Beberapa pengamat perbankan syariah domestik dan internasional ada yang memandang sebelah mata industri perbankan syariah Indonesia. Setidaknya ada tiga sebab yang melahirkan pandangan tersebut. Pertama, market share-nya yang masih single digit (kisaran tiga persen) padahal bank syariah telah mewarnai industri perbankan nasional selama dua dekade terakhir. Apabila dibandingkan dengan Malaysia, market share industri perbankan syariah di sana telah mencapai kurang lebih 20 persen sejak berdirinya lembaga keuangan syariah pertama (tabung haji) pada 1983 lalu.
Kedua, produk-produk perbankan syariah dan instrumen-instrumen pasar keuangan syariah Indonesia tidak seberagam dan sekomplet Malaysia atau negara-negara Timur Tengah. Ketiga, jumlah bank syariah dan unit usaha syariah yang masih terbatas (11 bank syariah dan 23 unit usaha syariah) jika dibandingkan jumlah bank konvensional sehingga aktivitas penarikan dana nasabah dan penyaluran dana kepada pengusaha belum begitu optimal. Kondisi inipun berdampak kepada aktivitas trading di pasar keuangan syariah dan pasar modal syariah yang tidak begitu aktif.
Apakah pandangan sebelah mata tersebut cukup berdasar? Apakah memang industri perbankan syariah Indonesia begitu tertinggal dan tidak berkembang selama dua dekade terakhir? Tulisan ini mencoba menganalisis dan menjelaskan nilai lebih industri perbankan syariah Indonesia dibandingkan industri perbankan syariah Malaysia dan negara-negara Timur Tengah. Paling tidak, analisis terhadap tiga penyebab pandangan miring sebagian pengamat perbankan syariah di atas.
Market share perbankan syariah Indonesia memang masih single digit, namun hal ini, antara lain, dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya merealisasikan dukungannya kepada perbankan syariah. Survei-survei kepada nasabah perbankan yang dilakukan Bank Indonesia sejak 2000 hingga 2009, survei nasabah perbankan yang dilakukan oleh Mars, Markplus, universitas, dll juga mengabarkan bahwa hampir semua masyarakat Indonesia mendukung sepenuhnya ide perbankan syariah.
Namun demikian, mereka ternyata nasabah yang cukup realistis. Interaksi yang tinggi baru akan mereka lakukan apabila bank syariah setidaknya telah mencapai dua kondisi, yaitu fasilitas dan layanan perbankan yang komplet serta bagi hasil yang kompetitif dengan suku bunga. Pada kenyataannya, bank syariah Indonesia baru berkembang dan butuh waktu untuk mempunyai fasilitas dan layanan yang sama kompletnya dengan perbankan konvensional. Selain itu, ketika suku bunga simpanan naik, bagi hasil (revenue sharing) tidak dapat serta-merta naik apalagi ketika sektor riil mendapatkan tekanan ekonomi.
Namun demikian, patut dicatat bahwa pertumbuhan industri perbankan syariah Indonesia adalah yang tertinggi di dunia. Rata-rata pertumbuhan industri perbankan syariah Indonesia dalam lima tahun terakhir mencapai 38 persen dan tahun 2010 lalu pertumbuhannya mencapai 47 persen. Angka ini jauh melampaui rata-rata pertumbuhan industri perbankan syariah dunia yang hanya berkisar 10-20 persen per tahun.
Kedua, industri perbankan syariah Indonesia baru memanfaatkan dana-dana publik dan belum sepenuhnya mengelola dana-dana pemerintah. Apabila Pemerintah Indonesia setidaknya melakukan tiga kebijakan strategis untuk mendukung perbankan syariah, industri perbankan syariah Indonesia berpotensi mempunyai market share yang lebih besar daripada Malaysia atau negara-negara Timur Tengah.
Kebijakan pertama, menyerahkan sepenuhnya pengelolaan dana haji yang jumlahnya tidak kurang dari Rp 34 triliun per tahun (Rp 26 triliun dari jamaah yang siap berangkat dan sisanya dana jamaah yang masih waiting list) kepada bank-bank syariah. Ini juga termasuk dana-dana Ziswaf (zakat, infak, sedekah, dan wakaf) yang sebagian masih dikelola oleh bank-bank konvensional.
Kebijakan kedua, mempercayakan pengelolaan sebagian besar dana-dana perusahaan BUMN kepada bank syariah. Aset pemerintah di perusahaan BUMN bernilai kurang lebih Rp 2.476 triliun dan hanya sebagian kecil yang dikelola oleh bank-bank syariah. Apabila semua dana haji, dana Ziswaf, dan minimal 10 persen dari total aset BUMN dikelola oleh bank-bank syariah, total aset industri perbankan syariah akan melompat empat kali lipat dalam waktu singkat dari posisi Rp 100,2 triliun pada akhir 2010.
Kebijakan ketiga adalah mengonversi minimal satu dari empat bank BUMN menjadi bank syariah. Total aset empat bank BUMN pada akhir 2010 mencapai Rp 1.114 triliun atau menguasai 37 persen dari total aset perbankan nasional. Konversi dari minimal satu bank BUMN menjadi bank syariah kembali akan mendorong market share bank syariah secara signifikan.
Di Malaysia maupun di Timur Tengah, dukungan pemerintah terhadap bank syariah sangat besar, antara lain, ditandai oleh dikelolanya dana haji dan sejumlah dana pemerintah lain oleh bank-bank syariah. Bahkan di Malaysia, semua dana pemerintah ditempatkan dan dikelola oleh bank syariah.
Produk-produk perbankan dan instrumen keuangan syariah di Malaysia dan negara-negara Timur Tengah didominasi oleh akad bay al innah, bay al dayn, bay al arbun, bay al wafa dan tawaruq yang kontroversial. Bahkan, Islamic scholar kontemporer yang merupakan founding fathers Islamic finance seperti Dr Umer Chapra dan Dr Nejatullah Siddiqui mengharamkan akad-akad tersebut.
Artinya, industri perbankan syariah di Malaysia dan negara-negara Timur Tengah tumbuh dan berkembang dari penerapan akad-akad syariah yang tidak 100 persen sharia compliance. Bahkan, Syeikh Taqi Usmani (AAOIFI) pernah menyatakan bahwa 80 persen sukuk yang beredar di dunia tidak sharia compliance.
Walaupun market share dan variasi produk dan instrumen keuangan syariah Indonesia tidak sebesar dan sekomplet Malaysia dan negara-negara Timur Tengah, industri perbankan syariah Indonesia tumbuh dan berkembang dari penerapan akad-akad yang insya Allah 100 persen sharia compliant bahkan sharia based. Dewan Syariah Nasional (DSN) cukup ketat dan disiplin dalam mengawal perkembangan industri perbankan syariah, termasuk penggunaan akad-akad syariah.
Terakhir, jumlah bank syariah di Indonesia memang belum sebanyak di Malaysia dan negara-negara Timur Tengah, namun hampir semua bank syariah di Indonesia adalah bank syariah ritel yang menyalurkan pembiayaan langsung ke sektor riil khususnya kepada usaha kecil dan menengah (UKM). Sementara itu di Malaysia, bank syariah yang merupakan investment banking jumlahnya cukup banyak dan mempunyai aset yang cukup besar sebut saja HSBC amanah, Kuwait Financial House, CIMB Islamic, dll.
Sebagai kesimpulan, industri perbankan syariah Indonesia memang masih belum bisa menyamai Malaysia atau negara-negara Timur Tengah. Namun demikian, industri perbankan syariah Indonesia memiliki nilai-nilai lebih yang tidak dimiliki Malaysia dan negara-negara Timur Tengah. Bahkan, nilai-nilai lebih tersebut menunjukkan bahwa Indonesia adalah tolok ukur ideal perkembangan perbankan syariah yang sesuai dengan syariah.
Oleh Rifki Ismal PhD, Pemerhati Bank Syariah
Sumber: Republika