Zakat Pengurang Pajak

Salah satu isu krusial dalam pembahasan amendemen UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, sebagaimana terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat antara DPR dan pemerintah belum lama ini adalah zakat sebagai pengurang pajak. Adapun aturan yang ada hingga saat ini, baik dalam UU Zakat maupun dalam UU No 36/2008 tentang Pajak Penghasilan, yang diperkuat oleh PP No 60/2010, baru memosisikan zakat sebagai pengurang pendapatan kena pajak. Dengan kata lain, zakat baru sebatas tax expense dan belum menjadi tax credit.


Padahal, kebijakan zakat sebagai kredit pajak ini diyakini akan mampu merealisasikan potensi zakat yang besar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan ekonom Habib Ahmed sewaktu menjadi peneliti Islamic Research and Training Institute-Islamic Development Bank (IRTI-IDB), terungkap bahwa potensi zakat Indonesia mencapai angka dua persen dari PDB. Dengan asumsi ini, potensi zakat mencapai angka tidak kurang dari Rp 100 triliun setiap tahunnya. Angka ini diyakini akan terus tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh, dengan asumsi makro APBN tahun ini, di mana PDB diprediksi akan menembus angka Rp 7.000 triliun, potensi zakat bisa mencapai angka Rp 140 triliun.


Namun, fakta menunjukkan bahwa angka penghimpunan zakat masih sangat kecil. Pada 2010, jumlah zakat yang dapat dihimpun secara nasional baru mencapai angka Rp 1,5 triliun, atau naik sebesar 25 persen dari tahun sebelumnya. Nilai ini baru mencapai 1,5 persen dari total potensi yang ada. Apabila tren pertumbuhan 25 persen bisa dipertahankan, jumlah zakat yang bisa dihimpun pada 2011 baru mencapai angka Rp 1,88 triliun. Karena itu, agar potensi ini dapat terealisasi, upaya integrasi zakat ke dalam sistem keuangan dan kebijakan negara harus ditingkatkan. Salah satu cara yang efektif adalah melalui kebijakan zakat sebagai pengurang pajak. Paling tidak, ada tiga argumentasi dasar yang memperkuat pernyataan ini.


Pengurangan kemiskinan
Argumentasi pertama adalah terkait dengan dampak terhadap kemiskinan. Berdasarkan sejumlah riset yang telah dilakukan, seperti Beik (2010); IMZ (2010); Tsani dan Beik (2010); Anriani dan Beik (2010); dan Purnamasari, Hartoyo, dan Beik (2010), terbukti bahwa dana zakat yang dikelola oleh BAZ dan LAZ mampu mengurangi jumlah kemiskinan mustahik, tingkat kedalaman kemiskinan mustahik, dan tingkat keparahan kemiskinan mustahik.


Sebagai contoh, di wilayah Jabodetabek, jumlah rumah tangga mustahik yang dapat dibebaskan dari kemiskinan mencapai angka 10,79 persen pada 2010. Adapun di Kabupaten Garut, angka ini mencapai 21,40 persen, lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten Lampung Selatan (18,60 persen) dan Kota Bogor (8,77 persen). Ini menunjukkan bahwa pengelolaan zakat melalui institusi amil yang amanah dan terpercaya memiliki dampak positif terhadap penurunan angka kemiskinan. Untuk 2011 ini, IMZ memprediksikan bahwa jumlah rumah tangga mustahik yang dapat dientaskan dari garis kemiskinan mencapai angka 13,88 persen.


Dari sisi penerima manfaat zakat, berdasarkan catatan dan analisa BAZNAS, jumlah mustahik yang mendapat bantuan zakat pada 2010 mencapai angka 2,8 juta jiwa. Jika dipersentasekan, angka ini ekuivalen dengan 9,03 persen dari keseluruhan penduduk miskin di Tanah Air. Dalam konteks ini, patut kiranya kita mengapresiasi pernyataan Presiden SBY dalam acara "Sosialisasi Zakat Nasional dan Anugerah Zakat Award 2010" pada 17 Maret 2011 lalu. Beliau menyatakan bahwa upaya pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah itu melalui tiga jalur. Pertama, pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, program bantuan sosial bagi pengentasan kemiskinan, seperti Jamkesmas, raskin, dan PNPM. Ketiga, bantuan masyarakat melalui gerakan solidaritas social, seperti gerakan zakat, infak, dan sedekah.


