Analisis Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah: Price Concept


ABSTRACT

Sejarah ekonomi dalam peradaban kuno menunjukkan bahwa pemikiran tentang regulasi harga dan terjaminnya keadilan dalam hukum jual-beli, terdapat di sejumlah bangsa. Misalnya pada bangsa Yahudi, Hindustan dan Yunani. Tetapi, asal-usul dan laporan rincinya tak terdapat. Secara ringkas bisa dikatakan, pada masa itu, konsepsi maupun doktrin tentang harga, lebih banyak berpijak pada basis etika ketimbang ekonomi. Di zaman dulu, etika merupakan cabang dari filsafat dan doktrin tentang harga yang adil dibentuk sebagai bagian dari sistem filsafat itu.
Jauh sebelum pemikiran ekonomi para ahli tentang konsep harga seperti: Aquinas, Adam Smith, atau Maknus, dunia Islam telah lebih awal mempunyai tokoh yang concern di bidang ini. Ialah Ibnu Taimiyah, seorang ulama terkenal dunia Islam. Tulisan ini akan mencoba mengkomparasi beberapa pemikirannya tentang konsep harga dengan konsep ekonomi modern dalam bidang yang serupa.  

Kata Kunci: Ibnu Taimiyah, Konsep Harga, Adil



I.        Pendahuluan
Pasar adalah sebuah mekanisme yang dapat mempertemukan pihak penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi atas barang dan jasa serta faktor-faktor produksi. Pasar juga didefinisi sebagai tempat terjadinya proses penentuan harga. Syarat utama terbentuknya pasar adalah adanya pertemuan antara pihak penjual dan pembeli, baik dalam satu tempat ataupun dalam tempat yang berbeda. Dalam sistem kapitalisme, pasar mempunyai peran yang utama dalam menggerakkan roda kehidupan ekonomi. Fluktuasi harga yang ada di dalamnya, menunjukkan dinamika kehidupan ekonomi yang pada akhirnya dapat dijadikan sandaran untuk mengambil keputusan. Pasar merupakan elemen ekonomi yang dapat mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia, langkah dan kegiatan ekonomi yang diambil oleh seorang individu untuk mencapai sebuah kemaslahatan, mencerminkan kemaslahatan bagi masyarakat. Dengan alasan kemaslahatan yang ingin dicapai oleh individu sebenarnya merefleksikan kemaslahatan masyarakat.
Mekanisme pasar yang ada mempunyai peran yang cukup penting dalam menggerakkan kegiatan ekonomi, khususnya dalam sistem kapitalisme. Namun, peran pengawasan dan intervensi pemerintah sangat terbatas. Dalam sosialisme, yang terjadi sebaliknya, mekanisme pasar yang ada sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan langkah yang diambil oleh pemerintah. Dalam konsep ekonomi klasik (kapitalisme), pasar akan dapat merealisasikan tujuan yang ada, jika kondisi pasar dalam keadaan perfect competition (persaingan sempurna). Perfect competition akan dapat diraih, apabila dalam mekanisme pasar tersebut terdapat penjual dan pembeli dalam jumlah yang sangat besar, melakukan transaksi terhadap komoditas yang beragam, serta sempurnanya informasi dalam mekanisme pasar tersebut. Tidak diperbolehkan adanya ketidakseimbangan informasi bagi para pelaku pasar. Selain itu, harus terdapat kebebasan dalam melakukan transaksi atas segala komoditas dan tidak adanya entry-barrier (hambatan masuk pasar) bagi penjual maupun pembeli. Dalam kondisi tersebut, harga yang akan terbentuk merefleksikan kesepakatan dan kemaslahatan masing-masing pihak, dan kegiatan ekonomi akan tetap berjalan dengan normal untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam pasar barang dan jasa, kondisi tersebut sangat sulit untuk direalisasikan. Perfect competition baru akan terbentuk dalam pasar uang, commercial papers, saham dan obligasi, serta perdagangan valas (valuta asing).[1]
Pada akhirnya, dalam kapitalisme akan muncul monopoli. Dampaknya, harga yang terbentuk bukan merupakan hasil supply dan demand yang ada dalam pasar tersebut, akan tetapi ketentuan dari kelompok orang yang melakukan monopoli. Akhirnya, pasar yang berjalan bukan merupakan pasar yang perfect competition. Banyak sekali ekonom yang memiliki analisis dan teori tentang harga, baik dari kalangan klasik, neoklasik hingga pemikir ekonomi saat ini. Berbagai pendapat diutarakan. Tetapi tahukah bahwa sesungguhnya Islam pun memiliki konsep tentang pasar dan harga yang adil? Umpamanya seorang ulama sekaligus cendekia bernama Ibnu Taimiyah yang terkenal dengan teori dan istilah ”tsaman mitsl” atau harga yang setara.
Dari latar belakang di atas yakni pentingnya arti sebuah pasar yang baik dengan harga yang benar-benar mencerminkan keadilan, rumusan masalah dalam tulisan ini dapat disusun dengan memberikan jawaban dari beberapa pertanyaan berikut:
  1. Bagaimana konsep ekonomi modern tentang harga (price concept)?
  2. Bagaimanakah Ibnu Taimiyah menawarkan pemikirannya tentang harga yang adil (just price)?
  3. Adakah kesesuaian antara kedua konsep tersebut?

