Dalam beberapa waktu terakhir kita dikejutkan oleh naik nya harga kedelai yang konon disebabkan oleh naiknya harga kedelai dunia sebagai imbas adanya musim panas berkepanjangan di Amerika Serikat. Sedemikian beratnya kenaikan harga kedelai ini sehingga memaksa para pengusaha tahu tempe melakukan mogok produksi selama tiga hari berturut-turut demi memaksa pemerintah turun tangan. Untuk meredam gejolak harga kedelai ini, pemerintah mengambil kebijakan yang bersifat sangat jangka pendek dengan cara menurunkan tarif impor. Meskipun demikian tetap saja harga kedelai tidak kunjung turun. Beruntung masalah harga kedelai tidak lagi menjadi isu besar karena tertutupi oleh suasana Idul Fitri 1433 H.
Gejolak kedelai dan krisis ekonomi
Ada tiga fakta penting yang
penting tentang perekonomian Indonesia
yang bisa dikaitkan dengan
krisis kedelai yang terjadi akhirakhir
ini. Pertama, sejatinya Indonesia
adalah negara yang sangat besar
dan kaya, dimana luas Indonesia
mencakup hampir seluruh wilayah
Eropa, dengan potensi alam dan ke -
ragaman sumberdaya yang lebih
baik. Kedua, di balik semua kele -
bihan tersebut, Indonesia saat ini
memiliki ketergantungan yang sa -
ngat besar pada impor. Studi Ach -
sani dan Nababan (2008) me nunjukkan
bahwa Indonesia memiliki
ketergantungan sebesar 15 persen
pa da im por bahan pangan pokok.
Untuk makanan jadi, minuman,
rokok dan tembakau, ketergantung -
an kita bah kan mencapai 32 persen.
Ketiga, gejolak harga kedelai
yang terjadi sekarang ini adalah hal
biasa dan terjadi secara berulang.
Gambar 1 menunjukkan adanya siklus
empat tahunan pada harga kedelai.
Pada tahun 2004 dan 2008 yang
lalu, juga terjadi kenaikan harga
kedelai, disertai dengan volatilitas
yang tinggi (jauh lebih tinggi dari
tahun-tahun yang lain) masing-masing
sebesar 24,6 dan 18,12 persen.
Dengan demikian, sebenarnya kita
bisa mengetahui –dan hal ini sudah
banyak diprediksi oleh para ahli—
bahwa pada tahun 2012 akan terjadi
gejolak harga kedelai lagi.
Kalau pola ini tidak berubah,
ma ka kemungkinan akan terjadi
krisis (gejolak) harga kedelai lagi
pada sekitar tahun 2016 nanti. Lalu,
akankah kita diam saja? Padahal
Allah SWT telah mengingatkan da -
lam QS 3: 190, yang artinya : “Se -
sungguhnya dalam penciptaan
la ngit dan buni dan pergantian siang
dan malam terdapat tanda-tanda
kebesaran Alloh bagi orang-orang
yang memiliki akal”.
Fluktuasi sebagaimana harga
kedelai di atas dalam ekonomi dikenal
dengan istilah business cycles,
yaitu naik turunnya perekonomian
secara berulang dari waktu ke
waktu. Hal ini tidak hanya terjadi
pada komoditas kedelai, tetapi juga
pada perekonomian secara umum.
Dalam 50 tahun terakhir, gejolak
krisis ekonomi dunia terjadi secara
berulang. Diantaranya adalah krisis
tahun 1971, 1977, 1981 (semua
karena gejolak harga minyak yang
dipicu karena perang Arab-Israel),
1987 (wall street), 1991 (perang
teluk), 1987 (krisis keuangan Asia),
2001 (krisis pasar finansial di USA),
2007 (krisis subprime mortgage), dan
2011 (krisis keuangan Eropa).
