Menarik melihat dalam beberapa waktu terakhir ini gencar diwacanakan ''Gerakan Nasional Selamatkan Bangsa dengan Sedekah'' yang dipelopori Ustadz Yusuf Mansur, pimpinan Pesantren Daarul Qur'an-Wisata Hati (Republika, 19 Mei 2006). Mungkin agak terdengar aneh, krisis bangsa diatasi dengan sedekah. Terkesan tidak ilmiah dan terlalu menyederhanakan permasalahan. Besarnya potensi sedekah pun cenderung di ragukan dan diyakini tidak akan mampu menyelesaikan berbagai masalah besar bangsa seperti kemiskinan dan pengangguran.
Dari perspektif ekonomi, kesan ini tidak selamanya benar. Bahkan perkembangan terkini menunjukkan hal sebaliknya. Sebagai misal, tindakan sedekah yang cenderung dianggap tidak rasional kini semakin banyak memiliki pembenaran teoritis dan empiris. Bahkan telah terbit Handbook of the Economics of Giving, Altruism and Reciprocity (North Holland Publishing Co, 2006), salah satu seri dari Handbooks in Economics yang merupakan buku teks prestisius untuk tingkat pascasarjana. Dengan editor para ekonom terkenal dunia sekelas Kenneth J Arrow dan MD Intriligator, buku ini membahas perilaku sedekah secara sangat serius.
Secara mikro dan makro, perilaku sedekah memiliki arti yang signifikan bagi berbagai isu dalam ekonomi seperti transfer di dalam keluarga, transfer antar generasi, sektor nirlaba, hubungan interpersonal di tempat kerja, negara kesejahteraan, dan bantuan luar negeri. Dengan demikian, bukan suatu hal yang berlebihan jika sedekah dijadikan salah satu solusi bagi krisis bangsa ini. Potensi sedekah juga tidak bisa dipandang remeh. Bahkan di negara-negara sekuler, sektor voluntary sangat signifikan. Pada 1996, penduduk Amerika Serikat menyumbang 143 miliar dolar AS ke organisasi nirlaba. Diperkirakan sektor nonprofit perekonomian mencapai delapan persen dari GDP --dua kali lipat dari angka 1960-- dan mempekerjakan 10 persen dari total angkatan kerja, lebih besar dari seluruh pekerja pemerintah pusat dan federal (The Economist, 30 Mei 1998).
Di Indonesia sendiri, potensi dana filantropi diperkirakan mencapai Rp 2,3 hingga 4,6 triliun per tahun (SWA, 19 April 2006). Bukti ini sekaligus menjadi pukulan telak bagi ekonomi konvensional yang menyandarkan semua analisis fundamentalnya pada asumsi homo economicus yang bersifat perfect self-interest.
Filantropi Islam
Perilaku memberi secara sukarela untuk orang lain yang membutuhkan (filantropi), memiliki tradisi sangat kuat dalam Islam, yang biasa kita kenal dengan istilah sedekah. Sedekah merupakan bentuk pengakuan paling mendasar atas konsep istikhlaf (perwakilan). Karena pada esensinya seluruh harta adalah milik Allah (QS 10: 66), maka manusia pemilik harta sesungguhnya hanyalah ''wakil'' dalam harta Allah. Dan Allah sebagai pemilik harta memerintahkan agar manusia tidak bersikap bakhil dengan harta yang dikaruniakan-Nya (QS 24: 33).
Konsep istikhlaf ini secara kuat akan menekan penimbunan harta, perlombaan dalam mengejar kekayaan, kejahatan ekonomi, dan kesenjangan sosial. Pemilik harta tidak akan bersikap bakhil, tidak mengembangkan harta-nya dengan cara tidak halal, dan menerima semua ketentuan syariat terkait dengan pengaturan harta.
Secara umum terdapat dua ketentuan syariat Islam terkait sedekah atas harta. Pertama, adalah sedekah wajib yaitu zakat. Zakat adalah kewajiban finansial yang diambil dari harta orang kaya dan diserahkan kepada orang miskin. Yang berhak mengambilnya adalah penguasa atau pemerintah melalui orang yang disebut Alquran sebagai al 'amilina 'alaiha ('amil zakat) yaitu mereka yang mengurusi urusan zakat; memungut, menjaga, menyalurkan, dan menghitungnya (Qaradhawi, Fiqh az-Zakat).
Nabi Muhammad mengutus para pemungut zakat ke seluruh penjuru negeri untuk mengambil zakat. Khalifah Abu Bakar bahkan memerangi mereka yang tidak bersedia membayar zakat. Negara Islam dengan demikian adalah negara pertama di dunia yang berperang untuk menuntut hak-hak orang miskin yang ada di harta orang kaya.
Hikmah terbesar dari institusionalisasi zakat ini adalah pada potensi negara untuk memobilisasi dan mendayagunakan dana zakat untuk kemaslahatan bersama. Negara dapat memobilisasi potensi zakat secara optimal karena zakat memiliki tarif yang rendah dan tetap, serta tidak pernah berubah-ubah karena sudah diatur dalam syariat. Sebagai misal, zakat yang diterapkan pada basis yang luas seperti zakat perdagangan, tarif-nya hanya 2,5 persen. Karakteristik ini membuat zakat bersifat market-friendly, menciptakan transparansi kebijakan publik dan memberikan kepastian usaha.
Negara juga akan mendayagunakan dana zakat lebih optimal dalam peranannya sebagai sarana redistribusi pendapatan, takaful, dan jaring pengaman sosial. Hal ini terkait dengan alokasi penggunaan zakat yang sudah ditentukan dalam syariat (QS 9: 60), di mana zakat hanya diperuntukkan bagi delapan golongan (ashnaf) yaitu: fakir, miskin, amil zakat, mu'allaf, budak, orang-orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil.
Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro-poor. Sedekah kedua adalah sedekah sunnah (sukarela). Sedekah sunnah ini merupakan bentuk altruisme tertinggi dalam Islam karena ia bersifat sukarela, tanpa paksaan, tanpa ketentuan, dilakukan dalam kondisi susah ataupun senang, malam dan siang hari, sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan (QS 3: 92). Begitu banyak ayat Alquran dan hadits Nabi yang menganjurkan sedekah, mengingatkan akan `hinanya' harta dan dunia, dan peringatan dari sikap kikir dan bakhil.
Dalam Islam, sedekah sukarela ini memiliki banyak bentuk seperti infaq, sedekah jariyah, dan wakaf. Lebih dari itu, sedekah juga tidak hanya berdimensi sosial, namun juga ekonomi-bisnis. Maka dalam skema pembiayaan Islam kita mengenal qardhul hasan, di mana pemilik modal dianjurkan untuk meminjamkan modal kepada pengusaha tanpa mengharapkan bagi hasil. Bahkan jika yang orang berutang tersebut kesulitan membayar, dianjurkan untuk memberi toleransi, bahkan merelakan sebagian atau keseluruhan piutang tersebut (QS 2: 280).
Oleh: Yusuf Wibisono (Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Komisariat UI)