Salah satu keuntungan dari dihapuskannya sistem riba adalah terjadinya keseimbangan dan pemerataan dalam distribusi kekayaan (kesejahteraan). Ciri yang muncul dari sistem riba bersifat kebalikannya. Keuntungan satu pihak (pemodal) sudah pasti ketika peminjam modal menderita rugi (karena ada jaminan lain yang akan diperoleh sebagai pengganti) atau ketika peminjam modal mendapat untung. Adapun peminjam modal berada dalam ketidakpastian karena uang yang dipinjam ada kemungkinan menghasilkan keuntungan atau sebaliknya justru mengalami kerugian.
Dalam konteks yang lebih luas, misalnya pada perusahaan besar, besarnya keuntungan yang diperoleh tetap tidak menjamin perusahaan itu bebas dari risiko. Kenyataannya, ketika risiko dari sebuah perusahaan besar dianggap kecil karena faktor internal (misalnya, alat produksi) sudah tersedia dan terukur kerjanya, justru pada saat yang sama perusahaan itu menghadapi risiko lain, yaitu risiko dari luar. Jadi, semakin besar suatu perusahaan, semakin besar risiko yang dihadapinya. Dalam sistem ekonomi kapitalis, keseimbangan dalam distribusi kekayaan pun menjadi sangat tidak stabil. Kadang peminjam harus mengalami kerugian yang sangat besar, sedangkan pemberi pinjaman terus mengeruk keuntungan. Di sisi lain, kadang pula peminjam mendapat keuntungan yang sangat besar, sedangkan pemberi pinjaman hanya mendapat bagian yang sangat kecil dibandingkan dengan keuntungan tadi. Dari situ muncul ketidakadilan dalam menanggung risiko kerugian atau dalam membagi hasil keuntungan.
Adapun Islam melarang sistem riba karena ia hanya membolehkan dua bentuk kerja sama usaha, yaitu mudharabah[1] dan musyarakah[2]. Kedua bentuk itu bebas dari sistem riba sehingga akan terjadi keseimbangan dan pemerataan dalam keuntungan atau kerugian. Kedua bentuk kerja sama usaha itu dalam skala yang lebih besar memberikan kemudahan dalam distribusi kekayaan. Dalam sistem ekonomi kapitalis, justru kekayaan tidak terdistribusi dengan merata dan terus menjadi “setan yang menghantui” sistem ekonomi itu. Kekayaan dalam sistem kapitalisme hanya menumpuk pada sebagian kecil manusia, sedangkan kekayaan dalam konteks Islam harus terdistribusi secara merata.
Dalam kapitalisme, kegiatan ekonomi berawal dari dan berakhir pada riba, bahkan cenderung ingin menguasai kekayaan secara menyeluruh hingga berupaya memonopoli semua pasar dan menggerakkannya sesuai dengan keinginan pribadi. Akibatnya, sistem itu tidak dapat berjalan dalam proses yang alami, tetapi justru berjalan dalam proses yang merusak karena akhirnya menyebar ke lingkup kehidupan manusia lainnya. Itulah wujud nyata kejahatan ekonomi kapitalis. Pengaruh jahatnya tidak berhenti di situ, tetapi masuk hingga merusak sendi-sendi moral, sosial, dan politik (khususnya korupsi).
Jadi, dengan melarang riba, berarti Islam menghancurkan pula kejahatan sistem itu hingga ke akarnya atau dampak turunannya. Di bawah sistem Islam, setiap orang yang menanamkan modal memiliki hak atas kerja sama usaha yang dilakukan dan kebijakannya, ikut serta menanggung untung atau rugi, dan tidak boleh menjalankan usaha itu sesuai dengan keinginannya tanpa melibatkan pemodal atau peminjam modal lainnya.
Dalam skala yang lebih besar, seperti kasus Bank Century atau bank-bank yang dilikuidasi pada masa krisis moneter 1998, pemerintah harus turun tangan agar permasalahannya tidak menjalar ke bank-bank lain. Langkah itu memang harus diambil agar tidak terjadi kepanikan di tengah masyarakat yang bermuara pada rush (penarikan dana dari bank secara masif). Namun, masalahnya ternyata tidak berhenti di situ. Pertanyaan lain akan timbul. Ke mana dana likuidasi itu mengalir? Ilustrasinya seperti yang digambarkan tulisan Muhaimin Iqbal.
Ini adalah pertanyaan awam yang muncul hampir di seluruh dunia menyangkut banyaknya bank-bank dan lembaga keuangan besar yang berjatuhan. Bank-bank dan lembaga keuangan tersebut berjatuhan pada umumnya karena kesulitan likuiditas.
Mengapa kesulitan likuiditas berlaku serentak? Bukankah likuiditas seharusnya menyerupai sifat air (liquid = cairan), yaitu kalau tidak ada di suatu tempat (bank) seharusnya mengalir ke tempat (bank) lain? Mengapa krisis likuiditas selalu serentak/bersamaan?
Logika awamnya memang demikian, tetapi bukan logika awam seperti itu yang berlaku di dunia perbankan dan keuangan global. Mayoritas likuiditas dunia perbankan bukan dari uang seperti yang kita kenal (uang kertas dan uang logam), melainkan dari uang bank yang dihasilkan melalui suatu proses penciptaan uang (money creation) yang canggih dalam sebuah sistem perbankan yang disebut Fractional Reserve Banking. Ilustrasinya:
Asumsikan Anda mempunyai uang satu miliar rupiah yang Anda simpan di bank A. Di Indonesia, misalnya, bank A hanya wajib mencadangkan 5% dana simpanan atau Rp50 juta. Selebihnya, Rp950 juta dipinjamkan bank A ke bank B. Oleh karena bank B hanya wajib mencadangkan 5% simpanannya atau Rp 47,5 juta, uang simpanan itu pun dipinjamkan bank B ke bank C sebesar 95% atau Rp902,5 juta. Bank C pun demikian. Ia meminjamkannya lagi ke Bank D, dan seterusnya.
Secara teoretis, uang yang awalnya hanya satu miliar rupiah berpotensi menghasilkan likuiditas berupa uang bank yang besarnya 20 kali lipat atau Rp20 miliar melalui Fractional Reserve Banking dengan minimum reserve 5%. Dampak sebaliknya akan terjadi. Jika uang satu miliar rupiah itu Anda tarik dari bank A, seluruh sistem perbankan berpotensi kehilangan likuiditas yang nilainya tidak hanya satu miliar, tetapi uang bank yang tercatat sudah mencapai Rp20 miliar melalui sistem perbankan yang brilian atau disebut Fractional Reserve Banking! Bayangkan jika banyak orang dengan simpanan uang miliaran rupiah seperti Anda menarik semua uangnya secara bersamaan dari bank, pastilah bank yang paling besar sekalipun akan kolaps.
Jadi, krisis likuiditas global sekarang bukan karena likuiditas mengalir dari satu tempat ke tempat lain, seperti mengalirnya air, melainkan likuiditas yang awalnya memang tidak ada atau hanya “semu” kembali menjadi tidak ada.
Selama sistem perbankan mengadopsi sistem Fractional Reserve Banking, kebangkrutan satu bank akan selalu menyeret seluruh industri perbankan. Atas alasan itu, negara-negara di dunia selalu mati-matian menyelamatkan bank yang sedang bermasalah karena dampak yang lebih buruk akan terjadi kalau tidak diselamatkan. Itulah perbedaan sistem keuangan antara perbankan ribawi dan sistem dinar. Dalam sistem keuangan ribawi—perbankan selalu menjadi awal musibah atau penyebab dalam setiap krisis (Tentu kita masih ingat krisis di Indonesia 97/98, dan krisis di AS saat ini).
Laporan banyak lembaga dunia menegaskan semua itu. Misalnya, perubahan teknologi dan liberalisasi keuangan telah mengakibatkan peningkatan jumlah rumah tangga tidak proposional pada tingkatan yang teramat kaya tanpa distribusi bagi yang miskin. Dari 1988-1993, pendapatan 10% penduduk termiskin di dunia merosot lebih dari seperempatnya, sedangkan pendapatan 10% penduduk terkaya di dunia meningkat 8%.[3]
Sekitar tiga puluh tahun lalu, perbandingan pendapatan rata-rata di 49 negara terbelakang dengan pendapatan negara-negara terkaya adalah 1 : 87. Pada tahun 2001, perbandingannya menjadi 1 : 98.[4] Total kekayaan orang-orang yang memiliki aset minimal $1 juta meningkat hampir 4 kali lipat pada 1986-2000 dari $7,2 triliun menjadi $27 triliun. Meskipun terjadi kemerosotan keuangan global dan bisnis dot.com saat ini, Merril Lynch memprediksi bahwa kekayaan mereka meningkat 8% tiap tahunnya dan perkiraan tahun 2005 mencapai $40 triliun.[5]
Sejak 1994—1998, nilai kekayaan bersih dua ratus orang terkaya di dunia bertambah dari $40 miliar menjadi lebih dari $1 triliun. Aset tiga orang terkaya lebih besar dibandingkan gabungan GNP 48 negara terbelakang. Jumlah miliarder meningkat 25% dua tahun terakhir (‘97—‘99, pen.) menjadi 475 orang dengan nilai kekayaan lebih besar dari 50% penduduk termiskin dunia.[6] Adapun seperlima orang terkaya di dunia mengonsumsi 86% semua barang dan jasa, sedangkan seperlima orang termiskin di dunia hanya mengonsumsi kurang dari 1%.[7]
Pada saat yang sama, sebanyak 200 perusahaan papan atas dunia menguasai 28% perekonomian global, 500 perusahaan papan atas dunia mengontrol 70% perdagangan dunia, dan 1.000 perusahaan papan atas dunia menggenggam 80% industri dunia.[8] Dari 100 pelaku ekonomi terbesar di dunia, 52 di antaranya adalah perusahaan raksasa, 48 lainnya adalah negara. Mitsubishi berada pada posisi ke-22, General Motors ke-26, dan Ford Motor ke-31. Gabungan ketiga perusahaan raksasa itu mengalahkan kekayaan Denmark, Thailand, Turki, Afrika Selatan, Arab Saudi, Norwegia, Finlandia, Malaysia, Chili, dan Selandia Baru. Gabungan penjualan 200 perusahaan raksasa dunia masih lebih besar dari 18 kali lipat pendapatan tahunan 1,2 miliar orang miskin.[9]
Pada tahun 1999, hasil penjualan dari 5 perusahaan raksasa (General Motors, Wal-Mart, Exxon Mobil, Ford Motor, dan DaimlerChrysler) lebih besar dari GDP 182 negara.[10] Dua puluh tahun lalu, dua puluh perusahaan farmasi papan atas dunia memegang 5% perdagangan obat-obatan dunia dengan resep. Dewasa ini, sepuluh perusahaan farmasi papan atas dunia menguasai 40% pasar. Dua puluh tahun lalu, 65 perusahaan bahan kimia untuk pertanian bersaing di pasar dunia dan dewasa ini hanya tersisa sembilan perusahaan tetapi menguasai 90% pangsa pasar pestisida.[11]
Di sisi lain, di seluruh dunia kira-kira 50 ribu orang meninggal setiap hari akibat kurangnya kebutuhan tempat tinggal, air yang tercemar, dan sanitasi yang tidak memadai.[12] Kelaparan disebabkan oleh kenyataan bahwa pengembangan perdagangan dunia lebih dititikberatkan pada negara-negara Utara (negara maju), sementara perluasan utang lebih diarahkan ke negara-negara Selatan (negara berkembang).[13] Peningkatan produksi pangan dalam 35 tahun terakhir telah melampaui laju pertumbuhan penduduk dunia sebesar 16%. Peningkatan tersebut belum pernah terjadi.[14]
Pada tahun 1997, 78% anak-anak di bawah usia lima tahun yang kekurangan gizi di negara-negara sedang berkembang sebenarnya hidup di negara-negara yang mengalami surplus pangan.[15] Ketika 200 juta orang India kelaparan, pada tahun 1995, India mengekspor gandum dan tepung terigu dengan nilai $625 juta serta beras 5 juta ton dengan nilai $1,3 miliar.[16] Dewasa ini, 826 juta manusia menderita kekurangan pangan yang sangat kronis dan serius kendati dunia sebenarnya mampu memberi makan 12 miliar manusia (2 kali lipat dari penduduk dunia) tanpa masalah sedikit pun.[17]
Pada tahun 1997, hampir 10 juta orang AS yang terdiri atas 6,1 juta orang dewasa dan 3,3 juta anak-anak benar-benar dililit kelaparan. Sementara itu, pada tahun 1998, 10,5 juta rumah tangga di AS atau 31 juta orang tidak bisa memperoleh makanan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka.[18] Jumlah orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan gizinya diperkirakan bertambah hingga 3%: dari 1,1 miliar pada tahun 1998 menjadi 1,3 miliar orang pada tahun 2008. Dua pertiga penduduk Afrika Sub-Sahara dan 40% penduduk Asia akan mengalami kekurangan pangan pada tahun 2008.[19]
Setiap hari sebelas ribu anak mati kelaparan di seluruh dunia, sedangkan 200 juta anak menderita kekurangan gizi dan protein serta kalori. Lebih dari 800 juta menderita kelaparan di seluruh dunia dan 70% di antara mereka adalah wanita dan anak-anak.[20] Kesimpulannya, sistem ekonomi global yang diwakili lembaga seperti IMF membunuh umat manusia bukan dengan peluru atau rudal, melainkan dengan wabah kelaparan.[21] Dari semua data itu, semakin jelaslah bagi kita bahwa peradaban dunia yang dibangun di atas sistem ekonomi berbasis riba ternyata tidak menjadi seperti gambaran yang dijanjikan kapitalisme, yaitu kemakmuran atau kesejahteraan bagi semua. Justru yang terjadi adalah kebalikannya dan seperti yang ingin dicegah Islam sejak awal, yaitu kekayaan yang tidak terdistribusi dengan baik dan merata.
