Selama ini kerap timbul kesan bagi sebagian umat Islam bahwa bulan Ramadhan adalah bulan istirahat dan bulan berleha-leha menunggu kumandang adzan maghrib. Pemahaman seperti ini timbul dari salah baca terhadap makna Ramadhan yang sebenarnya. Secara etimologi, Ramadhan berasal dari akar kata "ramadl" yang berarti "membakar”. Artinya, Ramadhan adalah momentum umat Islam untuk membakar dosa lebih intensif dibandingkan bulan lain, sehingga usaha dan semangat beribadah pun mesti lebih masif dilakukan. Konon, para sahabat mempersiapkan penyambutan Ramadhan selama enam bulan. Enam bulan setelahnya, mereka khusyuk meminta kepada Allah swt. agar ibadah shaum-nya diterima.
Dalam lembaran sejarah generasi terdahulu, jihad sebagai jalan meraih kejayaan Islam kerap digelorakan justru pada bulan Ramadhan. Penaklukan, kemenangan dan kejayaan Islam seringkali dijumput dan diraih pada bulan ini.
Kalender 18 Ramadhan tahun ke-8 Hijrah, Rasulullah saw bersama 12000 kaum Muslimin bertolak dari Madinah menuju Makkah dalam peristiwa Fathu Makkah (penaklukan Makkah). Pembukaan kota Makkah ini menandai sebuah era baru di dalam Islam setelah sebelumnya kaum Muslimin selalu tertindas bahkan dikepung oleh pasukan Ahzab (sekutu) selama berminggu-minggu di Madinah. Era baru ini dibangkitkan oleh Rasulullah melalui Perang Ahzab dengan sabdanya; "Setelah tahun ini, kaum Quraisy tidak akan berani mendatangi kalian, kekuatan mereka telah musnah, dan mereka tidak akan memerangi kita sesudah hari ini. Sekarang giliran kita yang akan memerangi mereka, Insya Allah."
Pada 28 Ramadhan tahun ke-92 Hijrah (19 Juli 711 Masehi), kaum Muslimin di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad membuka Andalusia (Spanyol) yang dikenal dengan sebutan Futuh Andalusia. Thariq bin Ziyad menyeberangi selat antara Afrika dan Eropa atas perintah Musa bin Nushair; penguasa Islam kala itu. Ketika pasukan Islam sampai di seberang, beliau memerintahkan agar kapal-kapal perang Islam dibakar. Kemudian ia berpidato di hadapan pasukannya: ”Musuh di depan kalian. Apabila kalian mundur, lautan ada di belakang kalian." Ucapan ini melahirkan kekuatan dahsyat. Berturut-turut kota demi kota jatuh ke tangan kaum Muslimin. Akhirnya pada bulan Ramadhan, Andalusia jatuh ke tangan kaum Muslimin. Sejarah mencatat, di kemudian hari Andalusia menjadi pusat ilmu pengetahuan dan mercu peradaban manusia di zamannya.
Perang Badar sebagai perang terbesar dan kemenangan terbesar yang diraih umat Islam di awal perkembangannya di Madinah juga terjadi pada bulan Ramadhan, tepatnya tangal 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijrah. Begitu juga dengan keberhasilan Raja Bebes dan tentaranya mengusir tentara Salib secara total terjadi pada Ramadhan tahun 675 H. Keberhasilan umat Islam menghancurkan tentara Tartar di perang "’Ain Jalut" juga terjadi pada 15 Ramadhan 658 H. Masih banyak lagi peristiwa penting pada bulan ini yang melengkapi antitesis pemahaman sebagian umat Islam selama ini.
Apa yang ingin disampaikan dari peristiwa di atas? Dalam konteks historis, bulan Ramadhan merupakan momentum penting dan monumental dalam kebangkitan dan kejayaan Islam. Telah banyak perubahan besar dalam sejarah dakwah Islam yang terjadi pada bulan ini. Ramadhan juga telah mengantarkan Islam tersebar ke semenanjung Afrika dan Eropa. Sementara dalam konteks ibadah, Ramadhan adalah bulan semangat dan motivasi untuk memperbaiki diri dengan sederet ketaatan. Dus, saatnya generasi berikutnya menapaktilasi dan mengukir kembali kemenangan-kemenangan itu, merebut kembali perabadan Islam yang terampas.
Dalam perspektif kekinian, perang dengan fisik bukan hal yang ideal. Mengambil alih peradaban tidak lagi tepat dilakukan dengan todongan mesiu dan pedang. Peradaban saat ini dihegemoni oleh meraka yang menguasai ekonomi. Maka, meraih peradaban mesti dilakukan dengan memperkuat aspek ekonomi itu. Kebangkitan Islam hanya akan terejawantah dalam wujudnya yang ideal ketika ekonomi Islam dapat membumi dan menjadi landasan aktifitas perekonomian umatnya.
Di sinilah, bulan Ramadhan menjadi momentum lahirnya semangat dan kesadaran umat Islam untuk melakukan aktifitas ekonomi sesuai ajaran agamanya: menanggalkan riba (bunga), menjauhi gharar, maysir, tadlis, ihtikar dan lain sebagainya. Sebab, implikasi puasa sejatinya tidak saja berdimensi ibadah spiritual an-sich, tetapi juga mengajarkan akhlak horizontal (mu’amalah), khususnya dalam bidang bisnis. Aneh bila ada orang berpuasa dengan khusyuk, tetapi melanggar ajaran-ajaran Allah dalam mu’amalah, seperti masih mempraktekkan riba yang diharamkan.
Transaksi ribawi pada dasarnya timbul dari keserakahan hawa nafsu untuk mendapatkan keuntungan semu. Padahal nafsu adalah musuh terbesar umat Islam. Maka genderang perang terhadap riba untuk membunuh hawa nafsu harus ditabuh dari sekarang. Ketika Rasulullah kembali dari salah satu peperangannya, beliau bersabda: "Kalian telah tampil ke depan dengan cara terbaik. Untuk itu, kalian telah kembali dari jihad yang lebih kecil kepada jihad yang lebih besar." Mereka berkata: "Apakah jihad yang lebih besar itu?" Beliau menjawab: "Perjuangan hamba-hamba Allah atas hawa nafsu mereka."
Setelah kesadaran itu muncul, implementasi aktifitas ekonomi syariah ini diharapkan dapat memperkuat sendi perekonomian umat yang puncaknya akan melahirkan social distributive justice (keadilan distribusi sosial). Harta tidak hanya berputar pada segelintir orang. Konsep zakat, infak, shadaqah dan wakaf akan berjalan optimal. Secara kuantitatif, ukuran keberhasilan kondisi ini dapat direpresentasikan dalam langkah nyata pada tingkat kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan standar lain yang lazim digunakan. Sementara secara aplikatif-empirik bisa dilihat dengan kemampuan menghadapi krisis panjang (benchmark kasus Nabi Yusuf) dan upaya mengentaskan kemiskinan sehingga tidak ditemukan lagi mustahiq zakat seperti pada masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, dan wujudnya kecintaan masyarakat luas kepada ilmu pengetahuan yang tinggi seperti tercermin dalam pemerintahan Harun al-Rasyid. Wallahu A’lam bis-shawab
(Artikel dalam Ekonomi Islam Substantif, penulis Mahbubi Ali)