Meski tidak secara eksplisit, Dodik Siswantoro dalam opininya, Dolarisasi Versus Dinarisasi (Republika, 2/7), tampaknya ingin ikut mempromosikan dinar emas sebagai alternatif sistem moneter dunia. Selain tidak eksplisit, tulisan Dodik juga belum disertai argumentasi yang meyakinkan. Pada akhir tulisannya secara retorik Dodik bahkan mempertanyakan strategi yang sarat ''dengan romantisme sejarah'' ini. Tulisan berikut merupakan tanggapan dan catatan bagi Dodik bahwa dinarisasi (istilah Dodik) adalah strategi yang tepat dalam menghadapi dolarisasi yang merugikan banyak pihak tersebut.
Pertama, strategi dinarisasi tidak semata-mata berdasarkan romantisme sejarah dan tradisi masa lampau. Dinar emas, beserta ''pasangannya'' dirham perak, pantas untuk dikembalikan karena merupakan antidote ampuh sistem riba yang merajalela karena sistem ribawi yang ditopang oleh segi tiga kaki ''uang kertas-bunga-dan utang''.
Memang untuk memahaminya kita perlu melongok sejarah sebentar. Kemunduran banyak negara Islam, dan kehancurannya di kemudian hari, diawali dengan ditinggalkannya pemakaian uang emas dan perak. Uang kertas yang menggantikannya yang, secara inheren, membawa riba dan kezaliman adalah instrumen ampuh musuh-musuh Islam dalam menaklukkannya. Ketika imperialisme dan kolonialisme politik atas bangsa-bangsa Muslim berakhir di awal abad ke-20, dimulailah imperialisme dan kolonialisme ekonomi dan finansial yang jauh lebih dahsyat kekuatannya itu, sampai detik ini.
Uang kertas adalah alat politik penaklukan yang kekuatannya melampaui senjata fisik apa pun. Dengan sistem perbankan (pembangunan) sebagai kuda troya, uang kertas memungkinkan politik utang dalam sistem ribawi yang diterapkan oleh Barat untuk menjerat negeri-negeri Muslim sangat efektif. Saksikanlah kemerdekaan politik Tunisia, Mesir, bahkan daulah Utsmaniah di Eropa, di abad ke-19 itu, digantikan oleh penjajahan kembali melalui utang. Persis seperti yang kita alami hari-hari ini, jeratan utang IMF dan Bank Dunia telah menafikan sama sekali makna kemerdekaan politik kita sebagai bangsa berdaulat, bukan?
Marilah kita sederhanakan masalah ini barang sedikit. Apa yang membedakan selembar kertas bergambar Soekarno-Hatta, berwarna merah, yang bernilai Rp 100.000, dengan selembar kertas lain bergambar Kapitan Pattimura, berwarna biru, bernilai Rp 1000? Seorang murid kelas 3 SD pun memberikan jawaban: gambarnya! Mengapa lembar yang pertama lantas bernilai seratus kali yang kedua? Pertanyaan yang sama dapat kita ajukan atas selembar kertas lain, berwana abu-abu kehijauan, yang bernilai 1 US$. Mengapa nilainya menjadi 10.000 kali satu unit mata uang kita yang bernama rupiah ini?
Semua itu terjadi karena uang kertas adalah artifisial. Keberadaannya, tinggi rendah nilainya, sah-tidaknya, ditentukan oleh satu pihak tertentu. Dulu ketika negara masih kuat politik (ke-)uang(-an) semuanya ditentukan oleh bank sentral, tapi kini ketika kedaulatan negara semakin tipis, oleh lembaga-lembaga keuangan internasional. Uang kertas yang dapat diciptakan -- secara harfiah maupun dalam sistem sirkulasi -- setiap saat ini menjadi mesin utang yang tak kenal berhenti berputar. Megaproyek semerusak apa pun, dalam ekonomi busa (bubble economy) sebesar apa pun, dapat terus dipacu. Dan untuk mencegah keruntuhannya, sambil pada saat yang sama mereguk keuntungan sebesarnya, sistem utang-piutang (pembangunan) ribawi yang zalim ini pantang berhenti.
