anggota. Kendati negara-negara yang mempraktekkan sistem tersebut silih berganti mengalami krisis hingga saat ini. Peran IMF, dimana kontributor dana terbesarnya adalah AS dan negara-negara maju, juga masih sangat dominan. Artinya solusi yang dipilih masih seperti pada penanganan krisis-krisis sebelumnya, yakni melalui kucuran hutang dari IMF dengan persyaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut selama ini meliputi perdagangan bebas, privatisasi BUMN dan layanan publik, liberalisasi pasar modal dan deregulasi yang dikenal dengan konsensus Washington.
Bagaimana prinsip ekonomi syariah memandang krisis yang banyak dialami negara barat dan apakah hasil pertemuan G20 sudah menyentuh akar permasalahan? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut dan sebagai second opinion yang obyektif, patut disimak sebuah artikel yang ditulis di surat kabar resmi Vatikan Osservatore Romano, bahwa sistem keuangan syariah yang mengedepankan etika bisa membawa para nasabah untuk kembali percaya pada sistem keuangan dan semangat dari makna layanan jasa keuangan yang sebenarnya. Pendapat senada dinyatakan Menteri Keuangan Prancis, Christine Lagarde, “Yang kita butuhkan saat ini adalah ekuitas, sistem bagi hasil, moralitas, beretika, dan realita, transaksi riil.”
Menarik pula untuk dikaji fenomena occupy wall street yang merebak hampir di seluruh negara di dunia. Rakyat di negara-negara kapitalis melakukan unjuk rasa global mengecam kinerja kapitalisme. Sebagian masyarakat dunia semakin menyadari bahwa krisis ekonomi global dipicu oleh kegiatan ekploitasi yang dilakukan pihak ekonomi super kuat/korporasi-korposari kelas dunia yang biasanya berkolaborasi dengan oknum politisi di setiap negara. Mereka pun menyadari transaksi-transaksi semu di lembaga keuangan dan perbankan konvensional hanya memperkaya segelintir orang yang sudah kaya dengan semakin memiskinkan mayoritas penduduk dunia. Kinerja tersebut menimbulkan multiplier efffect terhadap gejolak inflasi, gejolak nilai tukar, lonjakan angka pengangguran, kemiskinan, kesenjangan sosial, eksploitasi sumber daya alam dan kerusakan lingkungan.
Menyaksikan kecaman masyarakat di negara-negara kapitalis terhadap kapitalisme seharusnya merupakan masukan yang menyentuh dan berharga bagi seluruh negara di dunia. Maka Sungguh ironi jika negara-negara berkembang termasuk Indonesia tidak secepatnya melakukan evaluasi dan pelurusan terhadap sistem ekonomi yang telah banyak diwarnai kapitalisme, walaupun sangat bertentangan dengan kultur budaya dan ideologi mereka.
Negara dalam prinsip ekonomi Islam bertanggung jawab terhadap kebutuhan minimal rakyat dan pelayanan publik, hal itupun ditegaskan dalam UUD 1945 pasal 27 dan 33. Jadi privatisasi pelayanan publik dan aset-aset negara strategis serta lepasnya peran negara pada kebutuhan pokok rakyatnya, sangatlah berseberangan dengan prinsip ekonomi syariah.
Bagaimana prinsip ekonomi Islam memandang dominasi transaksi ekonomi dunia di pasar uang dan modal konvensional? Persyaratan keharusanya adanya Underlying asset dalam kegiatan ekonomi syariah, tidak ditemukan pada sistem ekonomi lainnya. Sistem ekonomi yang tidak disokong dengan underlying asset yang riil, dan memperhatikan batasan halal dan haram, serta manfaat mudharat pasti jauh dari keadilan, melahirkan kesejahteraan yang semu, menimbulkan permusuhan, kejahatan serta rapuhnya moral dan etika di tengah masyarakat yang berujung pada rendahnya kualitas peradaban manusia. Ironisnya, ketiadaan underlying asset terjadi pada mayoritas kegiatan perekonomian dunia saat ini. Yang pertama dan utama saat ini adalah melalui aplikasi riba dan spekulasi yang disertai dengan ketidakjelasan/gharar.
Keuntungan yang diperoleh melalui riba dan spekulasi sangat berbeda nyata dengan keuntungan yang diperoleh melalui kegiatan ekonomi secara riil yakni jual beli, sewa menyewa dan investasi/bagi hasil. Pada kegiatan jual beli, sewa menyewa dan investasi/bagi hasil keuntungan hanya didapat dengan memberikan nilai tambah berupa barang/jasa secara riil. Implikasi dari dilarangnya riba adalah mendorong sektor riil untuk tumbuh berkembang membentuk perekonomian yang kokoh, stabil dan kemaslahatannya menyentuh kepentingan seluruh lapisan masyarakat, karena seluruh peserta ekonomi bisa mengakses kegiatan jual beli, investasi dan sewa menyewa sesuai dengan produktivitas dan kompetensi masing-masing. Sedangkan keuntungan pada kegiatan riba dan spekulasi di industri keuangan dan perbankan hanya akan berpihak pada pemilik modal kuat dengan mengabaikan produktivitas dan kompetensi riil.
Selain memperhatikan pengaturan pada kegiatan ekonomi yang bersifat komersil, prinsip ekonomi syariah juga sangat memperhatikan pengaturan di sektor-sektor sosial melalui instrumen zakat, infak, sodaqoh dan wakaf. Dalam berbagai rumusan secara empiris, instrumen tersebut terbukti mampu menjaga perekonomian untuk tidak stagnant, dengan menjaga daya beli kelompok ekonomi terbawah, sehingga perekonomian sebuah negara akan selalu berjalan.
Dari pembahasan di atas, kebijakan dan langkah yang diambil G20 belum menyentuh penyebab krisis ekonomi global, sebagaimana sedang disuarakan dengan lantang oleh masyarakat dunia, yang mengecam kinerja kapitalisme di bawah gerakan occupy wall street. Kecaman tersebut oleh prinsip ekonomi syariah dimaknai sebagai kejahatan riba, spekulasi, gharar, perusakan peradaban dengan meninggalkan pertimbangan halal haram serta manfaat mudharat.
Indonesia, sebagai negara yang yang diberi karunia kekuatan kultur dan ideologi, seharusnya memiliki kepercayaan diri, tanggung jawab dan kewajiban untuk memberikan masukan obyektif dan substantif, hingga membuahkan hasil signifikan bagi keadilan dan kesejahteraan masyarakat di dalam negeri dan dunia pada umumnya. Jangan justru bersemangat mengikuti arus kapitalisme yang sudah banyak dikecam oleh warga dunia di negara-negara tempat lahir dan besarnya kapitalisme itu sendiri.
Oleh: Any Setianingrum MESy, akademisi dan pemerhati ekonomi syariah