Terkait dengan jalur yang ketiga, penulis berpendapat bahwa negara harus memberikan insentif melalui kebijakan zakat pengurang pajak. Apalagi, di negara-negara lain donasi sosial juga menjadi dijadikan sebagai pengurang pajak. Sebagai contoh, di Puerto Rico, jumlah donasi yang dapat diajukan sebagai kredit pajak berkisar pada angka tiga persen (batas bawah) hingga 15 persen (batas atas). Jika seseorang mendonasikan pendapatannya dalam range tersebut, insentif pajak yang diberikan adalah sebesar sepertiga (33,33 persen) dari total donasinya.


Misalnya, seseorang memiliki pendapatan Rp 100 juta/tahun, dan ia menyumbangkan Rp 15 juta (batas atas klaim, 15 persen) untuk keperluan sosial. Maka, angka yang dapat diklaim sebagai tax rebate adalah sepertiga dari Rp 15 juta, yaitu Rp 5 juta. Sehingga, jika ia memiliki kewajiban pajak (misalnya) Rp 22 juta, ia tinggal membayar Rp 17 juta.


Yang menarik, dalam studi yang dilakukan oleh Boris, Cordes, dan Soto (2010), terungkap bahwa penerimaan donasi sosial di Puerto Rico akan meningkat signifikan jika batas bawah jumlah donasi yang dapat diklaim sebagai kredit pajak dikurangi hingga satu persen atau dihilangkan sama sekali, dan batas atasnya dinaikkan hingga maksimal 50 persen dari total pendapatan seseorang. Dari simulasi yang dilakukannya, kebijakan ini akan mendongkrak penerimaan donasi sosial, jauh melebihi potential loss dari pendapatan pajak negara. Dengan kata lain, nilai donasi sosial ini akan lebih besar dari jumlah pajak yang hilang akibat korupsi dan kebocoran lainnya.


Distribusi ekonomi dan keuangan negara
Argumentasi kedua, dari perspektif distribusi ekonomi. Instrumen zakat ini diyakini akan menjadi alat redistribusi ekonomi yang efektif, di mana ia menjamin aliran kekayaan dari kelompok kaya kepada kelompok miskin. Sehingga, economic growth with equity yang selama ini didengung-dengungkan akan dapat terealisasi dengan baik di lapangan.


Secara ekonomi, aliran kekayaan dalam bentuk zakat ini akan mampu memberikan efek multiplier yang sangat besar. Pertumbuhan ekonomi akan terdongkrak lebih tinggi lagi. Hal tersebut dikarenakan keberadaan zakat akan menggenjot konsumsi dan investasi, di mana yang menjadi target utamanya adalah kelompok duafa. Melalui program distribusi zakat yang bersifat konsumtif, kebutuhan primer mustahik pada jangka pendek akan terpenuhi. Sedangkan melalui program zakat produktif, rumah tangga mustahik pada jangka panjang akan memiliki daya tahan ekonomi yang lebih baik.


Argumentasi ketiga, terkait dengan keuangan negara. Alasan bahwa kebijakan zakat sebagai kredit pajak akan menciptakan trade off antara zakat dan pajak, itu tidak perlu dikhawatirkan. Pengalaman Malaysia selama ini justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Pendapatan pajak dan zakat semakin meningkat dari waktu ke waktu secara bersamaan. Koordinasi antara otoritas pajak dan otoritas zakat berjalan dengan baik, sehingga mereka mampu mengidentifikasi sumber-sumber kekayaan wajib pajak dan wajib zakat secara efektif.


Bagi negara sendiri, keberadaan zakat akan sangat membantu meringankan beban APBN dalam pengentasan kemiskinan. Dengan anggaran Rp 86 triliun yang dialokasikan untuk pengentasan kemiskinan tahun ini, setiap orang miskin akan menerima bantuan rata-rata Rp 2,77 juta per tahun atau Rp 230 ribu per bulan. Dengan tambahan zakat Rp 100 triliun, akan ada tambahan Rp 3,22 juta per tahun atau Rp 268 ribu per bulan bagi setiap orang miskin. Dengan demikian, tujuan negara untuk mengentaskan kemiskinan akan dapat terakselerasi dengan baik.


Karena itu, penulis mengimbau para pengambil kebijakan negara untuk tidak ragu lagi dalam mengintegrasikan zakat dalam kebijakan perekonomian nasional. Penerapan policy zakat sebagai kredit pajak adalah jalan yang paling efektif dalam proses integrasi tersebut. Wallahu a'lam.


Oleh:
KH Didin Hafidhuddin, Guru Besar IPB dan Ketua Umum BAZNAS
Irfan Syauqi Beik, Ketua Tim Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB
Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya