Sejak dikonsepkan oleh Nabi saw 1400 tahun yang lalu, ekonomi Islam terus mengalami perkembangan yang dinamis baik sebagai mazhab ekonomi (Baqir Shadr) maupun ilmu ekonomi (Monzer Kahf), mengiringi realitas sosial dan politik yang mempengaruhinya. Pasca runtuhnya kekhalifahan Islam 1924, komunitas dan entitas ekonomi Islam turut mengalami degradasi juga revivalisasi. Jika sebelumnya istilah ekonomi Islam tak pernah dikenal karena sudah inheren dalam setiap aktivitas ekonomi masyarakat muslim, maka ketika Barat mengambil estafet kepemimpinan politik dan ekonomi, istilahisasi menjadi sesuatu yang tak dapat dihindarkan sebagai salah satu simbolisasi sebuah perlawanan yang tak pernah berhenti.
Di era ekonomi kontemporer, dimana sektor perbankan menjadi sesuatu yang tak terhindarkan (taken for granted), ekonomi Islam pun harus bermain pada arena yang sama, yang pada dasarnya tidak menjadi masalah ketika aturan main (rule of the game) masih bersandarkan kepada keadilan tanpa kedzaliman (2:276), keridhaan tanpa pemaksaan (4:29), amanat tanpa khianat (4:58).
Oleh karena itu, pemaparan empat aksi dan reaksi--penulis menyebutnya arus-- terhadap euphoria Islamisasi ekonomi baik dalam ranah teori maupun aplikatif menggunakan pendekatan penilaian terhadap perbankan syariah yang menjadi trigger dalam kebangkitan ekonomi langit yang sedang dibumikan.
Arus Kiri-Destruksif
Perang wacana atas eksistensi ekonomi Islam menurut arus ini bergerak pada “ada dan tidaknya”, dengan melakukan studi kritis pada interpretasi kemapanan ekonomi Islam itu sebagai konsep yang sempurna dan aplikatif. Pengusung arus ini mengatakan bahwa Islam hanya membawa “semangat moral” dalam kehidupan ekonomi. Dalam perbankan, golongan ini menolak pengharaman riba sebagai pertimbangan hukum, tetapi hanya sebagai pertimbangan moral dan kemanusiaan saja (Abdulah Saeed, 1996) juga menolak penafsiran bahwa bunga adalah riba. Membuat asumsi bahwa profit and loss sharing--sebagai karakteristik utama bank syariah--merupakan gagasan yang utopis atau mustahil diterapkan secara sempurna. Kemudian, mengkritik kedudukan Dewan Syariah sebagai ladang justifikasi kebenaran transaksi atau akad-akad yang sebenarnya masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Sehingga keberadaan bank Islam patut dipertanyakan keotentikannya. Mereka beranggapan bahwa mekanisme perbankan yang ada sudah sangat ideal untuk masyarakat modern. Kelompok ini diwakili oleh kaum modernis Islam yang menolak formalisasi syariah dalam segala bidang. Mereka umumnya mengenyam pendidikan di Barat dan melakukan penafsiran-penafsiran berdasarkan paradigma Barat (west-worldview). Tak pelak lagi, yang mereka lakukan merupakan tindakan kontra-produktif bagi bangunan ekonomi Islam itu sendiri. Alih-alih ingin menyelaraskan ajaran Islam dengan dinamika perubahan, yang paling mungkin terjadi adalah hilangnya ruh Islam sebagai basis pergerakannya. Melihat ada pengaruh orientalis dalam arus ini telah cukup memproyeksikan motif dan agenda yang melatarbelakanginya.
Arus Kiri-Kritis
Berbeda dengan yang pertama. Arus ini justeru amat ketat dalam menjaga “karakteristik asli” agama Islam. Mereka menolak seluruh sistem perbankan yang tidak mungkin terbebaskan dari jerat riba. Bank syariah telah memasuki lingkaran kapitalisme internasional yang sangat bernafsu menarik dana-dana segar dari kantong umat Islam. Perbankan Islam dinilai sebagai sesuatu yang gamang. Pencetakan dan pemakaian uang kertas dalam bentuk monopoli yang berlaku disemua negara, sturuktur yang membentuk kepemilikan sebuah bank, dan fluktuasi harga yang berdampak pada kontrak, menjadi faktor penyebab riba (Umar Vadillo, 1991). Intinya, jika tidak ada pemerintahan Islam yang otentik dan lingkungan moneter murni syariah yang melatarbelakanginya, maka sulit membangun sistem non ribawi. Tidak jalan lain dalam membentuk sebuah “pasar berkeadilan” kecuali dengan mengasingkan diri dari sistem moneter dan keuangan modern.
Arus Kanan-Konstruktif
Merupakan arus utama (mainstream) yang menganut pandangan bahwa ekonomi Islam merupakan sunatullah bagi masyarakat Islam. Ekonomi Islam adalah derivatif syariat Islam sehingga keberadaannya secara konsepsional dan praktikal harus ada sebagai perwujudan doktrin keadilan bagi seluruh mahluk (rahmatan lil alamin). Dilatar belakangi oleh gerakan pembaharu (semisal Ikhwanul Muslimin dan Jama’at al-Islami) yang muncul di paruh pertama abad dua puluh dengan agenda menanamkan kembali al-Quran dan as-Sunnah sebagai landasan ideologi pergerakan dan juga sebagai reaksi kosongnya kepemimpinan Islam secara global. Selain itu, Dewesternization of knowledge seperti yang digagas oleh al-Attas mutlak dicanangkan pada seluruh bidang, termasuk ekonomi.
Perbankan syariah berbasis aqidah dimunculkan sebagai rival perbankan ribawi berbasis materialisme. Jika dianalogikan dengan teori benturan Islam-Barat, maka strategi pengembangan ekonomi Islam melalui perbankan oleh arus ini lebih mengutamakan “dialog” dibandingkan ”konfrontasi”. Melalui pembuktian-pembuktian empiris, konsep tanpa bunga menjadi begitu rasional, bahkan dalam pandangan sebagian ekonom Barat. Terutama saat melihat “keberhasilan semu” interest-economic system yang kerap melahirkan krisis. Maka wajar, selain marak di Timur Tengah, perbankan syariah pun “tidak terlalu sepi” di dunia Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, kaidah al-ashlu fi muamalah al-ibahah dan aspek rasionalitas mempengaruhi kelonggaran kebijakan yang dikeluarkan. Arus ini dianggap mampu memberikan nilai dan konsep Islam pada perbankan dan ekonomi secara umum. Sehingga keberkahannya dapat dirasakan masyarakat luas.
Arus Kanan-Kritis
Secara umum, arus ini memiliki kesamaan pandangan dengan arus utama bahwa Islam adalah petunjuk yang sempurna dan pasti melingkupi aspek ekonomi. Dalam perbankan, mereka tidak menolak bank syariah sebagai institusi Islam. Tetapi arus ini memiliki kekhawatiran terhadap pergesaran makna ekonomi Islam sebagai perbankan syariah. Kritik membangun terus digulirkan dalam proses transisi dari sistem kapitalis. Para praktisi dituntut meletakan mindset bahwa proses ini merupakan bentuk Islamisasi perbankan, bukan duplikasi perbankan konvensional sehingga Islamic Banking is not variant of capitalism, but its alternatif (Ugi Suharto, 2005). Dalam menjawab tantangan tersebut, mereka berpendapat bahwa Ekonomi Islam harus berdasar pada Epistemologi Islam, sehingga nilai dan pandangan hidup terintegrasi dengan sifat praktisnya. Sebagai contoh, seorang muslim yang sadar tingkah laku ekonominya dicatat oleh malaikat tentu memiliki economic behaivour yang berbeda dengan orang yang tidak percaya bahwa malaikat mencatatnya (ibid). Konsep ini mengindikasikan bahwa manusia ekonomi (Economic Man) yang memimipin dunia ekonomi global harus memiliki aqidah Islamiyah. Dalam dunia perbankan misalnya, keberhasilan perbankan syariah kerap diukur melalui komparasi total asset nya dengan konvensional, padahal penilaian efektivitas dalam mengentaskan kemiskinan melalui pemberdayaan sektor riil dan penghidupkan nilai-nilai spiritualitas seharusnya menjadi perhatian utama. Arus kritis ini concern memberikan pertimbangan-pertimbangan yang selayakmya diakomodasi dalam penentuan kebijakan-kebijakan kedepan agar ekonomi Islam terjebak dalam “lubang kapitalisme” yang bertebaran diberbagai tempat.
Saat ini, perbankan syariah dituntut memperjelas posisi dirinya dalam struktur ekonomi Islam, menunjukan kualitasnya sebagai pembangkit ekonomi umat, dan memperlihatkan peran sertanya dalam krisis dunia Islam global. Sebagai ilustrasi, krisis kemanusiaan dan ekonomi di Palestina tidak perlu terjadi jika ada –satu saja- bank Islam yang berskala Internasional dan independen mampu menjadi solusi atas embargo keuangan dan yang terjadi atau menarik satu dollar dari setiap saldo nasabahnya untuk disalurkan ke negeri para nabi tersebut.
Kemudian dalam pengembangan ekonomi Islam secara umum, sudah saatnya menjawab kritik-kritik yang muncul akibat identifikasinya dengan perbankan syariah. Menggarap ladang-ladang ekonomi yang lain menjadi sebuah keniscayaan agar “ekonomi Islam” tumbuh menjadi ekonomi Islam. Wallahu a’lam bishawab.
(Artikel dalam buku Ekonomi Islam Substantif, penulis Muhamad Jarkasih)