Sebaliknya, mata uang bimetal, emas dan perak, adalah uang yang mengikuti fitrah. Tak sebuah pun negara, termasuk daulah Islam di bawah Nabi Muhammad SAW maupun para khalifahnya, perlu merumuskan undang-undang khusus untuk menetapkan sistem ini. Bahkan, dalam prakteknya, sistem bimetal tidak memerlukan satu aturan atau sistem pengendalian pun. Yang diperlukan bagi berlakunya sistem mata uang bimetal hanyalah kebebasan bagi setiap orang untuk memiliki dan menggunakannya, baik sebagai komoditas maupun alat tukar (uang). Berdasar pengalaman ribuan tahun, secara alamiah, umat manusia menemukan emas dan perak, di antara beragam pilihan komoditas yang pernah dicoba, sebagai mata uang yang paling pas dan cocok.
Genggamlah sekeping koin dinar emas atau dirham perak di tangan Anda. Timbang dan bawalah ke manapun Anda pergi, ke London, New York, Paris, Tokyo, atau Jakarta. Sekeping dinar tetaplah 4.25 g emas 22 karat, dan sekeping dirham adalah 3 g perak murni. Bahkan bila gambar dan coraknya Anda ubah-ubah, bertuliskan kalimah syahadah maupun bergambar Soekarno-Hatta atau George Washington, nilainya akan tetap. Emas Cikotok sama bermutu dan nilainya dengan emas Inggris atau Afrika Selatan. Maka, emas dan perak, dinar dan dirham, tidak mungkin bisa dimanipulasi oleh negara ataupun lembaga keuangan internasional mana pun -- kecuali dipalsukan.
Kedua, sekali dinar dan dirham kembali dipakai oleh seluruh umat manusia di muka bumi ini, sebagian besar persoalan umat manusia tidak mustahil akan terselesaikan dengan sendirinya. Kalau saja bangsa-bangsa di dunia saat ini mendukung dan mengikuti kepemimpinan PM Malaysia, Mahathir Muhammad, memakai dinar dan dirham dalam perdagangan internasional, posisi tawar negara-negara pengutang akan naik. Kekuatan ekonomi dan finansialnya akan berangsur pulih. Kurs mata uang tidak lagi jadi persoalan. Pertukaran harta, minyak, kayu, barang pertanian, tambang, dan sebagainya dari negeri-negeri ini bahkan akan diperoleh kembali dalam bentuk harta lain, berupa emas dan perak. Kolonialisme dan imperialisme melalui politik utang seketika akan dapat kita hapuskan. Pada saat yang sama sebagai mata uang yang tak mengenal batas negara dan kebangsaan, dinar akan mempersatukan umat seluruh dunia.
Ketiga, para pendukung dinarisasi telah menyusun strategi implementasi sampai pada tingkat yang praktis. Berbagai kelompok masyarakat telah mengamalkan pemakaian dinar dan dirham di lebih dari 20 negara, termasuk Indonesia. Pencetakan koin-koin emas ini terus bertambah setiap harinya. Standarisasi tentang spesifikasi dinar emas ini pun telah disepakati sesuai usulan WITO (World Islamic Trading Organization).
Sementara itu, strategi struktural oleh negara terus dilanjutkan oleh Malaysia. Pemerintahan Mahathir maju terus dalam soal dinarisasi ini. Langkah terbaru Mahathir adalah menyelenggarakan Konperensi Internasional ''Dinar Emas dalam Perdagangan Multilateral'', yang akan diselenggarakan oleh Institute of Islamic Understanding (IKIM), Malaysia, pada 22-23 Oktober 2002, di Kuala Lumpur. Konperensi ini akan menandai kesiapan teknis implementasi dinarisasi dalam perdagangan internasional dengan pemerintah Malaysia sebagai lokomotifnya.
Di luar ketiga argumen rasional di atas dapat ditambahkan argumen keempat, yakni tuntutan hukum Islam. Sebagaimana diisyaratkan oleh ulama Taqyudin An-Nabhani, memakai dinar emas berarti mengamalkan hukum syari'ah. Sebab uang dalam Islam, sebagaimana ibadah dan muamalah lain, berhubungan dan terikat dengan hukum syara'.
Keharaman menimbunnya, kewajiban mengeluarkan zakatnya, adanya hukum-hukum pertukaranmya, diamnya rasul untuk melakukan transaksi dengannya, serta keterkaitannnya dengan diyat dan potong tangan dalam pencurian, telah menjadikan uang sebagai suatu masalah -- yang pendapat atasnya sangat tergantung kepada nash syara'. Dan, sebagaimana kita pahami bersama, syara' menyatakan uang dengan hukum-hukum yang terkait dengan semua itu adalah dalam bentuk emas dan perak. Ini membuktikan bahwa uang dalam Islam harus berupa emas dan perak.
Oleh : Zaim Saidi, Direktur Eksekutif PIRAC
Republika Online, Senin, 22 Juli 2002