Kalau kita simak secara saksama,
ada tiga pelajaran penting
yang kita petik dari fenomena krisis
yang selalu berulang tersebut. Pertama,
pemicu utama krisis sebagian
besar berasal dari guncangan pasar
keuangan (pasar modal, valuta
asing, utang) dan pasar komoditas
(harga minyak atau pangan sebagaimana
kedelai). Krisis terbesar di
dunia (great depression) yang terjadi
pada dekade 1930an juga dipicu oleh
gejolak harga komoditas pertanian
dan akhirnya memicu terjadinya PD
II. Kedua, akar permasalahannya
adalah ketamakan manusia yang
ingin menuruti keinginannya yang
seringkali di luar jangkauan kemampuannya
(sehingga harus meng -
andalkan utang) dan cenderung
menggunakan ekspektasi penda -
patan di masa depan untuk me me -
nuhi kebutuhan masa kini. Ke tiga,
krisis yang terjadi membawa dam -
pak sangat besar bagi kesejahteraan
manusia, bahkan bagi mereka yang
tidak bersalah sekalipun. Bagai ma -
na jutaan orang menjadi miskin di
Asia termasuk Indonesia (tahun
1997-1998). Hal yang sama terjadi di
AS tahun 2008-2009 dan di Eropa
tahun 2011-2012.
Menangani krisis ala Nabi Yusuf
Sesungguhnya, kejadian krisis
yang berulang bukan hanya terjadi
pada zaman modern saja, melainkan
sudah ada sejak jaman dahulu. Al -
quran mengabadikan kejadian krisis
ini pada kisah dimana Nabi Yusuf AS
harus menafsirkan mimpi raja Mesir
tentang “tujuh sapi gemuk yang
habis dimakan tujuh sapi kurus, serta
tujuh bulir gandum yang bernas dan
tujuh bulir gandum yang kosong.”
Dalam menangani krisis tersebut,
Alquran mengajarkan “… Hendaklah
kamu bercocok tanam tujuh
tahun ber tu- rut-turut secara sungguh-
sungguh; kemudian apa yang
kamu tuai hendaklah kamu biarkan
pada tangkainya; kecuali sedikit
untuk kamu makan” (QS 12: 47).
Dari ayat tersebut, Allah SWT
mengajarkan secara jelas bahwa pe -
nanganan krisis pangan harus secara
komprehensif, baik dengan
kebijakan yang sifatnya jangka panjang,
jangka menengah maupun
jangka pendek.
Dalam jangka panjang kita diajarkan
untuk menanam secara sungguh-
sungguh. Makna menanam
ten tunya bukan sekedar menebar
biji, tetapi keseluruhan proses produksi.
Mulai dari penyediaan benih
atau bibit, mempersiapkan saranaprasarana
pendukung seperti lahan,
irigasi, pupuk, pestisida serta ba -
gaimana harus beradaptasi dengan
kondisi alam dan lingkungan —
semua harus dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh.
Kembali ke krisis kedelai, sangat
menyedihkan ada seorang pejabat
negeri ini yang mengatakan bahwa
kedelai bukan komoditas asli Indonesia
sehingga tidak mungkin
tum buh baik di Indonesia. Padahal,
Prof Munif Gulamahdi, guru besar
IPB, telah menemukan teknologi penamaman
kedelai di lahan pasang
surut di Sumatera yang mampu
meng hasilkan produksi 4 ton per
hektar (pada skala percobaan) dan
2,4 ton per hektar (di lapangan). Hal
yang sama juga sudah terbukti beberapa
lokasi di Jawa Timur. Kalau
soal kedelai yang bukan asli Indonesia,
maka kelapa sawit, teh, kopi,
karet, jagung dan bahkan padi, ham -
pir semuanya bukan asli Indonesia.
Dalam jangka menengah, ayat
tadi mengajarkan kita untuk ‘membiarkan
apa yang dituai tetap pada
tangkainya’. Ini adalah bentuk
penanganan pasca panen, terkait
dengan proses penyimpanan. Dalam
konteks masa kini, proses penyimpanan
bisa ditafsirkan sebagai ma -
najemen stok. Inti dari manajemen
stok adalah bagaimana menjaga keseimbangan
antara produksi yang
bersifat fluktuatif dan konsumsi
yang konstan dan cenderung me -
ningkat. Tanpa manajemen stok
yang benar, maka kelangkaan dan
krisis pangan akan terus terjadi.
Dalam jangka pendek, kita bisa
merujuk pada ujung ayat yang
berbunyi “…kecuali sedikit untuk
kamu makan.” Hal ini secara jelas
mengajarkan kepada kita untuk
makan secukupnya. Fakta menunjukkan
bahwa makan yang berlebih -
an justru bisa menimbulkan ber -
bagai macam penyakit. Semua diet
dan pengaturan pola makan sejatinya
adalah bagaimana mengendalikan
diri untuk makan sesuai
dengan kebutuhan, bukan sesuai
dengan keinginan.