Pada paper ini penulis mencoba menganalisis pemikiran ekonomi Taqi al-Din Ahmad bin Abd al-Halim atau yang lazim dikenal dengan Imam Ibnu Taimiyah khususnya tentang permasalahan harga. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan antara konsep dan teori harga seorang ekonom Muslim –dalam hal ini pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah- dengan konsep modern yang dipegang ahli ekonomi Barat tentang hal serupa.
            Tulisan yang merupakan penelitian sederhana ini adalah penelitian studi pustaka atau studi literatur dengan menggunakan data-data sekunder berupa buku referensi, artikel-artikel dan karya ilmiah lain. Tulisan ilmiah berupa paper ini pun mencoba menggunakan metoda komparasi (perbandingan).

II.        Landasan Teori
1. Definisi Harga yang Adil
            Harga adalah nilai yang disepakati oleh dua pihak yang berkepentingan (dalam hal ini pembeli dan penjual) yang dihasilkan dari titik pertemuan antara permintaan (demand) dan penawaran (supply). Harga yang adil berarti nilai harga yang mencerminkan secara riil antara kurva permintaan dan kurva penawaran. Harga yang adil di dalam beberapa referensi sering dikenal dengan istilah just price.

2. Asal Usul Gagasan Harga yang Adil
Konsep tentang harga yang adil, memainkan bagian yang besar dari pemikiran ekonomi di abad pertengahan. Mulanya merupakan terminologi etika dan hukum, kemudian melewati beberapa pentas ekonomi.
Penulis Jerman Rudolf Kaulla menyatakan bahwa konsep tentang justum pretium (harga yang adil) mula-mula dilaksanakan di Roma, dengan latar belakang pentingnya menempatkan aturan khusus untuk memberi petunjuk dalam kasus-kasus yang dihadapi hakim, dimana dengan tatanan itu dia menetapkan nilai dari sebuah barang dagangan atau jasa.[2] Tetapi, ia tak menjelaskan dasar apapun dari pendapatnya.
Sejarah ekonomi dalam peradaban kuno menunjukkan bahwa pemikiran tentang regulasi harga dan terjaminnya keadilan dalam hukum jual-beli, terdapat di sejumlah bangsa. Misalnya pada Bangsa Yahudi, Hindustan dan Yunani. Tetapi, asal-usul dan laporan rincinya tak terdapat. Secara ringkas bisa dikatakan, pada masa itu, konsepsi maupun doktrin tentang harga, lebih banyak berpijak pada basis etika ketimbang ekonomi. Di zaman dulu, etika merupakan cabang dari filsafat dan doktrin tentang harga yang adil dibentuk sebagai bagian dari sistem filsafat itu. Hal itu bisa dijelaskan dari tujuannya untuk mewujudkan keadilan ketimbang sebagai pertimbangan harga. Karena itu, tak terelakkan lagi, filsafat itu membutuhkan keberadaan otoritas yang mampu menggunakan seluruh kekuasaannya untuk menegakkan harga yang adil. Karena itulah, kemudian menjadi termonologi hukum. Otoritas pemerintah kota, dan yang berkaitan dengan tugas pengawasan pasar, mempunyai hak untuk menetapkan harga yang adil. Karena itu, mereka memusatkan pikiran untuk menciptakan kondisi dan suasana yang mampu mengelakkan perbuatan pemerasan segala bentuk, baik oleh pembeli maupun penjual.

3. Harga yang Adil di Abad Pertengahan
Di abad pertengahan, harga yang adil menjadi tema utama dari para pemikir tentang masalah ekonomi. Kontribusi baru dalam membahas masalah ini, misalnya mengenalkan analisis biaya. Meski begitu, harga yang adil berada pada bayang-bayang etika dan hukum. Barangkali ada baiknya melihat secara sekilas berbagai teori tentang harga yang adil, diantara para sarjana dan pemikir pada abad pertengahan, sebelum mengedepankan pemikiran Ibnu Taimiyah tentang subjek ini. Ini akan memberikan perbandingan yang memudahkan kita untuk memahami keduanya.
Pada abad ke-12 dan 13 dari abad pertengahan, ditandai dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di Eropa serta perluasan perdagangan  dan komersial. Menyertai kebangkitan kembali ilmu pengetahuan, para sarjana mulai memberi perhatian khusus tentang berbagai pertanyaan masalah ekonomi, yang secara praktik maupun teori, saat itu menjadi masalah yang cukup penting. Semua faktor itu, mendukung perlunya memikirkan kembali sejumlah pertanyaan tentang harga yang adil.[3]
Contoh konkrit dari pendekatan keilmuan terhadap harga yang adil telah dibahas secara ringkas oleh St. Thomas Aquinas, yang disebut sebagai pangeran dari ilmu pengetahuan, yang pemikirannya berpengaruh sepanjang masa. Menurut O’Brien, kajian Aquinas tentang masalah ekonomi terus menerus menjadi dasar sebagai pijakan bagi seluruh penulis sampai akhir abad ke-15. Pendapatnya tentang berbagai poin, memperkeras dan menjelaskan terhadap para penulis kemudian untuk mengembangkannya lebih detil ketimbang hasil kerjanya.
Tanpa secara eksplisit menjelaskan definisi harga yang adil, Aquinas menyatakan: “Sangat berdosa mempraktikkan penipuan terhadap tujuan penjualan sesuatu melebihi dari harga yang adil, karena itu sama saja dengan mencurangi tetangganya agar menderita kerugian. Dia mengutip pernyataan Cicero: “Seluruh muslihat, tentu saja, bisa dieliminasi dari perjanjian, hingga penjual tak bisa memaksa seseorang untuk menawar dengan harga lebih tinggi. Juga, tak bisa pembeli memaksa untuk membeli dengan harga lebih rendah.[4] Gordon menduga, pemikiran Aquinas tentang harga yang adil atas segala barang dagangan pada harga pasar termutakhir, menghilangkan praktik penipuan dan perdagangan monopolistik. Schumpeter juga mencapai kesimpulan yang sama yakni bahwa St. Thomas Aquinas sangat berbeda dengan Aristoteles dalam mendalilkan eksistensi dari nilai objektif yang tetap atau bersifat metafisik. Pemikiran nilai mengenai nilai kuantitatif bukanlah sesuatu yang berbeda dari harga, tetapi secara sederhana merupakan kondisi harga normal yang kompetitif. Tampaknya, perbedaan yang dia buat antara harga dan nilai (price dan value) bukanlah berbedaan antara harga dan nilai (yang bukan berkaitan dengan harga riil), tetapi antara harga yang dibayar dalam sebuah transaksi individual dan harga yang “berlaku” dalam penilaian publik atas barang dagangan tertentu.
Schumpeter mendukung penafsiran ini melalui observasinya pada summatechnologica.[5] Tetapi, jika St. Thomas berpikir tentang sesuatu hal yang kita sebut harga kompetitif normal, muslihat itu menjadi pendorong terjadinya gejala yang berkaitan dengan masalah itu. Karena itu, terhadap eksistensi harga pasar kompetitif, terjadinya penyimpangan individual sangatlah mungkin terjadi, terutama melalui bentuk-bentuk muslihat atas kuantitas (jumlah/ukuran) dan mutu dari barang dagangan. Schumpeter berpegangan bahwa teori Aquinas tentang harga yang adil, sebenarnya adalah harga kompetitif normal. Tetapi ia tak menemukan dalam tulisan Aquinas mengenai kondisi-kondisi persaingan yang sempurna yang perlu digunakan untuk mempertimbangkan harga tertentu.
Banyak pengamat lain tentang kondisi ekonomi zaman itu menolak pandangan itu, di zaman pertengahan tak ada bentuk lain untuk menentukan harga yang adil, kecuali melalui kompetisi harga termutakhir, yang dicapai melalui proses tawar-menawar di pasar daripada yang muncul akibat kesadaran atas pertimbangan sosial bahwa harga bisa ditetapkan lebih dulu dan dinyatakan menurut ketetapan kebiasaan.
Albertus Maknus (1193-1280) adalah tokoh pertama diantara para pemikir itu yang memperkenalkan analisis buruh dan biaya ke dalam teori harga yang adil. Ia berpendapat, Dua barang dagangan sama dalam nilainya dan nilai tukarnya akan menjadi adil bila dalam produksinya menunjukkan persamaan pada biaya buruh dan pengeluaran lainnya”.[6] Doktrin ini diikuti secara kata demi kata oleh St. Aquinas, muridnya. Tetapi, tak ada definisi yang rinci yang dimaksud dengan ongkos, kecuali menekankan pada evaluasi atau status sosial: adil, sebagai hasil kerja perorangan tergantung pada kelasnya, jadi pada nilai jasa-jasanya. Sekilas, proposisi ini menjadi jelas bahwa bagi Aquinas harga yang adil itu berbeda refleksinya pada kondisi sosial yang bervariasi dari pemasok produk itu.
Jika harga yang adil tak terdapat dalam masyarakat, otoritas harus menetapkan harga tertentu. Tentang hal ini, St. Thomas mengakui adanya sejumlah elemen nilai subjektif tentang sesuatu objek yang dijual, tetapi tak mengambilnya ke dalam pertimbangan elemen dari objek itu bagi pembeli. Ia mengatakan bahwa harga yang adil itu akan menjadi salah satu hal yang tak hanya dimasukkan dalam perhitungan nilai barang yang dijual, juga bisa mendatangkan kerugian bagi penjual. Dan juga, suatu barang bisa dibolehkan secara hukum dijual lebih tinggi ketimbang nilainya sendiri, meskipun nilainya tak lebih di banding harga dari pemiliknya.
Yang relatif agak jelas, barangkali analisis biaya dari pemikir Inggris, Duns Scotus. Menurutnya, harga itu harus meliputi biaya yang dikeluarkan oleh pedagang dalam pembelian, pengangkutan, penyimpanan dan kompensasinya untuk industri, buruh, dan biaya yang terkandung dalam barang dagangan itu sampai ke pasar.[7] Dia menambahkan bahwa harga yang adil itu adalah salah satu faktor yang mendorong seseorang mampu memenuhi kebutuhan keluarganya secara layak. Ini berarti, harga harus meliputi biaya dan keuntungan yang cukup, untuk memenuhi kebutuhan perdagangan itu. Tetapi, Duns Scotus juga gagal mempertimbangkan valuasi dari pembeli atas barang dagangan itu.
Ringkasannya, konsep tentang harga yang adil ditentukan oleh berbagai kondisi yang diperlukan untuk memerihara keadilan dalam nilai tukar. Ahli ekonomi modern membedakan tentang asal-usul harga yang adil. Beberapa orang berpendapat, yaitu harga yang ditentukan berdasar mekanisme kompetisi normal. Yang lain mengatakan, harga bisa ditetapkan lebih dulu, dengan mempertimbangkan kebiasaan atau estimasi masyarakat. Sarjana tertentu memperkenalkan konsep analisis biaya dalam menentukan harga yang adil. Mereka menambahkan, signifikansi (kepentingan) ekonomi berkait dengan signifikansi etika dan hukum. Tetapi, konsep mereka tentang biaya, tak begitu jelas didefinisikan. Dalam menetapkan harga yang adil, para pemikir skolastik menekankan nilai dari barang-barang dagangan itu bagi penjual, tetapi mengabaikan kepentingan nilai barang-barang itu bagi pembeli.

