Keputusan parlemen (DPR-RI) mengesahkan undang-undang tentang pengelolaan zakat yang baru harus disambut gembira. Tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang dalam mengupayakan revisi undang-undang ini untuk lebih baik.
Umat Islam telah maksimal mengawal revisi undang-undang dengan pencapaian yang maksimal. Dalam konteks lembaga zakat, waktu 10 tahun sejak diundangkannya UU No 38 Tahun 1999 telah cukup untuk menempa diri para amil-amil zakat yang tangguh, profesional, kredibel, dan akuntabel.
Berpijak pada Alquran surah ash-Shaaf ayat 4, mari susun barisan yang solid di bawah komandan barisan yang sudah diamanahkan. Kita saling rangkul dan saling menguatkan karena Allah sangat mencintai orang-orang yang berjuang di jalannya bagaikan satu bangunan yang tersusun-susun rapi. Berpeganglah pada tali Allah dan jangan bercerai berai.
Uji coba
Pengelolaan zakat di Indonesia telah mengalami uji coba operasionalnya lewat berbagai macam peraturan sekaligus model kelembagaannya. Jauh sebelum BAZIS, Presiden Soeharto pernah mencoba secara pribadi mengangkat dirinya sebagai amil zakat nasional dengan membentuk Lembaga Zakat Kepresidenan (1968 sampai 1974), namun ternyata potensi zakat tetap tidak tergali juga.
Sejak 1999, operasionalisasi zakat secara nasional kembali diujicobakan dengan menerapkan dua sistem, yakni keterlibatan pemerintah dengan membentuk Baznas dan masyarakat dengan pendirian lembaga amil zakat (LAZ). Yang menarik dari penerapan sistem ini adalah tolok ukur keberhasilan pengelolaan zakat diserahkan kepada mekanisme pasar, tidak ada intervensi dari pemerintah yang signifikan. Bahkan, muzaki yang sesungguhnya diwajibkan berzakat juga tidak tersentuh sama sekali.
Kewajiban zakat mereka bergantung pada kesadarannya pribadi. Begitupun proses penyaluran zakat, semuanya diserahkan kepada lembaga pengelola zakat itu sendiri, tidak ada koordinasi dan tidak ada strategi. Setiap LAZ memiliki ukuran sendiri-sendiri untuk mengklaim bahwa programnya berhasil atau unggul.
Satu hal yang patut dicermati dalam pola penyaluran dana ZIS, yakni umumnya dalam penyaluran ZIS, rata-rata LAZ melakukannya lewat program yang sifatnya berbasis komunitas. Oleh sebab itu, jangan heran jika mustahik individu (personal) saat mengajukan kebutuhan untuk dirinya ke lembaga pengelola zakat (LPZ) tertentu akan tidak mendapatkan respons yang baik dari LPZ tersebut.
Yusuf Wibisono dalam "Ironi UU Zakat" (Republika, 31/10) mengangkat keterlibatan swasta dalam mengelola zakat, ternyata memberikan kontribusi yang baik. Menurut Yusuf, kinerja LAZ pada 2010 yang terdiri dari 18 LAZ NASAIONAL dan 22 LAZ daerah berkemampuan menghimpun dana ZIS lebih unggul dibanding Baznas.
Ukuran unggul, menurut Yusuf, angka Rp 635 miliar dana ZIS yang dihimpun oleh LAZ menunjukkan efesiensi kerja LAZ jika dibandingkan dengan apa yang diperoleh oleh Baznas dengan pencapaian Rp 865 miliar pada tahun yang sama. Efisiensi, menurut Yusuf, adalah pada perbandingan jumlah lembaga.
Yusuf menyimpulkan, perbandingan rata-rata pencapaian penghimpunan dana ZIS antara pendapatan Baznas dan LAZ adalah Rp 2 Miliar oleh masing-masing BAZ se-Indonesia (33 Baznas provinsi dan 502 Baznas kabupaten atau kota) dan Rp 15 miliar oleh setiap LAZ dalam setahun (18 Laznas dan 22 Lazda). Dengan perbandingan angka ini, Yusuf berhipotesis bahwa pengelolaan zakat oleh LAZ lebih unggul dibandingkan Baznas yang memiliki organ yang lebih banyak.
Perlu diuji
Hipotesis Yusuf, menurut penulis, perlu diuji dari segala aspek. Salah satunya adalah aspek potensial zakat. Jika merujuk pada penelitian yang telah banyak dirilis oleh beberapa lembaga riset belakangan ini, terutama hasil riset Baznas dan FEM IPB tahun 2011, yang menurut penelitian terebut potensi zakat Indonesia mencapai Rp 217 triliun, baik Baznas maupun LAZ sesungguhnya kedua-duanya belum maksimal dalam menghimpun dana zakat. Dengan pencapaian Rp 1,5 triliun (akumulasi dana ZIS 2010), potensi dana zakat Indonesia yang baru tergali belum mencapai dua persennya.
Belum lagi jika dilakukan penelitian antara biaya public relation LPZ yang sudah dihabiskan untuk menarik minat muzaki dalam berzakat dibandingkan pendapatannya (baca: cost and benefit). Atau, biaya operasional LPZ dibandingkan manfaat yang diterima mustahik.
Dari sudut pandang ini, penulis berasumsi bahwa hipotesis Yusuf baru menyentuh kulit luar dari persoalan pengelolaan zakat di Indonesia dan belum menyentuh pada masalah yang subtansial, yakni bagaimana menggali potensi besar perzakatan nasional serta mengoptimalkan pendayagunaannya.
Yusuf memiliki perspektif negatif di saat Baznas nantinya mendapatkan dukungan biaya dari APBN dan atau APBD serta hak amil itu sendiri. Padahal, pembiayaan dari APBN dan APBD adalah salah satu langkah maju di mana pemerintah memang harus mengakomodasi kebutuhan organisasi Baznas, karena apa yang dilakukan Baznas bertujuan membantu pemerintah mengentaskan kemiskinan. Kalaulah selama ini Baznas membiayai dirinya sendiri lewat dana amil, mengapa tidak jika kemudian APBN dan APBD mendukung operasionalnya sehingga keutuhan dana ZIS akan lebih besar dimanfaatkan untuk program pengentasan kemiskinan.
Jika operasionalisasi pengelolaan zakat dapat dibiayai oleh APBN atau APBD dan ditambah dengan dana hak amil, alokasi dana zakat untuk asnaf-asnaf selain amil akan seluruhnya dapat diserap oleh mustahik dibandingkan praktik selama ini. Dan, hal itu akan semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap amil zakat.
Amru, Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi Islam Universitas Ibnu Khaldun Bogor
Sumber: Republika