Pesan kebijakan bagi negara
Setidaknya ada tiga pelajaran
penting yang bisa dipetik. Pertama,
buatlah kebijakan yang komprehensif,
yang mencakup strategi jangka
pendek, jangka menengah dan
jangka panjang. Pemerintah harus
turun tangan mengatur masalah
pangan, bukan hanya kebijakan spo -
radis saat terjadi gejolak. Masalah
pangan juga bukan hanya masalah
beras semata, tetapi juga komoditaskomoditas
pangan lain yang strategis
seperti kedelai, gula dan minyak
goreng atau bahkan cabe dan komoditas
lain yang seringkali menimbulkan
gejolak di masyarakat.
Kedua, jangan mengandalkan
impor untuk mengatasi kelangkaan
pangan. Ketergantungan kita ke
impor sudah sangat besar. Untuk
kedelai, ketergantungannya bahkan
sudah mencapai hampir 70 persen.
Impor boleh saja dilakukan, tetapi
dalam jumlah sedikit sehingga kita
tidak dipermainkan oleh gejolak internasional.
Sejarah membuktikan
bahwa kita telah salah mengebiri
peran Bulog. Mengandalkan impor
kedelai juga terbukti salah dan
menimbulkan gejolak yang selalu
berulang. Sudah saatnya kita mengoreksi
kebijakan yang selama ini
kita anut dan terbukti gagal.
Ketiga, jangan mengandalkan
pembangunan pada utang. Rasul
SAW melarang kita untuk mengandalkan
utang dalam memenuhi kebutuhan.
Bahkan beliau selalu
me minta agar dijauhkan dari pe -
nyakit ghalabatid dayn, yaitu terperangkap
utang dan tidak bisa
keluar dari perangkap tersebut.
Agama mengajarkan kepada kita
un tuk melunasi utang secepat
mungkin. Krisis global yang terjadi
saat ini pada hakekatnya bersumber
dari krisis utang.
Tidakkah ini menjadi pertanda
yang sangat jelas buat kita? Pepatah
mengatakan bahwa “di balik setiap
krisis pasti ada peluang”. Mudahmudahan
kita semua bisa menjadikan
krisis kedelai ini untuk
membangunkan kesadaran kita ber -
sama akan pentingnya menangani
masalah ekonomi secara komprehensif.
Wallahu a’lam.
Gejolak kedelai dan krisis ekonomi
Ada tiga fakta penting yang
penting tentang perekonomian Indonesia
yang bisa dikaitkan dengan
krisis kedelai yang terjadi akhirakhir
ini. Pertama, sejatinya Indonesia
adalah negara yang sangat besar
dan kaya, dimana luas Indonesia
mencakup hampir seluruh wilayah
Eropa, dengan potensi alam dan ke -
ragaman sumberdaya yang lebih
baik. Kedua, di balik semua kele -
bihan tersebut, Indonesia saat ini
memiliki ketergantungan yang sa -
ngat besar pada impor. Studi Ach -
sani dan Nababan (2008) me nunjukkan
bahwa Indonesia memiliki
ketergantungan sebesar 15 persen
pa da im por bahan pangan pokok.
Untuk makanan jadi, minuman,
rokok dan tembakau, ketergantung -
an kita bah kan mencapai 32 persen.
Ketiga, gejolak harga kedelai
yang terjadi sekarang ini adalah hal
biasa dan terjadi secara berulang.
Gambar 1 menunjukkan adanya siklus
empat tahunan pada harga kedelai.
Pada tahun 2004 dan 2008 yang
lalu, juga terjadi kenaikan harga
kedelai, disertai dengan volatilitas
yang tinggi (jauh lebih tinggi dari
tahun-tahun yang lain) masing-masing
sebesar 24,6 dan 18,12 persen.
Dengan demikian, sebenarnya kita
bisa mengetahui –dan hal ini sudah
banyak diprediksi oleh para ahli—
bahwa pada tahun 2012 akan terjadi
gejolak harga kedelai lagi.
Kalau pola ini tidak berubah,
ma ka kemungkinan akan terjadi
krisis (gejolak) harga kedelai lagi
pada sekitar tahun 2016 nanti. Lalu,
akankah kita diam saja? Padahal
Allah SWT telah mengingatkan da -
lam QS 3: 190, yang artinya : “Se -
sungguhnya dalam penciptaan
la ngit dan buni dan pergantian siang
dan malam terdapat tanda-tanda
kebesaran Alloh bagi orang-orang
yang memiliki akal”.
Fluktuasi sebagaimana harga
kedelai di atas dalam ekonomi dikenal
dengan istilah business cycles,
yaitu naik turunnya perekonomian
secara berulang dari waktu ke
waktu. Hal ini tidak hanya terjadi
pada komoditas kedelai, tetapi juga
pada perekonomian secara umum.
Dalam 50 tahun terakhir, gejolak
krisis ekonomi dunia terjadi secara
berulang. Diantaranya adalah krisis
tahun 1971, 1977, 1981 (semua
karena gejolak harga minyak yang
dipicu karena perang Arab-Israel),
1987 (wall street), 1991 (perang
teluk), 1987 (krisis keuangan Asia),
2001 (krisis pasar finansial di USA),
2007 (krisis subprime mortgage), dan
2011 (krisis keuangan Eropa).
Kalau kita simak secara saksama,
ada tiga pelajaran penting
yang kita petik dari fenomena krisis
yang selalu berulang tersebut. Pertama,
pemicu utama krisis sebagian
besar berasal dari guncangan pasar
keuangan (pasar modal, valuta
asing, utang) dan pasar komoditas
(harga minyak atau pangan sebagaimana
kedelai). Krisis terbesar di
dunia (great depression) yang terjadi
pada dekade 1930an juga dipicu oleh
gejolak harga komoditas pertanian
dan akhirnya memicu terjadinya PD
II. Kedua, akar permasalahannya
adalah ketamakan manusia yang
ingin menuruti keinginannya yang
seringkali di luar jangkauan kemampuannya
(sehingga harus meng -
andalkan utang) dan cenderung
menggunakan ekspektasi penda -
patan di masa depan untuk me me -
nuhi kebutuhan masa kini. Ke tiga,
krisis yang terjadi membawa dam -
pak sangat besar bagi kesejahteraan
manusia, bahkan bagi mereka yang
tidak bersalah sekalipun. Bagai ma -
na jutaan orang menjadi miskin di
Asia termasuk Indonesia (tahun
1997-1998). Hal yang sama terjadi di
AS tahun 2008-2009 dan di Eropa
tahun 2011-2012.
Menangani krisis ala Nabi Yusuf
Sesungguhnya, kejadian krisis
yang berulang bukan hanya terjadi
pada zaman modern saja, melainkan
sudah ada sejak jaman dahulu. Al -
quran mengabadikan kejadian krisis
ini pada kisah dimana Nabi Yusuf AS
harus menafsirkan mimpi raja Mesir
tentang “tujuh sapi gemuk yang
habis dimakan tujuh sapi kurus, serta
tujuh bulir gandum yang bernas dan
tujuh bulir gandum yang kosong.”
Dalam menangani krisis tersebut,
Alquran mengajarkan “… Hendaklah
kamu bercocok tanam tujuh
tahun ber tu- rut-turut secara sungguh-
sungguh; kemudian apa yang
kamu tuai hendaklah kamu biarkan
pada tangkainya; kecuali sedikit
untuk kamu makan” (QS 12: 47).
Dari ayat tersebut, Allah SWT
mengajarkan secara jelas bahwa pe -
nanganan krisis pangan harus secara
komprehensif, baik dengan
kebijakan yang sifatnya jangka panjang,
jangka menengah maupun
jangka pendek.
Dalam jangka panjang kita diajarkan
untuk menanam secara sungguh-
sungguh. Makna menanam
ten tunya bukan sekedar menebar
biji, tetapi keseluruhan proses produksi.
Mulai dari penyediaan benih
atau bibit, mempersiapkan saranaprasarana
pendukung seperti lahan,
irigasi, pupuk, pestisida serta ba -
gaimana harus beradaptasi dengan
kondisi alam dan lingkungan —
semua harus dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh.