4. Signifikasi Ekonomi Atas Harga yang Adil
Hanya orang-orang yang melihat konsep ini pada tingkat pemikiran primitif dan menolak perkembangannya kemudian, meragukan pentingnya teori ekonomi tentang harga yang adil. Konsep itu berubah dengan adanya perkembangan pemikiran dan kegiatan ekonomis. Dalam buku History of Economic Analysis, Schumpeter menulis: “Duns Skotus, pada setiap peristiwa selalu dipuji  karena selalu mengkaitkan harga yang adil dengan biaya. Meskipun demikian, kita harus memuji karena telah mengungkapkan syarat keseimbangan kompetitif, yang begitu popular pada abad ke 19 sebagai hukum biaya.”[8]
Secara umum, para ahli ekonomi klasik membangun pemikiran-pemikiran mereka pada basis sesuatu yang eksis. Menurut ungkapan Salin kendati sebetulnya doktrin itu hilang, harga yang adil sebagai sebuah gagasan menjadikan tetap bertahan dalam berbagai macam bentuk yang tersamar. ‘Harga natural’ dari penganut paham visiokrates itu tak ada, tetapi pemikiran kuno dari teori harga yang adil itu ada dalam bentuk sistem ekonomi yang sekuler dan dalam terminologi baru tentang hukum alam. Nilai normal dari Adam Smith jelas sekali merupakan bentuk survival dari doktin kuno itu.
Gagasan serupa dinyatakan oleh Rudolf Kaulla. Dia menyatakan dalam praktiknya, teori Adam Smith dengan ‘harga natural’ identik dengan prinsip justum pretium dari para penganut skolatisme, tetapi basis teorinya yang seluruhnya berbeda. Ia menulis sebuah buku yang sangat bernilai, Theory of the Just Price, yang pertama kali diterbitkan tahun 1936. Meskipun mendapat persetujuan sepenuhnya dari para ahli ekonomi modern untuk melarang sepenuhnya konsep harga yang adil itu dalam teori ekonomi, gagasan itu tetap mengandung kebenaran dan menjadi bagian dari realitas. Setiap negara menghadapi problem yang sama, dimana tujuan untuk menetapkan harga yang adil, bertemu dengan kebutuhan atas keadilan.

