Wakaf secara etimologi bermakna berhenti, menahan, atau parkir. Sedangkan dari sudut terminologi, wakaf bermakna menahan sesuatu harta yang dimiliki, tidak lagi mengalihkannya, tidak menjualnya, dan tidak pula mewariskannya (keluar dari lalu lintas perekonomian). Kemudian menggunakan hasil atau manfaat yang diperoleh daripada harta yang ditahan itu untuk kemaslahatan umum di jalan yang diridai Allah SWT.
Manfaat wakaf, jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lain yang berkaitan dengan menafkahkan harta, ialah diperolehnya ganjaran pahala yang berlipat ganda dan bersifat terus-menerus dari Allah SWT. Selama harta yang diwakafkan masih tetap bermanfaat atau berhasil, sepanjang itu pula orang yang berwakaf memperoleh ganjaran pahala yang berlipat ganda.
Oleh karena itu, agar orang yang berwakaf tetap memperoleh pahala yang terus-menerus mengalir, benda yang diwakafkan lazimnya selalu dalam bentuk harta yang mempunyai manfaat atau hasil untuk jangka waktu yang lama. Harta tersebut dapat dalam bentuk harta tidak bergerak, harta bergerak, harta tidak berwujud, ataupun harta berwujud.
Dalam Islam sudah merupakan keyakinan mutlak bahwa yang menjadi sumber dari segala sumber hukum adalah Alquran dan Sunah Nabi Muhammad SAW. Keyakinan itu sifatnya mutlak dan merupakan bukti keimanan kepada Allah SWT.
Dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 261, Allah SWT menyatakan bahwa perumpamaan orang-orang yang menginfakkan harta mereka di jalan Allah adalah seperti sebutir padi yang menumbuhkan tujuh tangkai, yang pada setiap tangkai tumbuh seratus biji.
Ayat Alquran di atas mengemukakan bahwa orang yang membelanjakan harta untuk kemaslahatan di jalan Allah akan diberikan ganjaran hingga 700 kali lipat atas harta yang dibelanjakan. Artinya, Allah SWT menambah harta itu secara berlipat-lipat, baik dalam bentuk jumlah (kuantitas) maupun dalam bentuk manfaat atau berkah (kualitas) dari harta yang dimiliki.
Dalam hadis Rasulullah SAW dikemukakan bahwa apabila seseorang meninggal dunia, hanya tiga hal yang pahalanya akan terus mengalir kepada orang tersebut. Salah satunya adalah sedekah jariah. Sedekah jariah tidak sekadar memberikan harta kepada fakir, miskin, dan anak yatim yang berada di pinggir jalan. Sedekah jariah adalah sedekah yang pahalanya terus-menerus mengalir tidak berhenti. Artinya, wujud barang yang disedekahkan itu tidak pernah habis. Dan, sedekah jariah yang masuk kategori ini adalah wakaf. Karena, harta wakaf yang dipergunakan secara langsung adalah hasil daripada harta yang diwakafkan, sedangkan benda wakaf harus tetap abadi.
Dengan keabadian harta benda yang diwakafkan, benda wakaf akan tetap berhasil atau bermanfaat, dan sepanjang harta wakaf itu menghasilkan atau bermanfaat, sepanjang itu pula orang yang berwakaf memperoleh pahala, bahkan walaupun orang yang berwakaf sudah meninggal dunia. Artinya, aliran pahala yang diterima oleh orang yang berwakaf dapat lebih lama daripada umur orang yang berwakaf.
Dalam pemahaman masyarakat Indonesia umumnya, harta benda yang dapat diwakafkan adalah barang yang tidak mudah habis karena dipakai atau memiliki daya tahan yang lama. Objek wakaf jenis ini sering kali terbatas dalam bentuk tanah dan bangunan saja.
Jika pemahaman wakaf seperti itu, yang dapat mengamalkan ibadah wakaf hanya terbatas kepada orang-orang kaya, karena untuk dapat mengamalkan wakaf diperlukan jumlah uang yang relatif banyak. Apalagi di daerah perkotaan, untuk dapat mengamalkan wakaf mestilah dengan uang yang jumlahnya relatif besar pula.