Kemunculan Sistem Ekonomi Syariah Melalui Lembaga Keuangan Syariah
Dalam konteks yang lebih luas, sistem keuangan syariah/Islam menghadapi tantangan karena dirancang sebagai pilihan lain dari sistem keuangan konvensional yang bersandar pada prinsip yang berbeda. Ia selalu dihadapkan pada pilihan produk yang terbatas, bahkan cenderung selalu mengikuti produk keuangan yang sudah dibentuk sistem konvensional. Oleh karena itu, lembaga keuangan syariah perlu terus melakukan inovasi dan meningkatkan kapasitasnya. Dalam hal tertentu, keterbatasan itu dapat menjadi belenggu yang harus segera dihilangkan. Misalnya, ketika keadaan keuangan global membuat banyak lembaga keuangan konvensional yang berguguran, lembaga keuangan syariah harus mampu menunjukkan keunggulan dalam ketahanan terhadap krisis dan menanggung kerugian (risk sharing, bukan hanya profit sharing). Hal itu sangat mungkin akan memengaruhi perkembangan sistem keuangan di seluruh dunia.
Di Eropa, Inggris menjadi negara terdepan yang membuat UU bagi sistem perbankan Islam dengan menghapus kewajiban perizinan ganda yang sebelumnya mempersulit kepemilikan barang yang sesuai dengan prinsip Islam. Pemerintah Inggris pun meninjau ulang UU lainnya agar lebih nyaman bagi pembentukan dan penawaran produk perbankan Islam sehingga dapat memberi jalan bagi perbankan Eropa meneruskan perhatian mereka pada pangsa pasar ini.
Pada 2005, Lloyds TSB meluncurkan produk jasa dengan sistem syariah bagi konsumen muslim meskipun produk itu hanya terbatas pada hal-hal tertentu sehingga dianggap tidak mampu bersaing dengan produk jasa sistem konvensional yang ada di Inggris. Itu adalah produk besar pertama dari perbankan Eropa di pasar ini dan telah mendorong bank-bank lain untuk mengevaluasi strategi mereka dengan berupaya lebih jauh terlibat di pasar baru ini.
Ketika pasar perbankan Islam mulai tumbuh, muncul pula kebutuhan akan sistem teknologi informasi yang dapat mengakomodasi produk inovasinya dan memberi kemudahan bagi konsumen dari sisi biaya sehingga produk perbankan Islam mudah diterima. Saat ini belum ada teknologi informasi yang seragam bagi pengembangan produk baru perbankan syariah. Akibatnya, penggunaan sistem yang telah ada sebetulnya tidak begitu diperlukan dalam produk syariah sehingga produk syariah pun tidak dapat berkembang.
Perbankan konvensional banyak memakai teknologi informasi yang canggih. Seharusnya, perbankan syariah pun meningkatkan daya saingnya agar dapat memastikan kemudahan perbankan syariah masuk ke pasar yang lebih luas dan menguntungkan. Saat ini sudah banyak bank konvensional yang berupaya meningkatkan kapasitas mereka dengan membuka sistem syariah dengan brand yang sama karena ingin menangkap peluang pasar muslim. Pada saat mereka masih kesulitan dalam mengadopsi sistem syariah itu, potensi pengembalian yang besar dan meningkatnya jumlah konsumen dari para muslim ini pastinya akan menutup semua pembiayaan dan transaksi yang sudah mereka lakukan. Jika hal itu tidak segera diantisipasi perbankan syariah dengan inovasi dan inisiasi yang cepat, boleh jadi ceruk pasar mereka akan semakin kecil karena perbankan konvensional dapat masuk ke pangsa pasar muslim, sedangkan perbankan syariah tidak mungkin masuk ke pangsa pasar konvensional.
Komposisi Pembiayaan
Di Indonesia, jumlah lembaga keuangan syariah terus bertambah. Data terakhir yang diperoleh dari Statistik Perbankan Syariah yang dikeluarkan Bank Indonesia, Oktober 2009, menyebutkan bahwa kini sudah enam bank umum syariah terbentuk, 25 (bank umum yang memiliki) unit usaha syariah, dan 138 bank pembiayaan rakyat syariah dengan jumlah pegawai seluruhnya mencapai hampir 21 ribu orang. Kecenderungan menunjukkan adanya peningkatan terus meskipun hanya sedikit sekali peningkatannya.
Jika dilihat dari keuntungan yang diperoleh lembaga keuangan syariah per Oktober 2009, bank umum syariah dan unit usaha syariah (BUS-UUS) mencatat keuntungan tahun berjalan setelah taksiran pajak penghasilan sebesar 558 miliar rupiah, sedangkan untuk bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) sebesar 47, 561 miliar rupiah. Total keuntungan lembaga keuangan syariah di Indonesia baru mencapai 605,561 miliar rupiah. Jumlah itu masih sangat sedikit sebagai keuntungan 163 lembaga keuangan syariah yang ada di Indonesia dalam berbagai bentuknya. Adapun dana pihak ketiga yang berhasil dikumpulkan BUS-UUS adalah 46,5 triliun rupiah, sedangkan BPRS sekitar 1,2 triliun rupiah. Total hanya 47,7 triliun rupiah. Sekitar 45,246 triliun rupiah dana BUS-UUS telah disalurkan dalam berbagai bentuk akad: 51,3% di antaranya untuk modal kerja, 21,3% untuk investasi, dan 27,4% untuk konsumsi. Sekitar 33,5 triliun rupiah untuk usaha kecil-menengah (UKM) dan sekitar 11,75 triliun rupiah di antaranya untuk usaha besar. Persentase Non-Performance Financing (NPF)-nya sebesar 5,51% dari 45,246 triliun rupiah. NPF terbesar terjadi pada pembiayaan modal kerja, 49,9% dan paling banyak pada UKM.
Di sisi lain, sekitar 1,55 triliun dana BPRS telah disalurkan dalam berbagai bentuk akad: 50,52% untuk modal kerja, 11,77% untuk investasi, dan 37,70% untuk konsumsi. Sekitar 838,26 miliar rupiah disalurkan ke UKM dan sekitar 708,60 miliar ke usaha besar. NPF-nya sebesar 7,74% dari 1,55 triliun rupiah. NPF terbesar terjadi pada pembiayaan modal kerja, 64% dan paling banyak pada UKM.
Jadi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sebagian besar pembiayaan yang dilakukan BUS-UUS atau BPRS masih berupa produk yang tidak jauh berbeda dengan produk yang dikeluarkan lembaga keuangan konvensional. Oleh karena itu, tidak aneh kalau proporsi pembiayaan yang diperoleh (keuntungan atau kerugiannya), boleh dikatakan, masih sangat kecil.
Bahkan, untuk pemberdayaan usaha kecil dan menengah (microfinance), masyarakat masih lebih banyak memakai jasa keuangan yang berbasis riba. Dalam banyak kesempatan, mereka berani menawarkan jasa yang tidak berbelit-belit. Sudah banyak di tengah masyarakat lembaga keuangan berbasis riba yang mempromosikan dirinya dengan “Anda butuh uang segera? Satu Jam Cair” tanpa persyaratan yang sulit. Di Bangladesh yang masyarakatnya mayoritas muslim, justru lembaga keuangan mikro Grameen Bank berkembang pesat karena berani mengambil risiko dan melakukan inovasi dalam pembiayaan mikro. Kecenderungan yang terjadi pada lembaga keuangan syariah adalah mengikuti cara-cara lembaga keuangan konvensional dalam menjual produk atau mempromosikan jasa pembiayaan. Perbedaannya hanya: yang satu “bunganya” ditentukan tetap sejak awal, satu lagi ditentukan berdasarkan pada perkembangan tingkat bunga di pasar. Jadi, lembaga keuangan syariah masih perlu membenahi diri untuk menarik konsumen, tidak hanya dari kalangan muslim.
Segmentasi Konsumen dalam Perbankan Islam
Mengembangkan keuangan unit syariah tidaklah mudah dengan begitu banyaknya bentuk yang ada. Sebelum ke arah sana, pertama kali perlu untuk memberikan pemahaman kepada konsumen tentang alasan dasar produk yang dibuat dan penyesuaian dengan kebutuhan mereka. Di Eropa yang tidak satu pun produk dapat diterapkan di tempat atau waktu yang berbeda, pengembangan produk perlu terus-menerus dilakukan. Begitu pula dalam upaya mengembangkan perbankan Islam yang konsumennya sangat beragam dan memerlukan pelayanan sebaik citra yang diusung syariah.
Dalam kaitannya dengan produk, kunci diferensiasi antara konsumen perbankan Islam adalah penafsiran tentang sesuatu yang dapat diterima sebagai bagian dari syariah. Skalanya boleh jadi terpisah antara konsumen yang lebih tradisional dan konservatif di satu sisi dan konsumen yang memang mencari produk perbankan syariah di sisi yang lain. Konsumen tertentu bersedia membayar untuk mendapatkan pelayanan premium bagi produk syariah, sedangkan konsumen lain mungkin lebih tertarik pada produk yang mereka tahu hanya "setengah syariah" tetapi menawarkan tingkat pembagian yang lebih baik. Untuk sampai ke sana, diperlukan perencanaan target konsumen yang benar-benar paham sehingga hasilnya akan baik di sisi biaya dan keuntungan.
Sebagai tambahan, pelayanan tetap diperlukan karena merupakan wilayah lain yang akan menentukan segmentasi konsumen. Karakteristik, seperti usia konsumen, tingkat pendidikan, gaya hidup, dan hubungan sosial yang diinginkan dengan bank, misalnya, akan menentukan kelebihan bank Islam dari bank lain. Perbaikan ke arah sana adalah kunci penting dalam menentukan proporsi dan membedakan bank dari yang lain yang menawarkan produk syariah yang sama.
Misalnya, di Inggris, semangat dan budaya masyarakat untuk berhubungan dengan bank sudah sampai pada titik jenuh dan tentu diperlukan penyesuaian dalam pelayanan yang selama ini lebih banyak meminggirkan pengusaha kecil yang tidak lagi memiliki tabungan di bank setempat. The Cruikshank Report yang diterbitkan pada 2000 menekankan miskinnya pelayanan yang diberikan bank tradisional di Inggris. Lebih jauh lagi, laporan itu menegaskan tingginya biaya yang dikutip bank tradisional atas klien mereka karena adanya struktur kartel dan mempersulit klien untuk berpindah bank. Terbitan terakhir menunjukkan bahwa bank-bank besar tidak berusaha mengubah hal itu. Akibatnya, etos dan nilai yang ditawarkan bank Islam atas hal itu memberikan peluang dan nilai jual yang lebih bank Islam atas bank konvensional.
Pengenalan brand pun termasuk kunci penting yang akan membedakan segmen konsumen. Konsumen tertentu hanya mau berurusan dnegan bank terkenal yang memiliki sejarah kuat dan telah lama ada di dunia Islam, sedangkan konsumen lain mungkin lebih senang berurusan dengan bank brand Eropa dengan produk dan pelayanan yang cocok.
Bersamaan dengan munculnya banyak produk baru, penting untuk mengenalkan produk syariah ke pasar. Tentunya dengan memperhatikan segmen konsumen yang sudah paham sehingga produk, pelayanan, dan brand di balik produk itu dapat diterima pula. Hanya dengan cara itu bank dapat mengembangkan produk yang tepat sesuai dengan keinginan untuk mencpai target pemasukan modal.
Bagaimana dengan Masa Depan Perbankan Islam?
Dalam konteks yang lebih luas, keuangan Islam menghadapi tantangan yang menjadikannya bagian dari keuangan konvensional yang berdasarkan pada premis fundamental yang berbeda. Mungkin saja semua itu tantangan yang terbatas sifatnya sepanjang bank Islam mampu mengembangkan kapasitasnya dengan melakukan inovasi ke tengah pasar. Dalam hal itu, batasan itu dapat menjadi pagar yang harus didorong oleh keuangan Islam. Tentu dalam konteks kekinian, ketika lembaga keuangan banyak yang gagal, lembaga keuangan syariah (LKS) mungkin saja dapat menunjukkan kekuatannya dengan bentuk pembiayaan bersama dan risiko bersama. Inovasi itu memungkinkan LKS memengaruhi perkembangan sistem keuangan di dunia.
Sebagai contoh, bank-bank Eropa perlu bekerja sama dalam banyak aspek mengenai konsep perbankan Islam agar dapat menangkap pasar muslim. Prinsip-prinsip yang bertentangan dengan syariah yang perlu diperhatikan dalam pengembangan LKS:
* Bunga: pengenaan bunga dilarang karena dianggap sebagai bentuk eksploitasi yang tidak adil.
* Spekulasi:syariah tidak membolehkan spekulasi atau judi sehingga LKS tidak mungkin terlibat dalam pasar saham, perdagangan berjangka, atau pasar valuta.
* Investasi yang dilarang: ada beberapa investasi jenis investasi yang dilarang syariah, yaitu yang berkaitan dengan alkohol, babi, dan judi sehingga keuntungan yang diperoleh darinya dianggap tidak halal
* Ketidakpastian: tidak ada konsep ketidakpastian di dalam Islam sehingga investasi yang penuh ketidakpastian pun dilarang.
Oleh karena itu, LKS hanya boleh mengumpulkan uang dari kegiatan pokok perbankan, seperti tabungan nasabah, yang berada dalam pengawasan syariah secara ketat sehingga dapat digunakan sepenuhnya. Selain itu, produk yang lazim dalam LKS adalah mudarabah, murabahah, ijarah, salam, dan sukuk.
Tujuan Ekonomi Islam
Uang dan sistem perbankan seharusnya, seperti semua aspek lain dalam konsep Islam sebagai cara hidup, dibentuk untuk meningkatkan tujuan sosial dan ekonomi umat (manusia). Sistem yang dibentuk itu pun harus terus dapat berfungsi menjalin cara kerjanya yang khas dengan sistem perbankan yang sudah ada saat ini. Secara umum, beberapa tujuan sistem ekonomi Islam adalah seperti berikut ini:
- membangun sistem ekonomi hingga meluas dengan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
- kestabilan nilai mata uang agar alat tukar itu menjadi alat yang dapat diandalkan dan memiliki nilai yang stabil
3. Pembagian yang adil perlu dipastikan dalam semua bentuk investasi dan proyek pembangunan.
4. Pelayanan yang lebih baik pada semua produk dan jasa yang biasa dilakukan sistem perbankan lainnya.
5. Keadilan sosial dalam distribusi pendapatan dan kekayaan.
Beberapa Aspek dalam Sistem Keuangan Tanpa Riba dan Manfaatnya
Sistem perbankan adalah suatu keharusan bagi perkembangan ekonomi atau untuk menjaga kestabilan. Fungsi utama bank adalah menyalurkan modal bagi dunia usaha dan industri agar tercapai kemakmuran ekonomi. Namun, dalam perspektif Islam, penyaluran modal dalam bentuk pinjaman itu harus dilakukan tanpa bunga dan karena itu lebih bersifat risk taker, bukan risk averter. Dari situlah muncul konsep ekonomi Islam, khususnya sistem perbankan tanpa bunga yang diharapkan dapat mengganti peran sistem yang ada dan mengubahnya menjadi lebih efisien.
Sistem ini lebih mengandalkan keuntungan. Konsep dasar sistem ini berasal dari Arab, yaitu mudharabah, yang menjadikan pemilik modal dan pelaksana usaha berada dalam risiko yang sama dalam keuntungan atau kerugian. Keuntungan yang diperoleh adalah pengganti bunga. Namun, mungkin saja muncul pertanyaan, bagaimana bank mendapatkan modal untuk disalurkan jika bank tidak membayar bunga atas tabungan atau pemilik modal. Bank akan mendapatkan modal yang cukup untuk disalurkan karena, dalam pandangan ekonomi Islam, ada sistem segitiga yang masing-masing memberi keuntungan (tidak) kepada yang lain dalam kemitraan usaha mereka. Ketiganya adalah bank, pemberi dana, pemakai/peminjam. Dari situ jelaslah bahwa semua pihak berada dalam kedudukan yang sama mengenai risiko yang akan mereka hadapi.
Setelah itu, kita mungkin bersimpulan mengapa harus ada bank? Tanpa bank, berarti kita dapat meraih keuntungan lebih besar hanya dengan melibatkan pemilik modal dan peminjam disertai aturan yang dibuat bank sentral. Pemberi modal menjadi pelaksana modal yang tidak tertarik kecuali pada keuntungan. Namun, alasan utamanya adalah kebutuhan bagi pelayanan perbankan dengan mempelajari surat aplikasi peminjam dan dengan itu keluarlah kredit yang menawarkan investasi portofolio bagi pemilik modal dan menggerakkan perdagangan yang memang tidak dapat dihindari.
Ekonomi Islam, Pilihan Lain
Bisnis keuangan dalam ekonomi Islam memiliki orientasi pemerataan, yaitu pemberi modal turut menangguk keuntungan atau menanggung kerugian dari usaha yang dijalankan. Hal itu tidak hanya membagi hasil yang sama antara pemodal dan pelaksana usaha, tetapi juga turut mengurangi risiko secara efisien. Oleh karena itu, orientasi pemerataan dalam ekonomi Islam harus berupa kebersamaan dalam saham seperti pada perusahaan atau kebersamaan dalam usaha seperti dalam kemitraan atau dalam kebersamaan dalam jangka waktu tertentu seperti pada peminjaman modal. Oleh karena dasarnya adalah keuntungan dan kerugian ditanggung bersama, bukan bunga, peminjaman modal pun berupa kebersamaan permodalan dalam jangka waktu tertentu dan berakhir sesuai dengan yang disepakati. Permodalan seperti itu tidak memiliki makna yang sama seperti dalam ekonomi kapitalis yang tidak ikut menikmati aset usaha.
Hal itu mungkin terjadi pada peminjaman modal berbasis bunga yang membuat pemberi modal lebih hati-hati dalam menilai prospek usaha dan hati-hati pula dalam menyediakan modal. Selain itu, sulit menemukan pembiayaan jangka menengah dan panjang dalam ekonomi Islam tanpa pembagian kepemilikan dan pengawasan usaha. Pengembangan usaha pun akhirnya berkaitan pula dengan pembagian kepemilikan dan pengawasan. Tidak mungkin bagi siapa pun mendapat penghasilan dari tabungan tanpa bersedia menanggung risiko usaha. Dengan demikian, pengendalian risiko lebih terjaga dalam sistem ekonomi Islam.
Sistem ekonomi Islam adalah sistem yang selalu mendahulukan penyediaan lapangan kerja. Selain itu, Islam pun melarang keinginan mengonsumsi yang berlebihan. Dengan dua alasan itu, peminjaman modal untuk konsumsi bukanlah isu besar dalam sistem ekonomi Islam, tetapi jika ada satu keluarga atau seseorang ditemukan dalam keadaan membutuhkan sesuatu, ada konsep zakat di dalam Islam yang akan menyelesaikannya. Secara umum, zakat adalah potongan 2,5% dari aset tetap yang dibayarkan setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan orang yang memerlukan dan ia menjadi kewajiban agama bagi setiap muslim yang hartanya berlebih.
Keberatan atas ekonomi tanpa bunga adalah kesulitan yang akan dihadapi pemerintah untuk membiayai kekurangan anggaran yang biasanya ditutup melalui pinjaman ke sektor swasta. Anggaran pemerintah yang dikurangi adalah tujuan utama memupuk pertumbuhan dan meningkatkan standar hidup rakyat. Bagaimana mungkin anggaran pemerintah yang kurang dapat dibiayai kalau bunga dihilangkan?
Sayangnya, para ekonom muslim menyatakan seharusnya pemerintah lebih giat bekerja dalam menefisienkan pengeluaran mereka. Jika terjadi defisit, pemerintah seharusnya mengkaji ulang kebijakan fiskalnya atau meminjam dari bank sentral (BI). Namun, ada teori lain, Islam jarang berbicara tentang bahwa standar hidup rakyat adalah kewajiban negara. Islam lebih menekankan bahwa pengeluaran untuk meningkatkan standar hidup rakyat seharusnya diemban sektor swasta melalui pengelolaan zakat secara optimal.
Simpulan: Tantangan bagi Sistem Perbankan Islam
Perbankan Islam tentu menemukan banyak tantangan saat ini karena kini kita hidup di zaman ketika ekonomi dikendalikan dan dimanipulasi dalam sistem riba. Dalam ekonomi pasar, sektor perbankan didukung dan diatur bank sentral. Misalnya dalam potongan sukubunga pinjaman dari bank sentral ke bank komersial saat dibutuhkan. Selain itu, bank sentral mengatur bank komersial sehingga membantu upaya penyehatannya (ketika “sakit”).
Sayangnya, perbankan Islam belum mendapatkan keistimewaan seperti itu karena banyak negara yang bank sentralnya menggerakkan ekonomi pasar tidak memberikan dukungan kepada bank Islam karena menolak teori bunga yang tidak mungkin baginya bekerja sama atau melakukan transaksi dengan bank sentral. Tentu hal itu membuat bank Islam berada dalam keadaan serba salah. Tidak seorang pun yang mau menyimpan atau menginvestasikan uang di bank yang tidak mendapat dukungan dari bank sentral atau bergerak sendiri. Pada akhirnya, hal itu memicu kurangnya likuiditas yang menjadi bagian penting keberadaan suatu bank.
Tantangan lain adalah ketiadaan aturan likuiditas, seperti jaminan dan sekuritas lainnya, yang dapat dipakai untuk menutupi kekurangan atau kelebihan likuiditas. Hal itu terjadi karena perbankan Islam bergerak dalam standard operasional procedure (SOP) yang berbeda dari bank sentral atau bank lain sehingga menimbulkan keengganan bagi bank sentral untuk memberi dukungan dan pengawasan kepada bank Islam saat terjadi kesenjangan likuiditas.
Jadi, memang mendirikan bank Islam di tengah ekonomi pasar pasti menemui kegagalan. Ia hanya dapat bertahan, bahkan berkembang, hanya dalam sistem ekonomi yang menghapus riba.
Gagasan tentang bank Islam memang sangat menarik dan menjadi keharusan jika dilihat dari tiga kitab suci karena dapat memberikan hasil berupa kemakmuran yang tidak terbatas, tetapi tidak mungkin berkembang di bawah sistem sekarang. Sistem ekonomi secara keseluruhan harus diubah agar kerangka ekonomi Islam dapat dipasang.
Ada beberapa hal dalam pemikiran ekonomi Islam yang perlu dikoreksi. Pertama, teori yang menyatakan bahwa pemberi modal tidak terkena risiko apa pun. Pada kenyataannya, kita selalu berhubungan dengn risiko dalam bentuk pembiayaan apa pun. Kedua, cara melihat keuntungan dari sudut pandang Islam, khususnya murabahah. Selama ini yang berlaku, jika seseorang memerlukan modal, bank akan memakai dana yang ada untuk membiayai usahanya dengan margin keuntungan yang sudah ditentukan di awal. Bentuk transaksi itu sebetulnya tidak dibenarkan para ekonom muslim karena Allah SWT telah mengharamkan riba dan menghalalkan jual beli. Transaksi seperti itu aneh dan masuk dalam kategori risiko yang tidak ditanggung bersama secara adil karena pemberi modal telah lebih dulu menentukan margin keuntungan yang harus dibayar peminjam. Tentu itu bukan termasuk jual beli yang halal. Sayangnya, bank-bank Islam banyak yang mengambil keuntungan dengan pemahaman yang salah itu dan seolah sengaja membangun propaganda dengan mengiklankan bahwa cara itu adalah benar dan sesuai dengan syariah. Itu sama saja dengan menarik dana dari masyarakat yang tidak paham syariah. Bahkan, bank Islam di Kuwait mematok margin keuntungan yang lebih tinggi dibanding bunga bank dan membenarkan tindakan itu dengan pemahaman yang salah.
