Rubrik ini merupakan sebuah display yang akan mengetengahkan para pelopor ekonomi Islam baik klasik maupun modern. Untuk edisi perdana ini kami akan mengetengahkan sebuah sosok ulama-ekonom yang sudah tidak asing lagi bagi umat Islam terutama bagi mereka yang bermadzhab hanafi. Sosok tersebut adalah Imam Abu Yusuf, seorang sahabat dan sekaligus murid Imam Abu Hanifah yang paling utama.
Nama : Nama beliau adalah Ya'qub bin Ibrohim bin Habib al-Anshori al-Kufi al-Baghdadi. Al-Anshori merupakan sebutannya karena dari sisi keturunan ibunya masih ada darah dari kaum Anshor. Beliau dilahirkan di kota Kufah yang terkenal sebagai wilayah Islam yang didominasi oleh ahlu ro'yi. Beliau mendapatkan sebutan al-Kufi karena lahir dan dibesarkan di kota Kufah, sementara al-Baghdadi adalah nisbah kepada Baghdad yang merupakan kota tempat beliau mengabdikan dirinya sebagai ulama dan qodhi sekaligus menyebarkan madzhab hanafi hingga akhir hayatnya.
Guru-gurunya: Sejak kecil Imam Abu Yusuf sudah memiliki minat yang kuat terhadap ilmu terutama ilmu hadis. Beliau meriwayatkan antara lain dari guru-gurunya yaitu Hisyam bin Urwah, Abu Ishaq asy-Syaibani, Atha' bin Sa'ib dan lain-lain. Dalam fikih beliau belajar kepada Muhammad bin Abdur Rohman bin Abi Laila yang terkenal dengan nama Ibnu Abi Laila. Namun beliau amat tertarik kepada fikih gurunya dan sekaligus sahabatnya yaitu Imam Abu Hanifah (150 H). Karena ketertarikannya kepada fikih Imam Abu Hanifah yang begitu besar, di samping karena dorongan yang kuat dari Imam Abu Hanifah sendiri, maka beliau terdorong untuk menyebarkan madzhab Hanafi di seluruh wilayah kekuasaan Abbasiyah. Bahkan dapat dikatakan bahwa beliaulah orang pertama dan paling bertanggung jawab terhadap perkembangan fikih hanafi di kalangan masyarakat Islam. Hal ni dikarenakan beliau diangkat menjadi Ketua hakim (Qodhi al-Qudhot) oleh Kholifah Harun Ar-Rosyid, jabatan ini sebenarnya merupakan jabatan pertama dalam sistem peradilan Islam, sehingga leluasa untuk mengeluarkan fatwa dan memutuskan perkara dengan merujuk kepada fikih hanafi. Pada saat yang sama beliau mendapatkan kebebasan untuk mencari para pembatu yang tentu saja sudah sejalan dengan fikihnya sendiri.
Karya-karyanya :
1. Kitab al-Atsar. Sebuah kitab yang menghimpun hadis-hadis yang diriwayatkan dari para gurunya dan juga dari ayahnya. Hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab ini tidak semuanya muttasil ( bersambung sampai kepada Rasulullah SAW) Sebagain hanya sampai kepada para sahabat (mauquf) atau kepada tabi'in (mursal).
2. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibni Abi Laila. Melihat judulnya saja sudah terlintas bahwa kitab ini menghimpun perbedaan-perbedaan dalam fikih antara Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila yang juga merupakan guru dari Imam Abu Yusuf.
3. Kitab ar-Radd ala Siyar al-Auza'i Kitab ini merupakan himpunan dari sanggahan-sanggahan Imam Abu Yusuf terhadap pendapat al-Auza'i di seputar perang dan jihad.
4. Kitab al-Khoroj. Kitab ini merupakan kitab beliau yang paling utama dan terkenal sehingga mengalahkan kemashuran kitab-kitab beliau yang lain. Dengan kitab inilah beliau dinobatkan menjadi fakih sekaligus ekonom Muslim klasik.
Menurut Ibnu Najm seorang ulama Hanafiyah, masih banyak lagi kitab-kitab yang ditulis oleh Imam Abu Yusuf selain yang telah disebutkan di atas umpamanya Kitab as-Sholah, Kitab az-Zakah dan lain-lain.
Sekilas tentang Kitab al-Khoroj.
Kitab ini ditulis oleh Imam Abu Yusuf atas permintaan Kholifah Harun ar-Rosyid agar menjadi pedoman dalam menghimpun pemasukan atau pendapatan negara dari pajak, zakat dan jizyah. Seperti yang dikatakan sendiri oleh Imam Abu Yusuf," Sesungguhnya Amirul Mukminin Harun ar-Rosyid (semoga Allah mengokohkan kekuasaannya) telah meminta kepada saya untuk mengarang sebuah kitab umum yang menjadi pedoman dalam pengumpulan khoroj, usyur, zakat dan jizyah". Menilik judul dan isi kitab ini dapatlah kitab ini digolongkan sebagai buku Public Finance dalam pengertian ilmu ekonomi modern.
