Terlepas dari pertumbuhan ekonomi yang signifikan, pengangguran masih menjadi salah satu masalah terbesar dalam perekonomian nasional. Meski dalam dua periode pemerintahan terakhir strategi pembangunan telah diarahkan menuju pertumbuhan yang lebih inklusif melalui triple track strategy, yaitu pro-growth, pro-poor dan pro-job, terakhir ditambah dengan pro-environment, namun belum terlihat hasil yang memuaskan.
Ketidakmampuan pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tidak saja berpotensi melanggar konstitusi Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, namun juga melemahkan secara substansial upaya penanggulangan kemiskinan yang bermartabat. Jutaan orang hingga kini menganggur, jutaan lainnya bekerja namun tidak produktif (hidden unemployment), jutaan lainnya bekerja namun tetap miskin (working poor), dan jutaan lainnya berdiaspora menjadi TKI di penjuru dunia dengan mempertaruhkan nyawa dan keluarga.
Perspektif Islam
Islam memberi perhatian besar pada masalah bekerja. Bekerja pada dasarnya adalah kewajiban setiap individu di mana Allah, Rasul, dan masyarakat secara langsung akan menilai hasil kerja-nya itu (QS 9: 105). Bekerja juga dipandang Islam sebagai salah satu bentuk manifestasi rasa syukur kepada Allah SWT (QS 34:13). Dikaitkan dengan kehidupan manusia di Bumi, bekerja adalah kewajiban setiap individu untuk mencari nafkah (QS 67:15).
"… Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu …” (QS 9: 105).
“ … Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah) …” (QS 34:13).
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya …” (QS 67:15).
Dengan adanya jaminan rizki dan kewajiban bekerja, maka dalam perspektif Islam, pengangguran dan masalah ketenagakerjaan lainnya sepenuhnya disebabkan oleh masalah-masalah struktural. Pertama, pengangguran timbul karena kurangnya ilmu yang dimiliki manusia. Kedua, pengangguran timbul karena kelemahan fisik. Ketiga, pengangguran juga dapat timbul karena kelemahan moral. Keempat, pengangguran timbul karena ketiadaan faktor produksi pendukung untuk bekerja. Kelima, pengangguran timbul karena penerapan riba. Keenam, pengangguran timbul karena gejolak eksternal seperti bencana alam yang membuat penduduk kehilangan mata pencaharian atau peperangan.
Di banyak negara berkembang, masalah perekonomian adalah surplus tenaga kerja yang besar di sektor tradisional dengan upah pada tingkat minimum-subsisten. Pembangunan kemudian ditujukan pada penciptaan lapangan kerja yang luas di sektor modern untuk menyerap surplus tenaga kerja tersebut. Penciptaan lapangan kerja di sektor modern ini membutuhkan akumulasi modal yang besar, yang pada gilirannya membutuhkan mobilisasi tabungan dan sumber daya finansial lainnya. Kebutuhan terhadap akumulasi modal inilah yang kemudian memunculkan ketergantungan perekonomian terhadap para pemilik modal. Namun sebaliknya, kelas buruh seringkali terabaikan dan termarjinalkan.
Fokus dari strategi ekonomi konvensional adalah ekspansi lapangan kerja pada tingkat yang semakin cepat untuk menyerap habis surplus tenaga kerja. Namun strategi ini terbukti gagal di banyak negara berkembang. Strategi ini mengalami kegagalan karena hanya berfokus pada penciptaan lapangan kerja dengan upah tetap di sektor modern-formal. Padahal, lapangan kerja dapat pula diciptakan melalui penciptaan peluang wirausaha. Strategi konvensional cenderung mengabaikan cara kedua ini.
Strategi dan Instrumen Islam
Kerangka sosial-ekonomi dalam perekonomian Islam mendorong penciptaan lapangan kerja melalui dua jalur, yaitu: penciptaan pekerjaan dengan upah tetap (fixed-wage job) dan penciptaan peluang wirausahawan (entrepreneurial opportunities). Secara umum, strategi Islam untuk penciptaan lapangan kerja meliputi hal-hal berikut.
Ketidakmampuan pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tidak saja berpotensi melanggar konstitusi Pasal 27 ayat 2 UUD 1945, namun juga melemahkan secara substansial upaya penanggulangan kemiskinan yang bermartabat. Jutaan orang hingga kini menganggur, jutaan lainnya bekerja namun tidak produktif (hidden unemployment), jutaan lainnya bekerja namun tetap miskin (working poor), dan jutaan lainnya berdiaspora menjadi TKI di penjuru dunia dengan mempertaruhkan nyawa dan keluarga.
Perspektif Islam
Islam memberi perhatian besar pada masalah bekerja. Bekerja pada dasarnya adalah kewajiban setiap individu di mana Allah, Rasul, dan masyarakat secara langsung akan menilai hasil kerja-nya itu (QS 9: 105). Bekerja juga dipandang Islam sebagai salah satu bentuk manifestasi rasa syukur kepada Allah SWT (QS 34:13). Dikaitkan dengan kehidupan manusia di Bumi, bekerja adalah kewajiban setiap individu untuk mencari nafkah (QS 67:15).
"… Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu …” (QS 9: 105).
“ … Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah) …” (QS 34:13).
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya …” (QS 67:15).
Dengan adanya jaminan rizki dan kewajiban bekerja, maka dalam perspektif Islam, pengangguran dan masalah ketenagakerjaan lainnya sepenuhnya disebabkan oleh masalah-masalah struktural. Pertama, pengangguran timbul karena kurangnya ilmu yang dimiliki manusia. Kedua, pengangguran timbul karena kelemahan fisik. Ketiga, pengangguran juga dapat timbul karena kelemahan moral. Keempat, pengangguran timbul karena ketiadaan faktor produksi pendukung untuk bekerja. Kelima, pengangguran timbul karena penerapan riba. Keenam, pengangguran timbul karena gejolak eksternal seperti bencana alam yang membuat penduduk kehilangan mata pencaharian atau peperangan.
Di banyak negara berkembang, masalah perekonomian adalah surplus tenaga kerja yang besar di sektor tradisional dengan upah pada tingkat minimum-subsisten. Pembangunan kemudian ditujukan pada penciptaan lapangan kerja yang luas di sektor modern untuk menyerap surplus tenaga kerja tersebut. Penciptaan lapangan kerja di sektor modern ini membutuhkan akumulasi modal yang besar, yang pada gilirannya membutuhkan mobilisasi tabungan dan sumber daya finansial lainnya. Kebutuhan terhadap akumulasi modal inilah yang kemudian memunculkan ketergantungan perekonomian terhadap para pemilik modal. Namun sebaliknya, kelas buruh seringkali terabaikan dan termarjinalkan.
Fokus dari strategi ekonomi konvensional adalah ekspansi lapangan kerja pada tingkat yang semakin cepat untuk menyerap habis surplus tenaga kerja. Namun strategi ini terbukti gagal di banyak negara berkembang. Strategi ini mengalami kegagalan karena hanya berfokus pada penciptaan lapangan kerja dengan upah tetap di sektor modern-formal. Padahal, lapangan kerja dapat pula diciptakan melalui penciptaan peluang wirausaha. Strategi konvensional cenderung mengabaikan cara kedua ini.
Strategi dan Instrumen Islam
Kerangka sosial-ekonomi dalam perekonomian Islam mendorong penciptaan lapangan kerja melalui dua jalur, yaitu: penciptaan pekerjaan dengan upah tetap (fixed-wage job) dan penciptaan peluang wirausahawan (entrepreneurial opportunities). Secara umum, strategi Islam untuk penciptaan lapangan kerja meliputi hal-hal berikut.
Pertama, larangan menganggur dan menyia-nyiakan sumber daya ekonomi baik sumber daya manusia, modal, maupun alam. Bekerja dalam Islam adalah sangat mulia dan memiliki kedudukan yang tinggi. Sumber daya ekonomi juga tidak boleh ditimbun dan disia-siakan. Islam mengecam keras mereka yang menyia-nyiakan kekayaan pertanian dan peternakan (QS 6: 138; QS 10: 59).
Kedua, larangan bagi sumber daya modal finansial (uang) untuk menerima sewa berupa bunga dan mengarahkannya pada kegiatan bisnis-wirausaha di sektor riil. Modal finansial dilarang disewakan dan tidak boleh menuntut klaim sewa (bunga). Pilihan untuk menyimpan uang dan membiarkannya menganggur, sulit dilakukan dalam sistem Islam karena akan terkena penalti berupa pembayaran zakat sehingga akan berkurang 2,5% setiap tahunnya. Satu-satunya cara bagi uang agar tidak berkurang dan memperoleh hasil agar berkembang adalah dengan cara terlibat dalam kegiatan wirausaha dengan bersedia menanggung risiko usaha di sektor riil untuk memperoleh laba.
