DPR secara resmi mensahkan RUU Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) menjadi UU pada sidang paripurna, 27 Oktober 2011 lalu. Dalam UU baru ini terlihat pokok-pokok reformasi pengelolaan zakat nasional masa depan. Seperti poin (i) Sentralisasi pengelolaan zakat nasional oleh pemerintah, yaitu melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), yang didirikan dari tingkat pusat hingga kabupaten atau kota, di mana Baznas di setiap tingkatan dapat membentuk UPZ (Unit Pengumpul Zakat) hingga ke tingkat kelurahan.
Kemudian, (ii) Peran serta masyarakat dalam pengelolaan zakat nasional melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ) dimarginalkan di mana eksistensi LAZ hanya sekadar membantu Baznas; (iii) Sumber pembiayaan Baznas berasal dari APBN, APBD, dan hak amil, sedangkan LAZ hanya dari hak amil; dan (iv) Menteri Agama melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap Baznas dan LAZ, dan dapat memberikan sanksi administratif atas pelanggaran berupa peringatan tertulis, pembekuan operasi, hingga pencabutan izin.
Disahkannya UU ini justru akan menjadi langkah mundur bagi dunia zakat nasional. UU yang merupakan amendemen terhadap UU Nomor 38 Tahun 1999 ini gagal menjalankan misi utamanya dalam mengoptimalkan potensi dana filantropi Islam yang besar dan perannya yang strategis dalam penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam konteks masyarakat Indonesia, UU ZIS semestinya mengokohkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga negara yang membayar zakat (muzaki), menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi sektor filantropi Islam untuk perubahan sosial, dan memberi insentif bagi perkembangan dunia zakat nasional. Namun, UU ini justru mematahkan praktik pengelolaan zakat yang baik sekaligus memarginalkan partisipasi masyarakat sipil dalam penanggulangan kemiskinan dan pembangunan.
Marginalisasi LAZ dalam UU ini sangat jelas dan eksplisit. UU mengamanatkan bahwa yang memiliki kewenangan atas pengelolaan zakat nasional hanya Baznas, sedangkan pendirian LAZ oleh masyarakat hanya sekadar membantu Baznas. Lebih jauh lagi, pendirian LAZ direstriksi secara ketat, di mana restriksi yang sangat krusial adalah keharusan LAZ didirikan atau merupakan bagian dari ormas Islam.
LAZ yang sekarang sudah dikukuhkan memang tetap diakui dalam UU ini, namun maksimal setahun mereka diharuskan menyesuaikan diri dengan UU baru. Artinya, harus mengikuti persyaratan pendirian LAZ baru jika ingin pengukuhannya tidak dicabut oleh Menag. Pasal ini sangat potensial digunakan untuk melemahkan bahkan 'membunuh'LAZ, karena LAZ-LAZ besar saat ini tidak berafiliasi dengan ormas Islam.
Hal ini kontraproduktif dengan upaya peningkatan kinerja zakat nasional. Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat nasional terbukti justru meningkat setelah dikelola oleh masyarakat sipil yang kredibel.
UU ZIS baru juga tidak memberi kejelasan tentang tata kelola yang baik untuk dunia zakat nasional. UU menempatkan Kemenag sebagai regulator dan pengawas, sedangkan Baznas sebagai operator. Namun, Baznas melakukan fungsi perencanaan pengelolaan zakat nasional dan menerima laporan dari Baznas provinsi, Baznas kabupaten atau kota, dan LAZ. Dalam UU ini, Baznas secara jelas mengalami conflict of interest: berstatus sebagai operator namun memiliki kewenangan regulator.
Kewenangan otoritatif yang dimiliki Baznas tidak akan efektif karena ketiadaan kredibilitas, sebab Baznas merangkap sebagai operator. Fungsi regulasi yang dijalankan Kemenag pun akhirnya terlihat menjadi setengah hati dan karenanya diyakini tidak akan optimal. Kemenag akan sulit melakukan fungsi pembinaan dan pengawasan secara optimal karena Baznas provinsi, Baznas kabupaten atau kota, dan LAZ melakukan pelaporan ke Baznas, bukan ke Kemenag.
UU Zakat baru ini juga memberi privilege secara luar biasa kepada Baznas sehingga menciptakan level of playing field yang tidak sama antara Baznas dan LAZ. Ketika LAZ mendapat persyaratan pendirian yang ketat, hal yang sama tidak diterapkan kepada Baznas hanya karena ia adalah lembaga pemerintah. Bahkan, pendirian Baznas menjadi amanat UU. Ketika LAZ dihadapkan pada disiplin pasar yang tinggi karena kelangsungan operasionalnya sepenuhnya bergantung pada zakat yang dihimpun, Baznas mendapat pembiayaan dari APBN dan APBD dan tetap berhak menggunakan zakat untuk operasionalnya, yaitu hak amil.
Meskipun UU menyatakan bahwa Baznas adalah lembaga pemerintah nonstruktural, pendirian Baznas secara jelas mengikuti struktur pemerintah dari tingkat pusat hingga kelurahan. Jika mengikuti amanat UU, ke depan selain Baznas di tingkat pusat akan terdapat 33 Baznas provinsi dan 502 Baznas kabupaten atau kota. Jika Baznas di setiap tingkatan membentuk UPZ dengan mengikuti struktur pemerintahan, akan terdapat 6.636 UPZ tingkat kecamatan dan 76.155 UPZ kelurahan atau desa.
Dengan konsep sentralisasi pengelolaan zakat versi Kemenag dengan Baznas yang didirikan mengikuti struktur administrasi pemerintahan, jumlah operator zakat menjadi sangat besar dan secara jelas mengindikasikan inefisiensi dunia zakat nasional. Pengelolaan zakat nasional menjadi tidak efisien karena mayoritas operator beroperasi pada skala usaha yang terlalu kecil.
Pada 2010, penghimpunan dana zakat Baznas hingga di kabupaten hanya mencapai Rp 865 miliar, atau secara rata-rata masing-masing BAZ hanya mengelola dana kurang dari Rp 2 miliar per tahun. Sangat jauh dari ideal untuk mencapai economies of scale. Terlebih jika kita memperhitungkan beban penghimpunan oleh puluhan ribu UPZ kecamatan dan UPZ desa atau kelurahan, inefisiensi dunia zakat nasional menjadi sangat mengkhawatirkan.
Di saat yang sama, kondisi LAZ jauh lebih baik. Pada 2010, 18 LAZ nasional dan 22 LAZ daerah mampu menghimpun Rp 635 miliar, atau secara rata-rata masing-masing LAZ mengelola dana lebih dari Rp 15 miliar per tahun. Dengan UU ini, LAZ yang memiliki kinerja jauh lebih baik justru dimarginalkan, bahkan dilemahkan secara sistemis. Inilah ironi dari UU Zakat.
Yusuf Wibisono, Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FEUI
Sumber: Republika