Khoroj adalah atas pajak tanah yang dikuasai oleh kaum Muslimin baik karena peperangan maupun karena pemiliknya mengadakan perjanjian damai dengan pasukan Muslim. Mereka tetap menjadi pemilik sah dari tanah-tanahnya tetapi dengan membayar pajak (khoroj) sejumlah tertentu kepada baitul mal.
Usyur merupakan bentuk jamak dari kata usyr artinya sepersepuluh atau 10 persen. Ia merujuk kepada kadar zakat pertanian dan bea cukai yang dikenakan kepada para pedagang Muslim maupun non-Muslim yang melintasi wilayah daulah Islamiyah. Dalam persoalan zakat pertanian ada ketentuan sebagai berikut yaitu jika penglelolaan tanah menggunakan teknik irigasi maka zakatnya adalah nisf al-usyr (5 per sen) sedangkan kalau pengelolaannya menggunakan irigasi tadah hujan maka zakatnya adalah usyr atau 10 per sen. Dalam beberapa riwayat, bea cukai antara pedagang Muslim, ahlu dzimmah dan ahlu harb dibeda-bedakan. Pedagang Muslim dikenakan rub'ul usyr (2,5 per sen), ahlu dzimmah nisf al-usyr (5 per sen) dan ahlul harb usyr (sepuluh per sen).
Jizyah adalah pajak kepala yang harus dibayar oleh penduduk non-Muslim yang tinggal dan dilindungi dalam sebuah negara Islam. Rasulullah SAW menetapkan jizyah lewat sahabatnya Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman sebanyak satu dinar setiap orang yang sudah balig. Ukuran ini rupanya tidak menjadi ketentuan baku terbukti Umar bin Khottob memungut jizyah sebanyak 4 dinar atau 40 dirham.
Selain dari zakat, ghonimah dan fai' ketiga pendapatan di atas merupakan sumber-sumber pemasukan utama bagi daulah islamiyah. Kitab al-Khoroj ini merupakan kitab pertama yang menghimpun semua pemasukan daulah islamiyah dan pos-pos pengeluarannya berdasarkan kitabullah dan sunnah RasulNya.
Diawali dengan nasehat yang baik kepada kholifah Harun ar-Rosyid, Imam Abu Yusuf menekankan agar penguasa menyadari bahwa amanah kekuasaan itu berat tetapi jika dilaksanakan dengan penuh amanah juga menjadi sumber pahala yang sangat besar. Tugas utama penguasa adalah menghapuskan kezaliman yang dirasakan oleh rakyatnya dan memenuhi segenap kebutuhan mereka lahir dan batin. (Hal. 3-17)
Dalam menghimpun zakat dan pemasukan lainnya, penguasa dinasehatkan agar memilih orang-orang yang dapat dipercaya (amanah), teliti dan kritis. Ini semua diharapkan agar proses penghimpunan bebas dari segala kebocoran sehingga hasil optimal dapat direalisasikan bagi kemaslahatan warga negara. (Hal. 132)
Menurut Imam Abu Yusuf, sistem ekonomi Islam jelas mengikuti prinsip mekanisme pasar dengan memberikan kebebasan yang optimal bagi para pelaku di dalamnya, yaitu produsen dan konsumen. Beliau memaparkan sebuah atsar bahwa banyak warga mengeluh kepada kholifah Umar bin Abdul Aziz karena harga-harga pada jamannya melambung. Umar bin Abdul Aziz menjawab keluhan mereka dengan mengatakan bahwa para penguasa sebelumnya (sebelum dia) telah memungut pajak dari ahlu dzimmah dengan kadar yang melebihi kemampuan orang yang memikulnya. Sementara beliau tidak membebani pajak jizyah melainkan sebatas kemampuannya sendiri karena " Rasulullah SAW diutus untuk menjadi penyeru kepada Islam dan bukan menjadi penghimpun pajak." Jika, karena sesuatu hal selain dari pada monopoli, penimbunan atau aksi sepihak yang tidak wajar dari produsen, terjadi kenaikan harga dalam ekonomi, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi dengan mematok harga. Penentuan harga sepenuhnya diperankan oleh kekuatan demand and supply dalam ekonomi.(Hal. 131-132).
Kitab al-khoroj berbeda dari kitab-kitab ekonomi Islam klasik yang lahir dari generasi yang berdekatan dengannya seperti kitab al-amwal karya Abu Ubaid yang isinya merupakan kumpulan hadis dan atsar yang berkenaan dengan ekonomi, keuangan dan bisnis. Kitab ini selain memaparkan hadis-hadis Nabi SAW yang berkaitan dengan bab-bab pemasukan negara dan pengeluarannya secara rinci dan sistematis, juga membentangkan pikiran-pikiran Imam Abu Yusuf sendiri dalam persoalan tersebut yang merupakan ekspresi pendapat madzhab Abu Hanifah kendatipun dalam banyak persoalan beliau berbeda dengan gurunya. Meskipun kitab ini ditulis lebih dari 1200 tahun yang lalu, tetapi masih sangat relevan untuk dijadikan rujuakan dalam bidang ekonomi, keuangan dan perdagangan di jaman modern sekarang. Bahkan dapat pula dijadikan sebagai pedoman, rujukan dan pelengkap kebijakan pemerintah dalam fiskal dan moneter serta pembangunan ekonomi pada umumnya.
Tulisan: Ikhwan Abidin Basri, MA