Ketiga, eksistensi institusi kemitraan. Islam mendorong kemitraan melalui pelarangan riba dan penerapan zakat di mana financial resources dilarang menerima fixed rent dan mengenakan zakat terhadap financial resources yang menganggur. Islam memberi jalan bagi entrepreneurial resources, khususnya pengusaha dengan ide bisnis yang menjanjikan namun tidak memiliki modal finansial, untuk terlibat dalam kegiatan di sektor riil dengan menyediakan kerangka kerjasama atau kemitraan bisnis (partnership) seperti mudharabah, musyarakah, dan muzara’ah. Laba usaha dibagi menurut kesepakatan di muka, sedangkan kerugian hanya dapat dibagi berdasarkan rasio sumber daya finansial yang diinvestasikan. Fungsi utama partnership ini adalah mendistribusikan entrepreneurial risk sehingga semakin banyak potensi wirausaha yang terserap dan meningkatkan output perekonomian melalui spesialisasi.
Dalam sistem ekonomi konvensional, dimana semua faktor produksi disewakan termasuk uang yang dibungakan, wirausahawan tidak akan berkembang. Dalam perekonomian dengan risiko bisnis tinggi, dan tidak ada mekanisme pembagian resiko (risk-sharing), semua faktor produksi akan lebih memilih menjadi hired resources, khususnya tenaga kerja yang akan cenderung memilih menjadi pegawai atau buruh, daripada menjadi entrepreneur resources. Dengan demikian, kelompok buruh di negara berkembang, khususnya yang memiliki jumlah tenaga kerja berlimpah (labour-abundant developing countries), akan selalu terperangkap dalam upah rendah dan kemiskinan.
Keempat, eksistensi institusi jaminan sosial. Setelah membuka peluang wirausahawan melalui partnership dengan risk-sharing yang melekat didalamnya, di saat yang sama Islam menyediakan jaminan sosial secara luas. Islam memiliki institusi zakat yang merupakan sedekah wajib. Selain itu, Islam juga menganjurkan sedekah tidak wajib seperti wakaf dan infaq. Keberadaan institusi jaminan sosial ini akan menjamin setiap penduduk memperoleh tingkat kehidupan minimum. Dengan demikian, partisipasi dalam entrepreneurial resources akan meningkat, yang pada gilirannya akan meningkatkan output, menurunkan kemiskinan dan memperbaiki distribusi pendapatan.
Lebih jauh lagi, penciptaan lapangan kerja dengan upah-tetap (fixed-wage job) juga akan meningkat dalam perekonomian Islam, beriringan dengan penciptaan peluang wirausahawan (entrepreneurial opportunities). Hal ini terjadi karena akumulasi modal juga akan terjadi secara masif dalam perekonomian Islam sehingga investasi dan penciptaan lapangan kerja dengan upah-tetap terus meningkat.
Sumber pertama akumulasi modal adalah melalui kegiatan nirlaba seperti qardhul hasan, zakat, infaq dan wakaf. Motivasi tanpa mengharap balasan ini sulit kita temui di perekonomian konvensional. Selain itu Islam memiliki aturan yang cukup ketat terhadap konsumsi, seperti larangan mengkonsumsi barang haram, larangan konsumsi barang-barang mewah, larangan boros dan berlebihan dalam konsumsi, serta larangan mubazir. Dengan demikian maka pendapatan akan lebih banyak digunakan untuk tabungan dan investasi. Hal ini menjadi sumber akumulasi modal berikutnya.
Sumber akumulasi modal lain adalah tabungan para pengusaha. Jumlah wirausahawan yang lebih besar dalam perekonomian Islam secara implisit menegaskan bahwa jumlah tabungan atau dana yang di-investasikan ulang akan lebih banyak dibandingkan pada perekonomian konvensional dimana jumlah wirausahawan adalah sedikit. Pengusaha memiliki insentif yang lebih besar untuk menabung dan menggunakan tabungan tersebut untuk meningkatkan investasi dan kesejahteraan-nya.
Sumber akumulasi modal terakhir berasal dari kombinasi penerapan zakat dan pelarangan riba. Semua tabungan dalam perekonomian Islam akan diarahkan untuk kegiatan investasi produktif, melalui pelarangan riba, spekulasi, dan judi, atau pemilik modal finansial akan mendapati modal finansial mereka berkurang oleh zakat setiap tahunnya.
Yusuf Wibisono
Wakil Kepala - Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEUI