Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman mengamanatkan, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Itu semua merupakan kebutuhan dasar manusia, dan mempunyai peran strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa sebagai salah satu upaya membangun manusia Indonesia seutuhnya, berjati diri, mandiri, dan produktif. Berdasarkan amanat tersebut, setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati, menikmati, atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur.
Namun, fakta membuktikan masih banyak masyarakat yang belum memiliki dan menempati rumah yang layak. Menurut Statistik Kesejahteraan Rakyat 2008, sebanyak 13,8 persen rumah tangga masih menghuni rumah dengan lantai tanah, 12,4 persen dengan dinding belum permanen, dan 1,2 persen tinggal di rumah yang beratapkan daun. Pada 2009, permukiman kumuh luasnya diperkirakan mencapai 57.800 ha, dan jumlah kekurangan rumah (backlog) mencapai 7,4 juta unit (Kemenpera, 2010).
Persoalan yang dihadapi masyarakat adalah ketidakmampuan membeli rumah, terutama di lingkungan hunian yang layak. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan daya beli (affordability), sehingga mereka tidak dapat memenuhi hak dasar akan kebutuhan rumah layak huni. Di samping itu adalah keterbatasan serta mahalnya harga tanah, terutama di perkotaan sehingga menyebabkan harga rumah tidak terjangkau oleh mereka. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya dan terobosan melalui pendayagunaan tanah wakaf untuk pembangunan perumahan terutama bagi masyarakat tidak mampu.
Potensi tanah wakaf
Secara bahasa, kata wakaf berasal dari bahasa Arab "waqafa" yang berarti menahan atau berhenti. Dalam hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nazhir (pengelola wakaf), baik perseorangan maupun badan hukum, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan ajaran syariat Islam. Harta yang telah diwakafkan keluar dari hak milik wakif, dan bukan pula menjadi hak milik nazhir, tetapi menjadi hak milik Allah dalam pengertian hak masyarakat umum.
Dalam Islam, wakaf mempunyai sejarah yang panjang, dimulai dengan dibangunnya Masjid Quba' oleh Rasulullah SAW saat hijrah ke Madinah dan menjadi wakaf keagamaan pertama dalam Islam. Dalam perkembangannya, ia telah menjadi instrumen sosial dan ekonomi yang penting dalam masyarakat Islam. Hal ini membuktikan bahwa Islam mampu memberi solusi jaminan sosial dan kesejahteraan bagi masyarakat. Bahkan dalam sejarah Islam, wakaf tidak hanya menjadi pilar kesejahteraan masyarakat, tetapi juga menjadi pilar ekonomi negara dalam membangun infrastruktur, ekonomi, dan ketahanan. Dengan kata lain. wakaf di samping didayagunakan untuk tujuan keagamaan, juga untuk kemaslahatan umum, serta telah memberikan pengaruh yang berarti kepada dunia luas. Sekarang, wakaf telah diterapkan baik di negara Muslim maupun di negara non-Muslim.
Di Indonesia, praktik wakaf dapat dilihat terutama di kerjaan-kerajaan Islam di Indonesia seperti Kerajaan Aceh, Demak, Banten, dan Cirebon. Di kerajaan-kerajaan tersebut terdapat banyak harta benda wakaf yang digunakan untuk tempat ibadah dan pengembangan agama (Nasution, 2008).
Perkembangan wakaf di Indonesia mulai menggeliat sekitar tahun 2000-an. Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan peraturan pelaksanaannya, menjadi jawaban bagi masa depan perwakafan di Indonesia agar dapat didayagunakan secara lebih produktif dan profesional.
Pasal 1 UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menyebutkan, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Dalam Pasal 5 UU tersebut dinyatakan, wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Dari perspektif bendanya, wakaf terdiri atas benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda tidak bergerak meliputi, antara lain, hak atas tanah, bangunan/bagian bangunan, dan hak milik atas satuan rumah susun, dan benda tidak bergerak lainnya sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan. Sedangkan benda bergerak meliputi, antara lain, uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, dan benda bergerak lainnya sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan.
Dari perspektif peruntukannya, wakaf dibagi menjadi wakaf mutlak (umum) dan wakaf muqayyad (tertentu). Wakaf mutlak (undefinite waqf) adalah wakaf yang boleh didayagunakan untuk apa saja, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Misalnya untuk kemaslahatan atau kepentingan umum. Sedangkan wakaf muqayyad (definite waqf) adalah wakaf yang hanya boleh didayagunakan sesuai dengan ikrar wakif. Misalnya, untuk pembangunan masjid, madrasah, dan kuburan.
Dari perspektif ekonomi, pendayagunaan tanah wakaf untuk pembangunan perumahan banyak memberikan keuntungan, yaitu investor tidak perlu berinvestasi besar untuk tanah, sehingga investasi tersebut dapat dialihkan untuk pembangunan perumahan, sehingga harga/sewa rumah menjadi lebih murah dan terjangkau oleh masyarakat. Dari perspektif agama, pendayagunaan tanah wakaf dapat membantu tercapainya niat baik wakif untuk beramal jariah, dan menghindari terjadinya "idle" tanah wakaf.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa salah satu persoalan pembangunan perumahan adalah terbatasnya tanah. Oleh karena itu, harus dicarikan alternatif solusinya, antara lain, melalui pendayagunaan tanah wakaf untuk pembangunan perumahan terutama untuk masyarakat tidak mampu.
Berdasarkan data Kementerian Agama RI tahun 2010, jumlah tanah wakaf di Indonesia sebanyak 3.312.883.317,83 meter persegi (3,3 miliar m2) dan tersebar di 454,635 lokasi di perkotaan dan perdesaan. Dari keseluruhan tanah wakaf yang ada, penggunaannya didominasi oleh wakaf fisik yang bersifat sosial. Di antaranya 68 persen untuk tempat ibadah, 8,51 persen untuk pendidikan, 8,40 persen untuk kuburan, dan 14,60 persen untuk lain-lain.
Dari perspektif syariah, persentase luas tanah wakaf sebanyak 14,60 persen (483.680.964 m2/48.368 ha) tersebut masuk kategori wakaf mutlak yang dapat didayagunakan untuk kepentingan umum, termasuk untuk pembangunan rumah terutama untuk masyarakat tidak mampu. Jumlah 483,68 juta m2 (48.368 ha) tersebut sangat besar, lima persen saja dari jumlah tersebut akan tersedia tanah wakaf seluas 24,18 juta m2 (2.418 Ha). Ini potensi yang sangat besar, tinggal bagaimana mendayagunakannya sesuai prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan untuk dapat memenuhi hak dasar rakyat akan tempat tinggal. Semoga.
Oleh: Rahmat Hidayat, Alumni PhD Ekonomi Islam Universitas Kebangsaan Malaysia dan bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat RI.
Sumber: Republika