III.        Konsep Ibnu Taimiyah tentang Harga
1. Profil Ringkas
Antara personalitas seorang penulis dan pemikiran-pemikirannya tidak dapat dihindarkan, pasti saling berkaitan. Ada banyak faktor (lingkungan, keluarga, pendidikan, dan sebagainya) yang ikut mambantu personalitas, yang secara alamiah diikuti secara serius oleh para sarjana yang mengkaji sosok Ibnu Taimiyah. Karena itu, latar belakang Ibnu Taimiyah sangat penting dikaji.
Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Taqi al-Din Ahmad bin Abd al-Halim. Ia lahir di Harran, 22 Januari 1263 M (10 Rabiul Awal 661H). Keluarganya sangat dikenal berpendidikan tinggi. Ayahnya Abdul al-Halim, pamannya Fakhruddin dan kakeknya Majduddin merupakan ulama besar dari mazhab Hambali dan penulis sejumlah buku. Keluarganya mengungsi di tempat kelahirannya tahun 1262 M, menjelang kedatangan pasukan Mongol dan mengungsi di Damaskus. Pada saat itu Ibnu Taimiyah baru berusia 7 tahun. Ayahnya diangkat menjadi guru besar dan pimpinan madrasah Sukkariah. Berkat ketajaman akal dan kekuatan ingatannya, Ibnu Taimiyah menamatkan ilmu dalam bidang yurisprudensi atau fiqh, hadits nabi, tafsir alquran, matematika dan filasafat, pada usia sangat muda. Karenanya dia melejit ke depan dibanding mereka yang belajar bersamanya.
Di antara gurunya adalah Syamsuddin al-Maqdisi, mufti pertama dari mazhab Hambali di Suriah setelah adanya reformasi sistem oleh Sultan Baibar. Jumlah guru Ibnu Taimiyah melebihi 200 orang, di samping Syamsuddin. Di antaranya, yang lain adalah Ibnu Abi al-Yusr, al Kamal bin Abdul Majid bin ‘Asakir, Yahya bin Ashairafi, Ahmad bin Abu al-Khair; dan sebagainya.
Ibnu Taimiyah baru berusia 17 tahun ketika mufti al-Makdisi memberi wewenang kepadanya untuk memberikan fatwa (keputusan hukum). Mufti itu sangat bangga untuk pertama kalinya memberikan penghargaan kepada seseorang yang sangat cerdas dan berilmu seperti Ibnu Taimiyah. Ketika ia berusia 30 tahun ia diangkat menjadi kepala pengadilan tetapi menolaknya. Ibnu Taimiyah saat itu masih tetap membujang, gaya hidupnya sangat sederhana dan selalu memperhatikan kepentingan orang lain.
Latar belakang pendidikan Ibnu Taimiyah secara esensial berpijak pada teologi dan nasehat hukum Hambali. Tetapi pengetahuannya tentang mazhab Hambali pada awal perkembangannya, membuatnya juga sangat memahami berbagai mazhab lainnya. Juga ilmu pengetahuan tentang literatur masa kini. Itu bisa dibuktikan dari berbagai buku yang ditulisnya. Meski ia menganut mazhab Hambali, ia tidak pernah bersikap rancu karena mencintainya. Kenyataannya ia merupakan seorang pemikir orisinal atau mujtahid yang tak sekedar mengikuti empat mazhab tersebut. Dalam berbagai usaha  reformasinya, Ibnu Taimiyah menerima al-Quran dan sunnah sebagai kriteria dasarnya.
Abad 13 dan 14 masehi memang mempunyai kedudukan istimewa dalam sejarah Islam. Tetapi, nilai pentingnya lebih terletak pada perluasann ilmu pengetahuannya, ketimbang pengalamannya. Tapi bagi mereka yang membutuhkan pemikiran yang orsinal (ijtihad) hanya Ibnu Taimiyah yang  bisa memberikan pemikirannya. Salah satu penentang keras Ibnu Taimiyah saat hidupnya adalah mufti Subki (wafat 1356).[9]

