Manajemen Krisis Ramadah

Salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam adalah krisis Ramadah, yaitu masa-masa terjadinya bencana kelaparan, kemarau dan paceklik yang sangat luar biasa. Mayoritas riwayat menyatakan bahwa krisis ini terjadi pada tahun 18 H, yaitu pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab ra. Krisis tersebut diawali oleh minimnya sumber air akibat terhentinya curahan hujan untuk beberapa waktu. Akibatnya, sektor pertanian menjadi terganggu akibat kegagalan dalam produksi. Hal ini terjadi di seluruh wilayah Hijaz. Beberapa riwayat menyatakan bahwa kondisi ini juga terjadi hingga ke wilayah Najd, Tihamah dan Yaman.


Gagalnya produksi pangan berdampak pada meluasnya wabah kelaparan, akibat ketidakmampuan pemerintah dalam memenuhi permintaan pangan. Kondisi ini kemudian diperparah dengan munculnya wabah penyakit pes di wilayah Syam, yang merupakan salah satu pusat perdagangan dunia pada saat itu. Arus perdagangan pun menjadi terganggu karena para pedagang cenderung menghindari wilayah bencana.


Kondisi yang demikian membuat warga Jazirah melakukan migrasi ke Madinah. Hal tersebut dikarenakan kondisi Madinah yang relatif lebih baik, terutama dari sistem pertanian. Masyarakat Madinah saat itu sudah memberlakukan sistem irigasi untuk pertanian, sehingga tingkat ketergantungan terhadap curah hujan dapat dikurangi. Namun demikian, karena infrastruktur Madinah belum siap menampung arus pengungsi dalam jumlah besar, maka sejumlah masalah pun terjadi.


Pertama, terjadi lonjakan kenaikan harga pangan akibat kapasitas produksi pertanian yang belum mampu memenuhi excess demand. Keberadaan sejumlah pebisnis yang melakukan aktivitas penimbunan bahan kebutuhan pokok juga memperparah keadaan. Kedua, banyaknya warga pengungsi yang meninggal dunia akibat faktor kesehatan yang kurang memadai. Dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa jumlah kematian ini mencapai angka dua per tiga dari keseluruhan pengungsi yang ada.


Bagaimana respon sang Khalifah Umar bin Khattab? Beliau mengambil sejumlah kebijakan penting yang berbasis pada tiga pilar, yaitu keteladanan pribadi dan keluarga, manajemen krisis yang efektif, dan pendekatan spiritual. Dari sisi keteladanan, beliau dan keluarganya mempraktekkan gaya hidup sederhana. Sehingga, tumbuh kepercayaan dan loyalitas rakyat kepadanya. Dari sisi manajemen krisis, beliau memanfaatkan keberadaan Baytul Maal sebagai sumber dana bagi penanganan dampak krisis.


Selain itu, beliau memerintahkan sejumlah gubernur untuk menggalang bantuan kemanusiaan bagi korban bencana. Abu Ubaidah bin Jarrah tercatat sebagai salah satu gubernur yang datang dengan membawa kafilah 4 ribu ekor unta yang membawa makanan. Umar ra pun memberikan sejumlah kupon makanan untuk dibagikan kepada rakyat. Amr bin ‘Ash ra, gubernur Mesir, diperintahkannya untuk membangun jalur laut antara Mesir dan Madinah yang bisa mempercepat masuknya armada barang kebutuhan rakyat. Kemudian, penegakan hukum diberlakukan kepada para pelaku ekonomi yang mengail di air keruh.


Sedangkan pada pilar yang ketiga, Umar pun tidak bosan-bosan untuk mengingatkan rakyatnya agar meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. Ia menyatakan bahwa dalam keadaan apapun, manusia tidak boleh jauh dari Tuhannya. Perintah untuk bertobat dan mengerjakan amal soleh pun beliau kumandangkan kepada seluruh rakyatnya tanpa kecuali. Beliau pun kemudian menggelar shalat Istisqo untuk mengundang turunnya hujan. Anas bin Malik ra mengatakan bahwa tidak lama setelah pelaksanaan shalat tersebut, hujan pun turun. Akibatnya, produksi pangan pun secara perlahan dapat dinormalkan kembali, sehingga krisis tersebut secara bertahap dapat diatasi.


Pelajaran dari kisah tersebut adalah bahwa perekonomian dalam keadaan apapun, baik booming maupun resesi, harus dikelola dengan memadukan dua prinsip utama. Yaitu, ikhtiar basyariyyah (usaha manusia), yang terencana dengan baik, dan iradah Ilahiyyah (ketetapan dan pertolongan Allah), yang harus diundang melalui pengamalan ibadah dan amal soleh. Keduanya harus dilakukan secara maksimal. Optimalisasi manajemen perekonomian inilah yang menjadi salah satu aplikasi dari konsep itqan dalam kehidupan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT sangat mencintai orang yang melaksanakan pekerjaannya dengan itqan (tepat, terencana dan optimal)” (HR Imam at-Thabarani).


Karena itu, Rubrik Iqtishodia kali ini, mencoba memaparkan beberapa kajian tentang urgensi penataan kelembagaan ekonomi syariah, baik perbankan syariah maupun amil zakat. Harapannya, kinerja institusi ekonomi syariah ini semakin meningkat dari waktu ke waktu.


Dr Irfan Syauqi Beik, Ketua Tim Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB

Klik suka di bawah ini ya