Selain itu, ada beberapa perkara yang belum selesai, biaya yang ditentukan di awal justru tidak berdampak pada pemberdayaan? Bagaimana pemerintah dapat meminjam uang untuk menutup defisit anggaran? Bagaimana pula kita mengatasi krisis global? Tidak mungkin krisis akan terjadi dalam sistem ekonomi Islam, tetapi kini kita berada dalam sistem lain yang sebetulnya tidak cocok bagi pertumbuhan sistem ekonomi Islam. Oleh karena itu, kita tidak mungkin menyelesaikan krisis global dengan sistem ekonomi Islam. Tidak ada solusi Islam bagi masalah yang ditimbulkan sistem lain, kecuali sistem yang ada diganti seluruhnya.[22]
Jihad Iqtishadi yang Bersinambungan
Barangkali masih banyak yang ragu dengan semua yang sudah ditulis tentang sistem ekonomi syariah: apa sebenarnya alasan paling dasar dari sistem ekonomi tanpa riba itu? Ketika sudah jelas terjadi ketidakseimbangan dan ketidakmerataan dalam distribusi kekayaan dari sistem konvensional, sebagian ada yang mengatakan bahwa kerugian yang diderita salah satu pihak adalah akibat dari pilihannya. Jika ia memang berani mengambil risiko besar, apa urusan syariah dengan pilihannya itu?
Ada satu penjelasan sederhana yang dapat menjawab pertanyaan itu. Di dalam syariah, kerja sama dua pihak yang sudah disepakati tidak berarti kesepakatan itu dalam membenarkan semua usaha yang dilakukan. Misalnya, ada seseorang ingin membeli pisau dari orang lain (penjual) dengan kesepakatan bahwa pembeli akan menggunakan pisau itu untuk membunuh, tentu kesepakatan itu tidak dapat dibenarkan secara syariah. Dalam hal itu, penjual memiliki tanggung jawab moral untuk mencegah terjadinya kesepakatan di antara mereka, misalnya, dengan tidak menjual pisau itu kepada pembeli. Bahkan kesepakatan yang terjadi meskipun untuk urusan yang dianggap sebagai hak/pilihan pribadi dalam budaya Barat, kesepakatan seperti itu tetap tidak dapat dibenarkan secara syariah. Intinya, alasan paling dasar pentingnya distribusi kekayaan dan kesejahteraan ekonomi dalam sistem ekonomi syariah memiliki jangkauan yang jauh lebih luas.
Alquran menegaskan bahwa kekayaan yang dimiliki seseorang pada hakikatnya adalah milik Allah SWT yang dititipkan kepadanya (dalam konteks, Allah SWT memberikan kehormatan amanah kepadanya) agar kekayaan itu tidak hanya ia nikmati sendiri. Ia bertanggung jawab untuk mendistribusikannya kepada orang-orang yang memang menjadi pihak yang ditentukan syariah berhak mendapatkan sebagian kekayaan yang ada padanya. Oleh karena itu, dalam setiap aspek kehidupan manusia selalu ada tanggung jawab yang melekat pada dirinya untuk menunjukkan bahwa ia telah menjalankan amanah Allah SWT dengan baik. Itulah alasan paling dasar (raison d’etre) di balik pelarangan sistem riba. Jadi, bukan sekadar menghapus bunga, melainkan menjadi penjaga bagi kemungkinan terjadinya kesepakatan ekonomi yang tidak sesuai dengan tujuan utama syariah, terutama diawali dengan tidak terdistribusikan dan tidak meratanya kekayaan di antara manusia.
Itu pula yang menjadi dasar bagi Rasulullah SAW melarang membeli barang sebelum sampai di pasar, membeli barang melalui perantara saat terjadi kelaparan, menukar hasil panen yang belum memasuki masa panen dengan yang sudah masuk masa panen, menukar buah yang masih di pohon dengan buah yang sudah dipanen, dan/atau menentukan jumlah hasil panen dari lahan yang disewakan yang semua itu dilakukan secara sepihak meskipun kemudian disepakati pihak kedua. Dalam hal itu, kesepakatan yang terjadi di antara kedua pihak tidak dapat menjadi alasan bagi pembenaran atas transaksi yang dilakukan untuk menguntungkan salah satu pihak.
Pada masa awal Islam, kerancuan seperti itu menjadi alasan bagi penentang riba,
“Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” (QS Al Baqarah [2]: 275).
Alquranul Karim menolak argumentasi mereka itu dengan jawaban,
“Sesungguhnya Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al Baqarah [2]: 275)
Jawaban Allah SWT itu memang bukan berupa pilihan prinsip lain atau tujuan dilarangnya riba, melainkan dengan larangan semata sehingga manusia sudah seharusnya menjalaninya tanpa harus memahami alasannya. Pelarangan itu menunjukkan otoritas Allah SWT dalam memotong semua akar yang menjadi alasan menolak sistem riba.
Pendeknya, untuk zaman sekarang, pelarangan sistem riba adalah jawaban paling bijak di untuk menghancurkan kejahatan riba dalam sistem ekonomi kapitalisme atau kejahatan sistem ekonomi tirani dan menolak pasar dalam sosialisme. Inilah jalan tengah yang dapat menyelamatkan dunia modern dari dua kutub ekstrem sistem ekonomi yang tidak adil seperti pengakuan orientalis Perancis, Louis Massignon,
Dalam pertentangan antara kapitalisme dan sosialisme, hanya ada satu budaya yang mampu menjanjikan masa depan yang selamat dan terang, yaitu budaya yang melarang riba dan mampu menjadikan manusia sebagai pengikutnya.