2. Karya-Karya Ibnu Taimiyah
Tidak dapat digambarkan bila masalah ekonomi akan diabaikan oleh seorang jenius seperti Ibnu Taimiyah. Ia menyaksikan sejumlah keluarga bangkrut dan kehidupan ekonomi mereka berantakan, sejak awal hidupnya. Keluarganya sendiri harus mengungsi dan menderita kehilangan harta benda miliknya. Ia mengamati kehancuran ekonomi secara umum, ketika negerinya dijajah Mongol. Ia berhubungan dengan seluruh orang dari  berbagai tingkatan. Dari kaum fallahin (buruh tani miskin), tukang batu, sampai amir dan sultan. Ia merasakan penderitaan yang sangat dalam yang dihadapi oleh para fakir miskin dan eksploitasi oleh para pejabat yang berkuasa. Semua itu terasa dalam mencekam dinamika pemikirannnya, menyadarkan semangat hidupnya, sehingga tidak mungkin membuatnya berpangku tangan saja. Itu semua memberikan inspirasi kepadanya bahwa Islam sebagai sebuah agama, sangat memberikan perhatian terhadap tidak saja masalah-masalah ekonomi, juga mengembangkan sejumlah prinsip-prinsip dasar tentang masalah itu.
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa setiap orang harus dijamin kecukupan hidupnya ada standar minimum, agar ia mampu mengabdi kepada Allah yang maha kuasa dan hidup layak. Pada saat yang sama, ia menekankan perlunya keadilan. Ia menekankan tanggung jawab setiap orang, begitu juga negara, karena keduanya harus saling bekerja sama dan tak boleh saling beraniaya. Kemudian menurutnya, keadilan merupakan nilai yang harus dihargai oleh seluruh bangsa. Ia berkata ”seluruh penduduk setuju bahwa konsekuensi dari ketidakadilan adalah kesuraman dan buah keadilan adalah kemasyhuran bagi seluruh bangsa”.
Ibnu Taimiyah membahas prinsip-prinsip masalah ekonomi dalam dua buku yaitu, Al-Hisbah fil Islam (Lembaga Hisbah dalam Islam) dan Al-Siyasah Al-Syar’iyyah fi Islah Al-Rai wa’l-Ra’iyah (Hukum pablik dan privat dalam Islam). Dalam buku pertama, ia membahas tentang pasar dan intervensi pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Dalam buku kedua, ia membahas masalah pendapatan dan pembiayaan publik.
Terpisah dengan dua buku itu, sejumlah karya tulis juga menggali berbagai masalah yang berkaitan dengan masalah ekonomi. Sesekali, kajiannya memang terlalu meluas, sehingga pandangannya hampir bisa ditemukan dalam seluruh bukunya, khususnya dalam bukunya Fatawa.

3. Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah
Terdapat sedikitnya dua terma yang sering kali terjadi dalam pembahasan Ibnu Taimiyah tentang masalah harga: kompensasi yang setara (‘iwad al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman al-mitsl). Dia berkata: Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara dan itulah esensi dari keadilan (nafs al-‘adl).[10] Dimana pun, ia membedakan antara dua jenis harga: harga yang tak adil dan terlarang serta harga yang adil dan disukai. Dia mempertimbangkan harga yang setara itu sebagai harga yang adil. Jadi, dua kata, “adil” dan “setara” digunakan saling mengganti.
Dalam mendefinisikan “kompensasi yang setara”, Ibnu Taimiyah berkata: Yang dimaksud kesetaraan adalah kuantitas dari objek khusus dalam penggunaan secara umum (‘urf). Itu juga berkait dengan nilai dasar dan kebiasaan (‘adah). Lebih dari itu ia menambahkan: Evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara (ekuivalen). Inilah benar-benar adil dan benar-benar diterima dalam penggunaannya.”[11]
Tampaknya, konsep kompensasi yang adil itu merupakan petunjuk masyarakat yang adil. Juga bagi seorang hakim, dalam melaksanakan tugasnya di pengadilan. Harus diingat, ringkasnya tujuan dari harga yang adil juga merupakan petunjuk pengungkap bagi pemegang otoritas, sebagai dasar bagi pengembangan ekonomi. Jadi, banyak kemiripan antara konsep Ibnu Taimiyah tentang kompensasi yang adil dan konsep harga yang adil dari para pemikir skolastik terdahulu. Ibnu Taimiyah membedakan antara soal legal-etik dengan aspek ekonomi dari harga yang adil. Ia menggunakan term, “kompensasi yang setara" untuk yang awal dan “harga yang setara” untuk yang berikutnya.
Mulanya, kompensasi yang setara juga dimulai sebagai konsep moral dan hukum. Ia mengatakan, keduanya hanya membutuhkan keterlibatan hukum secara minimum dan lebih membutuhkan keterlibatan moral yang sebaik-baiknya. Dia berkata: “Mengkompensasikan suatu barang yang lain yang setara merupakan kewajiban berlaku adil (adl wajib) dan bila pembayarannya secara sukarela dinaikkan itu lebih baik dan merupakan perbuatan yang sangat diharapkan (ihsan mustahabb). Tetapi, sebaliknya, mengurangi kuantitas dari nilai kompensasi sangat dilarang dan merupakan ketidakadilan (dzulum muharram). Demikian juga, mengganti barang yang cacat dengan yang setara merupakan keadilan yang diperbolehkan (adl jaiz). Meningkatkan kerusakannya justru melanggar hukum (muharram), sedang mengurangi kerusakan merupakan kebaikan yang dianjurkan (ihsan mustahab).”[12]

4. Konsep Harga yang Adil  pada Awal Literatur Fiqh
Alquran sangat menekankan perlunya keadilan. Sangatlah natural untuk mempergunakan gagasan ini berhubungan dengan pasar, khususnya dengan harga. Karena itu, Rasulullah SAW menyatakan sifatnya sebagai riba jika seseorang yang menjualnya terlalu mahal di atas kepercayaan pelanggan.
Harga yang adil atau jujur disebut juga sebagai tradisi Rasulullah saw, dan konteks kompensasi terhadap pemilik, dalam kasus seorang majikan yang membebaskan budaknya. Budak itu kemudian manusia merdeka dan majikannya tetap memperoleh kompensasi dengan harga yang jujur (qimah al-adl). Term yang sama terjadi dalam laporan tentang khalifah ke dua, Umar bin Khattab, dalam menetapkan nilai batu atas diyah (uang darah). Setelah daya beli dari dirham turun, yang berakibat harga-harga meningkat. Dugaan tentang harga yang adil atau jujur ditemukan dalam salah satu surat kenegaraan dan khalifah ke empat, Ali bin Abi Thalib.
Para hakim, yang telah mengkodifikasikan hukum Islam tentang transaksi bisnis, menggunakan konsep itu dalam objek barang cacat yang di jual, perebutan kuasa, memaksa penimbun barang untuk menjual barang timbunannya, menetapkan harga terlalu tinggi, membuang jaminan atas harta milik, dan sebagainya. Secara umum, mereka berpikir bahwa harga suatu yang adalah harga yang dibayar untuk objek yang sama yang diberikan pada waktu dan tempat diserahkan. Karena itu, mereka lebih suka menyebutnya dengan istilah harga ekuivalen (tsaman al-mitsl).
Meskipun sebutan harga yang adil atau jujur itu ada pada yurisprudensi Islam sejak awal waktu, Ibnu Taimiyah tampaknya merupakan sarjana Islam pertama yang memberikan perhatian khusus. Ini berkaitan dengan, usaha elaborasi (perluasan) gagasan Ibnu Taimiyah merupakan pengembangan yang asli berpijak para jurisprudensi Islam. Hanya sedikit saja pengembangan dari gagasan itu yang dilakukan para sarjana.
                       
