Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Dari rumahlah bermula aktivitas manusia. Rumah selain menjadi simbol bagi status sosial ekonomi seseorang, juga berperan penting dalam membentuk watak serta kepribadian bangsa. Faktanya, masih banyak masyarakat yang belum memiliki atau menempati rumah yang layak.
Menurut Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2008, sebanyak 13,8 persen rumah tangga masih menghuni rumah dengan lantai tanah, 12,4 persen dengan dinding belum permanen, dan 1,2 persen tinggal di rumah yang beratapkan daun. Pada 2009, permukiman kumuh luasnya diperkirakan mencapai 57.800 ha dan jumlah kekurangan rumah (backlog) pada akhir 2009 mencapai 7,4 juta unit (Kemenpera, 2010).
Persoalan utama yang dihadapi masyarakat yang tidak mampu untuk membeli rumah, terutama di lingkungan hunian yang layak, adalah rendahnya kemampuan daya beli (affordability). Persoalan lain adalah terbatas serta mahalnya harga tanah atau lahan, terutama di kota-kota besar, sehingga menyebabkan harganya menjadi sangat mahal dan tidak terjangkau. Oleh karena itu, pemerintah melakukan upaya terobosan dengan membangun rumah susun, baik rumah susun milik (rusunami) maupun rumah susun sewa (rusunawa).
Ikhtiar pemerintah membangun rusun dimaksudkan untuk mengurangi angka backlog, mengatasi masalah kekumuhan, meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah, serta dapat menghemat biaya transportasi dan waktu. Namun, lagi-lagi ikhtiar pemerintah tersebut tidak berjalan mulus sebagaimana yang direncanakan. Target pembangunan "Seribu Tower" yang menjadi agenda pembangunan pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat menghadapi berbagai kendala, antara lain, terbatasnya lahan di kota-kota besar yang menjadi target pembangunan 1.000 tower tersebut.
Ketentuan wakaf
Pada 18 Oktober 2011, DPR RI telah mengesahkan UU Rumah Susun (Rusun). Pengesahan UU Rusun tersebut patut diapresiasi karena menjadi babak baru dan terobosan bagi pembangunan rusun dan juga bagi dunia perwakafan di Indonesia. Ada beberapa substansi baru dalam UU tersebut, antara lain, pasal tentang pendayagunaan tanah wakaf untuk rusun.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pelaksanaannya diharapkan mampu menstimulasi masa depan perwakafan di Indonesia sehingga dapat diberdayakan secara lebih produktif dan profesional dan menjadi solusi dalam mengatasi persoalan sosial kemasyarakatan di Indonesia. Dalam konteks ini, wakif (orang yang berwakaf) menentukan peruntukan harta benda wakaf pada saat ikrar wakaf. Jika tidak, nazhir (pengelola) dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
Berdasarkan data Kementerian Agama tahun 2010, jumlah tanah wakaf di Indonesia sebanyak 3.312.883.317,83 (3,3 miliar m2) tersebar di 454,635 lokasi di perkotaan dan pedesaan. Dari seluruh tanah wakaf itu, penggunaannya masih didominasi oleh wakaf fisik yang bersifat sosial. Di antaranya, 68 persen untuk tempat ibadah, 8,51 persen untuk pendidikan, 8,40 persen untuk kuburan, dan 14,60 persen untuk lain-lain.
Dari perspektif syariah, persentase luas tanah wakaf sebanyak 14,60 persen dari 3,3 miliar m2 (483.680.964 m2/48.368 ha) tersebut masuk kategori wakaf mutlak karena wakif tidak menentukan secara spesifik penggunaan harga harta wakaf tersebut.
Dari perspektif ekonomi, pendayagunaan tanah wakaf untuk pembangunan rusun banyak memberikan keuntungan, antara lain, para investor tidak perlu berinvestasi besar untuk tanah. Anggaran untuk investasi dapat dialihkan untuk pembangunan rusun sehingga harga atau sewa rusun menjadi lebih murah dan lebih terjangkau.
Dari perspektif agama, pendayagunaan tanah wakaf untuk rusun diharapkan dapat membantu tercapainya niat baik wakif untuk beramal jariah, serta menghindari terjadinya idle terhadap tanah wakaf. Dengan demikian, dapat bermanfaat dalam membantu memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Pendayagunaan tanah wakaf
Beberapa substansi yang diatur dalam UU Rusun terkait dengan pendayagunaan tanah wakaf adalah sebagai berikut.
Pertama, mekanisme pendayagunaan tanah wakaf. Dalam pasal 18 dinyatakan bahwa rumah susun umum dan/atau rumah susun khusus dapat dibangun dengan pendayagunaan tanah wakaf. Selanjutnya, pasal 20 menyatakan bahwa pendayagunaan tanah wakaf untuk pembangunan rumah susun dilakukan dengan cara sewa atau kerja sama pemanfaatan sesuai dengan ikrar wakaf. Apabila tidak sesuai dengan ikrar wakaf, dapat dilakukan pengubahan peruntukan setelah memperoleh persetujuan dan/atau izin tertulis Badan Wakaf Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kedua, jaminan keberadaan tanah wakaf. Untuk menjamin keamanan status tanah wakaf sebagaimana dikehendaki Pasal 40 UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, tanah wakaf yang didayagunakan untuk rusun harus dilakukan dengan perjanjian tertulis di hadapan pejabat yang berwenang dengan sekurang-kurangnya memuat hak dan kewajiban penyewa dan pemilik tanah, jangka waktu sewa, kepastian pemilik tanah, dan jaminan penyewa terhadap tanah yang dikembalikan tidak terdapat permasalahan fisik, administrasi, dan hukum (pasal 21).
Ketiga, untuk memberikan rasa aman dan kenyamanan pagi penyewa tanah wakaf, jangka waktu sewa diberikan selama 60 tahun sejak ditandatanganinya perjanjian tertulis (pasal 21). Keempat, untuk menjamin keterjangkauan harga jual sarusun umum bagi MBR, penetapan tarif sewa atas tanah dilakukan oleh pemerintah (pasal 21).
Kelima, agar satuan rumah susun (sarusun) yang dibangun di atas tanah wakaf mempunyai daya tarik dan nilai ekonomis, akan diterbitkan Surat Kepemilikan Bangunan dan Gedung (SKBG) Sarusun dan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia (pasal 48).
Karena itu, dengan UU Rusun ini, diharapkan dapat meningkatkan kerja sama dan sinergisitas antarpemangku kepentingan, terutama Kemenpera, Kemenag, BWI, Pemda, pengembang, dan Organisasi Sosial Keagamaan untuk dapat mengakselerasi pembangunan rusun dan perwakafan di Indonesia.
Oleh Rahmat Hidayat, Alumni PhD Ekonomi Islam Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), Bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat RI
Summber: Republika