Kembali ke krisis kedelai, sangat
menyedihkan ada seorang pejabat
negeri ini yang mengatakan bahwa
kedelai bukan komoditas asli Indonesia
sehingga tidak mungkin
tum buh baik di Indonesia. Padahal,
Prof Munif Gulamahdi, guru besar
IPB, telah menemukan teknologi penamaman
kedelai di lahan pasang
surut di Sumatera yang mampu
meng hasilkan produksi 4 ton per
hektar (pada skala percobaan) dan
2,4 ton per hektar (di lapangan). Hal
yang sama juga sudah terbukti beberapa
lokasi di Jawa Timur. Kalau
soal kedelai yang bukan asli Indonesia,
maka kelapa sawit, teh, kopi,
karet, jagung dan bahkan padi, ham -
pir semuanya bukan asli Indonesia.
Dalam jangka menengah, ayat
tadi mengajarkan kita untuk ‘membiarkan
apa yang dituai tetap pada
tangkainya’. Ini adalah bentuk
penanganan pasca panen, terkait
dengan proses penyimpanan. Dalam
konteks masa kini, proses penyimpanan
bisa ditafsirkan sebagai ma -
najemen stok. Inti dari manajemen
stok adalah bagaimana menjaga keseimbangan
antara produksi yang
bersifat fluktuatif dan konsumsi
yang konstan dan cenderung me -
ningkat. Tanpa manajemen stok
yang benar, maka kelangkaan dan
krisis pangan akan terus terjadi.
Dalam jangka pendek, kita bisa
merujuk pada ujung ayat yang
berbunyi “…kecuali sedikit untuk
kamu makan.” Hal ini secara jelas
mengajarkan kepada kita untuk
makan secukupnya. Fakta menunjukkan
bahwa makan yang berlebih -
an justru bisa menimbulkan ber -
bagai macam penyakit. Semua diet
dan pengaturan pola makan sejatinya
adalah bagaimana mengendalikan
diri untuk makan sesuai
dengan kebutuhan, bukan sesuai
dengan keinginan.
Pesan kebijakan bagi negara
Setidaknya ada tiga pelajaran
penting yang bisa dipetik. Pertama,
buatlah kebijakan yang komprehensif,
yang mencakup strategi jangka
pendek, jangka menengah dan
jangka panjang. Pemerintah harus
turun tangan mengatur masalah
pangan, bukan hanya kebijakan spo -
radis saat terjadi gejolak. Masalah
pangan juga bukan hanya masalah
beras semata, tetapi juga komoditaskomoditas
pangan lain yang strategis
seperti kedelai, gula dan minyak
goreng atau bahkan cabe dan komoditas
lain yang seringkali menimbulkan
gejolak di masyarakat.
Kedua, jangan mengandalkan
impor untuk mengatasi kelangkaan
pangan. Ketergantungan kita ke
impor sudah sangat besar. Untuk
kedelai, ketergantungannya bahkan
sudah mencapai hampir 70 persen.
Impor boleh saja dilakukan, tetapi
dalam jumlah sedikit sehingga kita
tidak dipermainkan oleh gejolak internasional.
Sejarah membuktikan
bahwa kita telah salah mengebiri
peran Bulog. Mengandalkan impor
kedelai juga terbukti salah dan
menimbulkan gejolak yang selalu
berulang. Sudah saatnya kita mengoreksi
kebijakan yang selama ini
kita anut dan terbukti gagal.
Ketiga, jangan mengandalkan
pembangunan pada utang. Rasul
SAW melarang kita untuk mengandalkan
utang dalam memenuhi kebutuhan.
Bahkan beliau selalu
me minta agar dijauhkan dari pe -
nyakit ghalabatid dayn, yaitu terperangkap
utang dan tidak bisa
keluar dari perangkap tersebut.
Agama mengajarkan kepada kita
un tuk melunasi utang secepat
mungkin. Krisis global yang terjadi
saat ini pada hakekatnya bersumber
dari krisis utang.
Tidakkah ini menjadi pertanda
yang sangat jelas buat kita? Pepatah
mengatakan bahwa “di balik setiap
krisis pasti ada peluang”. Mudahmudahan
kita semua bisa menjadikan
krisis kedelai ini untuk
membangunkan kesadaran kita ber -
sama akan pentingnya menangani
masalah ekonomi secara komprehensif.
Wallahu a’lam.
Prof. Dr. Noer Azam Achsani, Guru Besar FEM IPB