IV.  Penutup
Equilibrium price (harga yang adil) dalam perspektif ekonomi Islam adalah harga yang tidak menimbulkan dlarar (bahaya) ataupun kedzaliman bagi para pelaku pasar, baik dari sisi penjual maupun pembeli. Harga tidak dapat dikatakan adil, apabila harga tersebut terlalu rendah, sehingga penjual ataupun produsen tidak dapat me-recovery atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan. Sebaliknya, harga tidak boleh terlalu tinggi yang pada akhirnya akan menimbulkan dlarar bagi pembeli dan konsumen. Harga yang adil adalah harga yang dapat menutupi semua biaya operasional produsen dengan margin laba tertentu, serta tidak menimbulkan kedzaliman bagi para pembeli (persentase keuntungan bisa berbeda dari waktu ke waktu karena ada perbedaan kondisi ekonomi. Ada ulama berpendapat laba tidak lebih dari sepertiga harga).
Apabila harga yang terbentuk tidak dapat me-recovery biaya produksi, atau persentase keuntungan yang didapatkan terlalu rendah, maka hal tersebut akan menimbulkan dampak negatif bagi penjual dan produsen. Ibnu Taimiyah berpendapat:”Apabila harga yang terbentuk tidak merefleksikan kerelaan masing-masing pihak dan tidak terdapat prosentase keuntungan tertentu, hal tersebut akan menyebabkan rusaknya sebuah harga dan dapat merusak harta kekayaan manusia”.[13]
Dalam penetapan harga, juga tidak diperbolehkan adanya dlarar bagi pembeli ataupun konsumen, hal tersebut terjadi ketika harga yang ditetapkan oleh penjual terlalu tinggi. Kedzaliman dapat juga terjadi, ketika intervensi harga yang dilakukan oleh pemerintah tidak menggunakan kalkulasi matematis-ekonomis bagi para pelaku pasar berdasarkan pengalaman yang dimiliki oleh para ekonom. Sehingga, harga yang ditetapkan dapat menimbulkan dlarar bagi pihak tertentu. Untuk mewujudkan sebuah harga yang adil, harus memperhatikan berbagai macam aspek dan elemen para pelaku pasar, baik biaya produksi, kebutuhan masyarakat, sumber ekonomi, ataupun unsur lain yang dapat menciptakan sebuah harga yang adil. Intervensi pemerintah dalam penetapan harga, merupakan pengecualian ketika dikhawatirkan timbulnya dlarar bagi salah satu pihak pelaku pasar. Dalam kondisi tersebut, intervensi harga yang dilakukan hanyalah semata untuk menghindari dlarar yang lebih besar.


V.  Daftar Pustaka

Deliarnov. Sejarah Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Rajawali Press. 2001.
Islahi, A.A. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya: Bina Ilmu. 1997.
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2004.
Karim, Adiwarman Azwar. Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro. Edisi pertama. IIIT Indonesia. 2002.




[1] Konsep mekanisme pasar yang ditawarkan oleh kapitalisme, dalam perkembangannya akan menimbulkan sekelompok orang yang mampu untuk menguasa komoditas pasar, sehingga kelompok tersebut akan dapat mengendalikan harga yang berlaku dalam pasar tersebut. Akan muncul monopoli dalam pasar, baik transaksi penjualan ataupun pembelian.
[2] Islahi, A.A. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya: Bina Ilmu. 1997. Hal 53.
[3] Bahkan Henri Higgs (ibid) yang menekankan studinya tentang hukum Roma, menyatakan pentingnya soal itu dengan menyatakan bahwa penekanan yang dilakukan oleh sejumlah kaum terpelajar, dimulai dari Peter Lombard, dimulai dari abad ke-12 dan seterusnya, harus dijelaskan tak sekedar bicara soal perdagangan, juga merevisi kajian tentang hukum Roma, yang menetapkan bahwa setiap orang mempunyai hak alami untuk saling tidak melampaui batas satu sama lain.  
[4] Islahi, A.A. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya: Bina Ilmu. 1997. Hal 78.
[5] Pernyataannya tentang teori harga yang adil, yang berbunyi: “manipulasi yang terjadi dalam pembelian dan penjualan.” Juga kata-katanya sendiri : “jika harga yang adil itu berada di luar harga kompetitif normal, praktik tanpa muslihat menjadi sangat penting.
[6] Deliarnov. Sejarah Pemikiran Ekonomi. Jakarta. 2001. Hal 93.
[7] Islahi, A.A. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya: Bina Ilmu. 1997. Hal 107.
[8] Ibid.
[9] Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2004.
[10] Islahi, A.A. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya: Bina Ilmu. 1997.
[11] Ibid.
[12] Tentang perbedaan antara kompensasi yang setara dengan harga yang setara, ia menguraikan: “Jumlah kuantitas yang tercatat dalam kontrak ada dua macam. Pertama, jumlah kuantitas yang sangat akrab di masa masyarakat, yang biasa mereka gunakan. Kedua, jenis yang tak lazim (nadir), sebagai akibat dari meningkat atau menurunnya kemauan (raghbah) atau faktor lainnya. Ini menyatakan tentang harga yang setara.”
[13] A.A Islahi dalam Ibnu Taimiyah. Al-Hisbah fil Islam.

 

Klik suka di bawah ini ya