Pemahaman wakaf seperti di atas tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Itu karena persoalan wakaf merupakan masalah ijtihadiah, yaitu persoalan yang berpeluang untuk dilakukan inovasi, termasuk mengenai objek dan benda atau harta yang akan diwakafkan.
Karena persoalan ijtihadiah, sudah sejak lama ulama menegaskan bahwa harta yang dapat diwakafkan itu tidak terbatas hanya pada tanah dan bangunan. Tetapi sesuai dengan makna harta, yaitu segala sesuatu yang dapat bermanfaat bagi seseorang. Dengan demikian, harta yang boleh diwakafkan itu juga meliputi benda-benda lain yang bermanfaat, seperti uang yang dalam praktiknya disebut dengan wakaf uang atau wakaf tunai.
Kalau objek wakaf berupa uang, tentulah ibadah wakaf akan mudah diamalkan oleh siapa saja. Dengan wakaf uang, berwakaf tidak mesti memiliki uang yang banyak dan setiap orang berkesempatan mengamalkan ibadah wakaf dengan mudah sesuai dengan kemampuan ekonomi masing-masing. Bahkan, berwakaf dapat dilakukan secara berjamaah atau kelompok. Dengan cara berwakaf secara berjamaah, mengamalkan ibadah wakaf tunai cukup dengan seratus rupiah, lima ratus rupiah atau seribu rupiah.
Lifestyle
Secara etimologi lifestyle adalah gaya hidup. Sedangkan dari sudut terminologi, lifestyle ialah perilaku yang dijalani seseorang dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menggunakan harta dan mengalokasikan waktunya. Lifestyle seseorang berhubungan erat dengan konsep dan pandangan hidup yang dianut. Oleh karena itu, lifestyle ini lazimnya merupakan perwujudan dari pandangan hidup (way of life) seseorang. Bagi seorang Muslim, lifestyle-nya tentu disandarkan pada keyakinan agama, yaitu Islam.
Dalam Islam, sebagaimana dikemukakan di atas, ada ajaran ibadah yang diyakini sangat bermanfaat untuk menjalin hubungan dengan Allah SWT dan sekaligus merajut hubungan dengan sesama manusia. Hubungan itu dalam bentuk ibadah yang disebut dengan ibadah wakaf.
Wakaf sangat ideal dijadikan sebagai gaya hidup seorang Muslim. Sebab, wakaf dapat menambah harta (kuantitas dan kualitas) dan pahala kepada orang yang mengamalkannya. Sedangkan secara psikologi, berwakaf memberikan pengaruh positif kepada orang yang berwakaf. Sebab apabila wakaf dijadikan sebagai lifestyle, ia akan mendorong lahirnya etos kerja.
Lahirnya etos kerja akan menjadikan seseorang bersemangat, gembira, dan berbahagia bekerja untuk memperoleh harta, tanpa melihat seberapa besar gaji yang diperoleh. Apalagi, gaji yang diperoleh pada hakikatnya tidak berpengaruh pada kebahagian seseorang.
Menurut penelitian Prof Elizabeth W Dunn, seperti yang diterbitkan oleh University of British Columbia Vancouver, kebahagiaan tidak ada hubungannya dengan gaji yang diperoleh setiap bulannya. Sebaliknya, mereka merasa bahagia pada saat gaji yang mereka peroleh dipergunakan untuk kegiatan amal.
Dengan multimanfaat wakaf itu, sungguh tepat bila umat Islam menjadikan gerakan wakaf sebagai lifestyle dalam kehidupan sehari-hari. Itu karena manfaatnya tidak hanya bagi dirinya, tetapi juga masyarakat luas. Wallahu a'lam.
Oleh Suhrawardi K Lubis, Alumni PhD Bidang Pembangunan Islam USM Malaysia dan Dosen UMSU Medan
Sumber: Republika