Aturan kehidupan berupa syariat mungkin masih sebuah pertanyaan besar bagi banyak orang. Masih banyak manusia yang tidak suka dengan syariat. Itu hak mereka karena mungkin syariat di benak mereka identik dengan tradisi kolot, usang, dan kejam. Intinya, sangat tidak metroseksual dan tidak kosmopolitan. Namun, cobalah melihat syariat lebih luas dari sekadar memotong tangan pencuri, merajam pezina, dan memancung kepala pembunuh. Cobalah lihat sisi syariat yang lebih lembut. Syariat yang lebih manusiawi dan menjaga hak masyarakat. Syariat sebagai local genius yang bersifat global, sebagai sarana mewujudkan keseimbangan alam yang menjadi tempat hidup kita bersama. Toh, penerapan syariat tidak mengharuskan semua manusia di muka bumi menjadi umat muslim. Menjadi muslim dalam menjalani syariat hanyalah jaminan bahwa ada ganjaran surga di akhirat nanti. Tidak meyakini adanya akhirat tidak harus menjadi penghalang dalam menjalani syariat bagi mereka yang memang menolak meyakininya karena syariat dalam pengertian yang luas, seperti yang dijelaskan dalam kitab-kitab ushul fiqh. Paling penting adalah menjalani nilai-nilai yang ada di dalamnya demi kepentingan semua umat manusia. Toh, pada kenyataannya semua sistem yang pernah dipakai manusia terbukti gagal dalam mengembalikan manusia pada tempatnya yang mulia.
Peradaban modern tidak mampu mengendalikan naluri manusia, menjinakkan semangat hewani yang bercokol di dalam tubuh manusia, dan memadamkan semangat mementingkan diri sendiri agar manusia yang satu mencintai manusia yang lain. Lebih dari itu, peradaban modern pun telah gagal memupuk pengertian kepada umat manusia mengenai eksistensi (keberadaan) Allah dan tidak berhasil menegakkan hubungan antara manusia dan Tuhannya secara sehat dan benar.[23]
Syariat pada dasarnya adalah aturan yang tidak khusus bagi kaum muslim karena meliputi semua aspek kehidupan manusia. Dalam hal-hal tertentu, memang pemberlakuannya khusus bagi mereka. Namun, dalam banyak hal lain yang diaturnya, syariat bersifat akomodatif sekali. Kaidah-kaidah yang ada dalam ushul fiqih menyebutkan, syariat berfungsi sebagai rahmat bagi seluruh alam seperti diutusnya Nabi Muhammad Saw. Ushul Fiqh menjabarkan ada lima hal dasar yang menjadi tujuan syariat: pemeliharaan (kebebasan) beragama, pemeliharaan jiwa, pemeliharaan akal, pemeliharaan keturunan, dan pemeliharaan harta. Semua pemeliharaan itu tidak khusus bagi kaum muslim, tetapi bagi semua manusia.[24] Jadi, jangan dimaknai jika syariat diberlakukan, berarti semua manusia harus menjadi muslim dan berlaku hukumnya atas mereka.
Setelah itu, kelima hal dasar tadi masih dibagi lagi dalam tingkatan, yaitu dharuriyat, hajiyyat, dan tahsinat/kamaliyyat, sehingga pelaksanaan syariat menjadi sangat luwes bergantung pada keadaan zaman dan tempat.
Tujuan dari semua itu adalah ingin membentuk masyarakat yang memiliki kesadaran akan kesucian jiwa, semangat menegakkan keadilan, dan memberikan maslahat bagi semua manusia, bahkan makhluk. Sederhananya, jika orang-orang di Taiwan dan Hong Kong (notabene bukan muslim) dengan senang hati menjalankan syariat dari sisi ekonomi karena melihat adanya manfaat yang besar dan tidak merusak, bukankah sebagai muslim kita lebih berhak, bahkan berkewajiban, untuk melakukannya? Bukankah hal itu lebih mendorong pada keberlangsungan lajunya “perahu umat manusia”, yaitu keseimbangan alam, mulai dari sisi ekonomi. Ketika semua itu berjalan seperti yang diinginkan syariat, mereka akan melihat keindahan syariah. Insya Allah.
“Ketika mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Tatkala Allah Allah SWT menyelamatkan mereka sampai di daratan, sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.” (QS Luqman [31]: 32)
[1] Perjanjian pembiayaan/penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai dengan syariah dengan pembagian hasil usaha di antara kedua belah pihak berdasarkan pada nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
[2] Perjanjian pembiayaan/penanaman dana dari dua dan/atau lebih pemilik dana/barang untuk menjalankan usaha tertentu sesuai dengan syariah dengan pembagian hasil usaha di antara mereka berdasarkan pada nisbah yang disepakati, sedangkan tanggungan kerugian berdasarkan proporsi modal masing-masing.
[3] Robert Wade, The London School of Economics, The Economist, 2001.
[4] Kevin Watkins, International Herald Tribune, 2001.
[5] Merril Lynch-Cap Gemini, 2001.
[6] The United Nations Human Development Report, 1999.
[7] Idem, 1999.
[8] Robert Kaplan, The Atlantic Monthly, 1997.
[9] Institute for Policy Studies, Top 200: The Rise of Corporate Global Power, 2000.
[10] Idem.
[11] RAFI (Rural Advancement Foundation International), The ETC Century, 2001.
[12] Shukor Rahman. Straits of Malaysia Times, 2001.
[13] Idem.
[14] United Nations Food and Agriculture Organization, 1994.
[15] Idem, 1998.
[16] Institute for Food and Development Policy, Backgrounder, Spring 1998.
[17] Shukor Rahman. New Straits of Malaysia Times, 2001.
[18] US Departement of Agriculture, Food Insecurity Report, 1999.
[19] Idem.
[20] Shukor Rahman. World Food Program, New Staits of Malaysia Times, 2001.
[21] Carlos Andres Perez, Mantan Presiden Venezuela. The Ecologist Report, Globalizing Poverty, 2000.
[23] Syaikh Muhammad al Ghazali, ulama besar Mesir.
[24] Adanya hukum memotong tangan pencuri, merajam pezina, atau memancung kepala pembunuh sebenarnya adalah tindakan koersif untuk memelihara semua manusia. Namun, selain itu, syariat Islam sebenarnya lebih menekankan tindakan preventif atau pemaafan dari pihak korban jika tindakan kriminal terlanjur terjadi.