Prahara dari Wall Street

Perekonomian dunia dalam masa persim pangan. Krisis demi krisis seolah tak henti mendera. Sebagai sebuah sistem ekonomi, kapitalisme yang diadopsi negara-negara maju tengah digugat. Bahkan, ketidakpercayaan tersebut lahir dari episentrum utama penganut sistem kapitalisme, yakni Amerika Serikat. Demonstrasi Occupy Wall Street (OWS) yang bermula dari 17 september 2011 adalah gong penandanya.


Ketidakpercayaan dengan cepat mengalir ke Inggris, Jerman, Spanyol, Prancis, dan Yunani yang juga dilanda krisis. Arus ketidakpercayaan terhadap kapitalisme yang makin merebak, menular ke belahan bumi lain, seperti Australia, Jepang, Korsel, Hong Kong, Taiwan, hingga Filipina.


Pertanyaan yang paling mengemuka, akankah kapitalisme dapat kembali menemukan cara keluar krisis seperti yang dinubuatkan oleh Hayek ataupun Friedman. Yak ni, letak keunggulan kapitalisme yang memberikan kebebasan sepenuhnya selalu memberikan ruang ekspresi untuk menuai penga laman baru dan jalan keluar.


Dengan demikian, kapitalisme akan lahir kembali dalam bentuk yang sesuai dengan zamannya. Ber mutasi setelah kontradiksikon tradiksi dalam sistemnya meng alami perbaikan.


Dawam Rahardjo (2011) mengatakan kapitalisme tidak kunjung runtuh karena mengalami per kembangan dan perbaikan melalui proses humanisasi. Tetapi, yang membedakannya dengan sosialisme, proses humanisasi kapitalisme terjadi pada tingkat realitas sedangkan sosialisme hanya terjadi dalam tingkat wacana. Sehingga, kapitalisme yang bermutasi dapat menyelamatkan diri dari keruntuhan dan pulih kembali.


Dalam sejarahnya, evolusi terbesar kapitalisme terjadi setelah Depresi Besar 1930-an. Koreksi tersebut dilakukan oleh John Maynard Keynes yang meng usulkan adanya intervensi negara untuk mengurangi pengangguran, be rupa stimulus fiskal guna membu ka lapangan kerja baru. Fakta ini merupakan fase saat kapitalisme menyadari peranan penting negara dalam mengontrol kepentingan umum.


Sebuah penyimpangan
Nah, sampai pada titik ini, kita sebenarnya bisa menganalisis apa yang menjadi latar belakang kritik terhadap kapitalisme yang disebabkan krisis keuangan pada zona Euro dan AS. Sehingga, kita bisa menarik benang merah masa depan kapitalisme.


Menurut penulis, pertama; akar krisis sebenarnya bermula dari gagalnya pasar mengoreksi dirinya sendiri. Karena mekanisme the invisible hand (tangan tak terlihat) yang menjadi roh dari kapitalisme berubah menjadi tamak, rakus, serakah, tidak peduli pada etika, moral, dan parahnya bertindak atas nama kebebasan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Perilaku ini muncul karena semangat free fight competition ketika kondisi persaingan sempurna tidak pernah berlaku.


Kedua; dalam praktiknya, proses terjadinya krisis keuangan sebenarnya bermula ketika para ahli matematika dan statistika yang bekerja membuat senjata sebagai kebutuhan perang beralih menjadi arsitektur keuangan di perusahaan-perusahaan keuangan raksasa di AS. Dari kreasi yang mereka bangun, lalu lahirlah berbagai jenis produk keuangan yang ditunjukkan dengan munculnya berbagai instrumen derivatif (turunan) dari produk-produk tradisional, dengan basis pinjaman yang menciptakan likuiditas yang besar. Rekayasa dalam pasar keuangan tersebut ketika diapli kasikan tentu akan memberikan imbal keuntungan (return) yang besar, sekaligus tingkat risiko yang tinggi pula.


Masalahnya, instrumen-instrumen ini tidak lagi berhubungan langsung dengan sektor riil. Sektor keuangan tumbuh dengan agresif, uang tercipta dengan berlipat ganda. Uang menciptakan uang, namun tidak disertai dengan meningkatnya produksi barang dan jasa dalam pasar riil. Akibatnya, terjadi bubble (gelembung) ekonomi. Ekonomi seakan tumbuh dengan pesat, tetapi senyatanya hanyalah akumulasi dari angkaangka yang tidak menggambarkan fakta dalam tingkat sebenarnya.


Ketiga; yang harus diingat dari proses diakuinya produk-produk derivatif dari pasar keuangan secara hukum sebagai alat investasi yang sah, merupakan hasil ‘kongkalikong’ antara para pemodal besar pemilik perusahaan-perusaha an raksasa dan pemerintah. Unsur ‘lobi’ lebih mengemuka dan tentu di balik layarnya, unsur- unsur kerakusan dan ketamakan lebih kuat dan mendominasi. Keinginan untuk mendapatkan profit yang besar dan berputar di otak para pengambil kebijakan dan pengusaha adalah skandal besar, yang menghancurkan tata perekonomian.


Dampak kapitalisme
Kondisi yang menjurus pada ketidakadilan ekonomi semakin parah ketika pasar derivatif yang semu itulah yang menentukan sistem perekonomian. Aksi ambil un tung atas dasar rasionalitas eko nomi mengemuka tanpa perlu mem perhatikan kepentingan umum dan orang lain. Parahnya, likuiditas hanya berputar-putar di sektor keuangan. Akibatnya, ketika utang tidak terbayar, gejolak pun terjadi, semua pada akhirnya terkena imbasnya.


Apa yang terjadi dengan pasar keuangan merupakan cerminan perilaku keserakahan dari para pelaku dan penyimpangan kekuasaan, yang memperdayai kebijakan untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Ketimpangan hidup pun tak terelakkan.


Gejala ketimpangan seperti ini pada abad keempat sebelum Masehi pernah diungkapkan Aristoteles dengan ditandai, (1) perolehan dijadikan tujuan dan bukan semata-mata sebagai alat kehidupan untuk menggapai ketenteraman; (2) proses akumulasi modal dan kekayaan cenderung tidak mengenal batas, padahal orang tahu bahwa kehidupan tenteram hanya memerlukan materi yang terbatas; (3) bahwa ada tanda yang menunjukkan sebagian masyarakat memperoleh untung atas kerugian orang lain.


Kondisi tersebut juga berlaku pada sistem persaingan bebas yang dicetuskan kapitalisme. Saat tidak ada lagi rambu-rambu etika dan moralitas yang mengingatkan orang untuk meraih keuntungan. Akibatnya, ‘hukum rimba’ kesewe nang-wenangan terjadi. Dalam konteks inilah, ramalan Marx benar bahwa kapitalisme sedang menggali kuburnya sendiri.


Oleh karena itu, kritik terhadap kapitalisme yang sedang dilanda krisis akibat keserakahan yang terjadi dalam pasar keuangan, semestinya bisa kita jadikan momentum berkaca untuk mengevaluasi penerapan sistem ekonomi pa sar. Sebab, ternyata penerapannya menimbulkan gap kemakmuran yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Karena kedaulatan pasar yang beringas tanpa etika dan moralitas telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan.


Ahan Syahrul Arifin, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ekonomi UI
Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya