Lembaga Sosial Berbisnis, Why Not?

Mengelola dana sosial yang merupakan amanah masyarakat tidaklah mudah. Selain sangat dituntut soal transparansi penggunaan dana, hal penting lain adalah kreativitas pembuatan program dan efisiensi dalam penyalurannya. Masyarakat menghendaki bahwa uang mereka yang telah dipercayakan dapat disalurkan dengan tepat sasaran dan mereka bisa melihat perkembangannya.


Pertanyaan berikutnya adalah, apakah kelangsungan hidup lembaga sosial akan selalu bergantung pada loyalitas donatur? Kita melihat kenyataan bahwa sejumlah lembaga yang dulu sangat kuat dan hebat kemudian pada akhirnya harus tumbang karena kekurangan dana. Akibatnya, program yang selama ini dilaksanakan berikut penerima manfaatnya secara otomatis berhenti begitu saja.


Pencarian sumber-sumber dana baru selain “tetesan embun” dari donatur merupakan suatu keharusan bagi lembaga yang ingin terus berkiprah dalam bidang pelayanan sosial. Sumber dana baru ini akan menjadi pilar baru yang akan menambah pundi-pundi dana kelolaan yang disalurkan kepada masyarakat. Dengan dana yang kuat, niscaya semakin leluasa bagi lembaga sosial manapun untuk berkiprah melayani masyarakat. Lembaga sosial dapat mencari dana selain dari donatur melalui jalur social enterprise (bisnis sosial).


Social enterprise dapat diartikan sebagai suatu usaha, yang mengejar profit sebanyak-banyaknya sebagaimana layaknya sebuah entitas bisnis, namun hasil dari usaha tersebut sepenuhnya digunakan untuk menunjang aktivitas sosial. Keuntungan berbisnis sosial setidaknya ada dua macam: pertama; secara proses, social enterprise akan me-leverage aspek ekonomi dan faktor-faktor produksi.


Sumber daya manusia jelas akan terserap di dalamnya dan sudah semestinya menjadi andil dalam pengurangan pengangguran  (unemployment). Selain sisi SDM, proses berjalannya usaha juga akan menjadikan berbagai kepentingan bertemu, sejak dari hulu hingga hilir. Jadi, pada setiap tahapan dalam social enterprise, membuahkan efek berlipat yang bermanfaat.


Kedua: social enterprise menjadikan misi pengabdian masyarakat sebagai ujung akhir dari tujuannya. Hasil usaha dan keuntungan tidak semata-mata untuk memperkaya uang saku dari karyawan dan manajemen, namun memang didedikasikan untuk masyarakat. Dari keuntungan bersih yang didapat, misalnya 80 persen dipergunakan untuk kepentingan dhuafa dan sisanya untuk penguatan modal.


Membangun social enterprise?
Sumber dana awal untuk sebuah social enterprise berasal dari dana masyarakat yang berhasil dihimpun, pada kasus lembaga pengelola zakat, maka modal awal membangun social enterprise adalah merupakan dana bagian amil (dana hak amil), dan lembaga zakat tersebut merupakan pemegang saham mayoritas atas usaha yang dibangun.


Contoh praktis adalah social enterprise yang sudah dibangun oleh Dompet Dhuafa. Memasuki usia ke-18 pada 2011 ini, Dompet Dhuafa mencanangkan social enterprise sebagai salah satu pilar penghimpunan dana agar supaya ada sumber dana lain selain dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZIS). Alternatif sumber dana ini sangat penting mengingat ke depan makin ketatnya persaingan karena banyaknya lembaga serupa yang berlomba-lomba merebut hati para donatur  (muzakki).


Dompet Dhuafa mendirikan social enterprise bernama DD Corpora dengan beberapa bidang usaha, seperti bisnis barang bekas (second store), DD Konstruksi, DD Konsultan, dan PT Permodalan BMT.  Khusus bidang konstruksi DD memfokuskan untuk pembangunan kembali  di daerah pascabencana seperti Jawa Barat dan Sumatra Barat, misalnya, pembangunan kembali fasilitas sosial yang rusak seperti masjid, sekolah, dan puskesmas.


Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya maka keuntungan bersih DD Corpora hanya dialokasikan untuk dua hal: pertama, penguatan modal usaha agar DD Corpora dapat terus berkembang dan menjadi semakin kuat. Kedua, penyaluran kepada mustahik melalui Dompet Dhuafa sebagai pemegang saham.


Wakaf produktif
Selain social enterprise, pilar sumber keuangan nonsumbangan adalah dengan mengelola wakaf produktif. Jika pada umumnya wakaf berupa aset tidak bergerak yang cenderung “diam dan tidak menghasilkan”, maka wakaf produktif menjadikan aset wakaf sebagai sumber pendapatan karena dikelola menurut kaidah bisnis yang profesional.


Dengan konsep wakaf produktif, maka wakaf bisa menjadi luas sekali dan beragam. Misalnya, wakaf untuk pembangunan ruko atau ruang kantor yang kemudian disewakan. Hasil sewa setelah dikurangi biaya-biaya operasional dan hak nazhir kemudian menjadi sumber dana baru bagi lembaga sosial untuk dibagikan kepada masyarakat.


Sebagai contoh di Singapura, terdapat sebuah apartemen/flat yang berstatus wakaf. Tanah dan bangunan adalah milik umat yang dikelola oleh sebuah badan pengelola (nadzir) dan kemudian disewakan dengan tarif yang bersaing dengan apartemen pada umumnya.


Impian Dompet Dhuafa adalah memperbanyak wakaf produktif sebanyak mungkin sehingga dapat menjadi sumber keuangan baru, mengingat jumlah mustahik yang dibantu dari tahun ke tahun semakin meningkat sehingga terlalu berat jika kita hanya mengandalkan dana ZIS. Dengan hasil wakaf produktif menambah sumber dana alternatif yang dapat dimanfaatkan untuk membiayai program-program pengentasan kemiskinan kaum dhuafa.


Dengan tiga pilar keuangan, yakni dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS), keuntungan dari social enterprise, dan hasil wakaf  produktif, Dompet Dhuafa diharapkan menjadi lembaga yang sangat kuat dalam hal pendanaan. Tiada tujuan lain, bahwa semua cara ini adalah bentuk dedikasi kepada umat. Lembaga sosial khususnya lembaga zakat sudah seharusnya menjadi gantungan umat dalam berbagai bidang, apalagi di tengah ketidakpastian jaminan hidup yang diselenggarakan oleh negara.


Oleh Ismail A Said, Presiden Direktur Dompet Dhuafa
Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya