Ada sebuah pernyataan tendensius yang disampaikan oleh seorang pengamat intelijen yang mencoba mengait-ngaitkan pengumpulan dana zakat, infak, dan sedekah dengan aktivitas pendanaan kegiatan terorisme (Republika, 9 Juli 2008). Itu sangat menyinggung perasaan umat Islam dan bangsa Indonesia secara keseluruhan, apalagi pernyataan tersebut lebih didasarkan pada prasangka pribadi, tanpa mampu membuktikan dengan data dan fakta yang sebenarnya.
Yang bersangkutan pun kemudian mengaku khilaf dan meminta maaf secara terbuka kepada umat Islam. Sebagai Muslim, tentu kita harus memberi maaf karena itu sikap yang terpuji dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Jika melihat kenyataan yang ada, pada sebagian kecil masyarakat terlihat adanya upaya untuk melihat perkembangan ekonomi syariah yang luar biasa ini dalam perspektif ideologis semata. Belum lepas dari ingatan kita bagaimana sebuah fraksi dengan alasan ideologis yang mengada-ada menolak menyetujui dan mengesahkan undang-undang tentang surat berharga syariah negara dan perbankan syariah.
Sebuah pernyataan yang berangkat dari persepsi yang sempit dan penuh dengan praduga yang tidak benar. Padahal, di negara-negara yang notabene bukan negara Islam, seperti Inggris dan Singapura, ekonomi dan keuangan syariah telah menjadi garapan baru yang menguntungkan. Pemerintah mereka menunjukkan keseriusan sangat luar biasa.
Inilah barangkali yang menjadi salah satu permasalahan mendasar pada sebagian komponen bangsa ini, yaitu terlalu sering memandang sebuah persoalan dari sudut pandang yang sempit. Padahal, ekonomi syariah merupakan instrumen yang memiliki potensi besar yang jika dikelola dengan baik akan menghasilkan manfaat yang sangat besar bagi kesejahteraan bangsa. Mengubah cara pandang masyarakat terhadap ekonomi syariah dari pandangan ideologis semata menjadi pandangan yang lebih luas spektrumnya merupakan pekerjaan rumah seluruh pemangku kepentingan ekonomi syariah yang harus mendapat perhatian yang serius.
Meningkatkan sosialisasi
Munculnya pernyataan semacam itu menurut hemat penulis memberikan beberapa pelajaran penting karena boleh jadi pernyataan senada akan muncul di lain waktu. Pelajaran yang paling utama yang bisa kita petik adalah sosialisasi zakat, infak, dan sedekah (ZIS) harus terus dilakukan.
Masyarakat harus diberikan proses penyadaran secara berkelanjutan melalui proses sosialisasi yang bersifat komprehensif, antara lain mencakup sosialisasi makna dan hakikat zakat, aturan kelembagaan termasuk masalah audit dan pengawasan, dan sosialisasi ogram.Terkait dengan makna dan hakikat zakat harus disadari bahwa pemahaman sebagian masyarakat tentang zakat masih kurang tepat. Bahkan, di beberapa daerah masih banyak orang mengasosiasikan zakat hanya dengan zakat fitrah sehingga mereka tergerak mengumpulkan zakat hanya pada bulan Ramadhan hingga menjelang Shalat Idul Fitri.
Mereka masih belum menyadari pada setiap jenis pekerjaan dan aktivitas ekonomi yang menghasilkan harta dan pendapatan jika melebihi nishab maka wajib dikeluarkan zakatnya. Kemudian, masih ada sebagian ulama yang berpendapat zakat profesi adalah bid'ah sehingga tidak perlu dikembangkan karena dianggap bertentangan dengan syariat Islam. Padahal, potensi zakat profesi ini sungguh luar biasa. Belum satu frekuensinya pemahaman masyarakat merupakan salah satu tantangan utama pembangunan zakat ke depan.
Hal lain yang perlu disosialisasikan adalah mengenai konsep zakat dalam perspektif makro. Salah satu konsep yang berkembang saat ini, terutama di Barat, adalah konsep sharing economy, yaitu menjadikan semangat berbagi sebagai landasan memperkuat sebuah perekonomian. Yochai Benkler, seorang profesor sekolah hukum Universitas Yale AS, menyatakan konsep berbagi merupakan sebuah modalitas yang sangat penting untuk memacu dan meningkatkan produksi dalam ekonomi. Ia bahkan menyatakan perusahaan yang mengembangkan konsep berbagi dalam interaksi antarkomponen di dalamnya akan menjadi lebih efisien dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mau menerapkannya. Sebagai contoh, motivasi karyawan perusahaan yang mendapat bonus akan jauh lebih baik bila dibandingkan dengan karyawan yang tidak pernah mendapatkannya.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Asad Zaman, seorang profesor ekonomi syariah pada International Islamic University Pakistan, yang mengatakan pentingnya semangat berbagi dan memberi sebagai inti yang akan menggerakkan perekonomian sebuah bangsa. Dalam bahasa yang lebih gamblang, Swiercz dan Patricia Smith dari Universitas Georgia AS, menegaskan solusi terbaik menghadapi berbagai permasalahan tradisional resesi ekonomi, sebagaimana yang saat ini mengancam AS, adalah diperlukannya semangat dan mekanisme berbagi antarkomponen dalam sebuah perekonomian.
Semangat berbagi inilah yang akan dapat mempertahankan level kemakmuran sebuah perekonomian. Mereka menyimpulkan ada korelasi yang sangat kuat antara memberi dan berbagi dengan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan.Kajian tersebut memberikan gambaran bahwa zakat bukanlah semata-mata mengeluarkan sebagian harta, tetapi telah menjadi sebuah sistem dan mekanisme berbagi yang tepat dan efektif. Melalui berbagi, kesejahteraan dan keberkahan hidup akan diraih. Berangkat dari pemahaman inilah, ustadz Yusuf Mansur, seorang dai muda, ketika menjadi pembicara pada pengajian akbar masyarakat Indonesia di Kuala Lumpur beberapa waktu lalu mengungkap sebuah konsep yang sangat luar biasa, yaitu matematika sedekah.
Terinspirasi dari sejumlah ayat Alquran, seperti QS 6: 160 dan juga berdasarkan pengalaman pribadinya, beliau menyatakan jika seseorang memiliki uang Rp 1 juta dan kemudian menyedekahkan Rp 500 ribu di jalan Allah, hartanya tidak akan berkurang menjadi Rp 500 ribu, melainkan akan bertambah menjadi Rp 5,5 juta. Menurut beliau, harta yang diinfakkan berdasarkan ayat tersebut, akan dibalas 10 kali lipat oleh Allah sehingga akan menjadi Rp 5 juta. Sebuah logika matematika sedekah yang sangat sederhana, tetapi mengandung makna yang dalam karena untuk memahami dan meyakininya diperlukan keimanan dan keyakinan yang kuat kepada Allah SWT.
Kelembagaan dan program
Yang perlu terus disosialisasikan adalah aturan kelembagaan dan program pendayagunaan zakat. Dalam UU No 38/1999 dijelaskan bahwa di antara bentuk pertanggungjawaban kinerja sebuah badan atau lembaga amil zakat adalah kewajiban diaudit oleh akuntan publik. Ini untuk menunjukkan bahwa lembaga pengelola zakat tidak boleh main-main dalam mengelola zakat.
Bahkan, ada ancaman hukuman bagi lembaga pengelola zakat yang tidak amanah, yaitu kurungan penjara maksimal tiga bulan dan atau denda maksimal Rp 30 juta. Kemudian, sosialisasi program, terutama pendayagunaan zakat. Dapat dikatakan pendayagunaan ujung tombak dan inti utama pengelolaan zakat. Bagaimana zakat dapat disalurkan dan didistribusikan melalui berbagai program yang bermanfaat bagi para mustahik, terutama fakir miskin. Program-program tersebut ada yang bersifat konsumtif dan ada yang bersifat produktif, bergantung pada situasi dan kondisi mustahik.
Yang juga tidak kalah penting perlunya diciptakan parameter keberhasilan program. Indikator-indikator, seperti seberapa besar zakat mampu mengurangi jumlah orang miskin, mengurangi tingkat kedalaman kemiskinan, dan tingkat keparahan kemiskinan, perlu dibuat dan dikembangkan. Dengan begitu, lembaga pengelola zakat dan juga masyarakat, akan memiliki panduan dan alat evaluasi yang jelas.
Melalui sosialisasi program ini masyarakat terutama calon muzakki, diharapkan semakin tertarik menyalurkan zakatnya kepada BAZ dan LAZ yang ada. Masyarakat pun dapat mengawasi kinerja dan performa lembaga zakat, apakah mereka amanah dan profesional atau tidak. Dengan proses yang berjalan seperti itu, insya Allah penulis yakin bahwa kecurigaan dan kekhawatiran ada aliran dana zakat untuk kegiatan terorisme dapat dihilangkan.
Irfan Syauqi Beik, Dosen FEM IPB dan Ketua Umum PPI Malaysia 2008/2009