Ketika ketidakpastian dan kekhawatiran terus menghantui pelaku pasar keuangan global, asset sektor keuangan berbasis syariah (Islamic finance) justru berkembang secara eksponensial. Jika pada akhir decade 1980-an masih berkisar USD 5 Milliar, di akhir 2011 nilainya sudah melampaui USD 1.3 triliun (Reuters, 2012). Tak hanya karena faktor demografi dan semakin banyaknya resources negara-negara Muslim, berbagai fitur kunci keuangan syariah menjadi dasar “kinclong”-nya performa keuangan syariah yang menjadikannya semakin populer dewasa ini.
Walaupun tidak serta merta bebas krisis, skema syariah secara intrinsik dapat menghindari berbagai macam dampak negatif yang parah dari krisis keuangan global seperti terjadi semenjak 2008. Krisis keuangan global memang berdampak buruk terhadap sejumlah lembaga keuangan syariah. Hal ini adalah alamiah karena terjadinya kontraksi disektor riil sehingga beberapa emiten (termasuk obligasi syariah) mengalami gagal bayar (default).
Namun skema pembagian risiko (risk sharing) sebagai penciri instrumen keuangan syariah menjadikannya lebih tahan terhadap efek pertama (first-round contagion) krisis keuangan global. Beberapa ekonom terkemuka, seperti Kenneth Rogoff dari Harvard University, bahkan menyatakan bahwa keuangan syariah memiliki beberapa keuntungan terutama karena adanya equity and risk sharing yang lebih tegas dibanding sistem keuangan konvensional yang hanya berbasis instrumen utang-piutang.
Lalu apakah fitur khas yang bisa menjadikan embaga keuangan syariah relatif stabil terhadap guncangan krisis? Salah satunya adalah bahwa keuangan syariah mengharuskan adanya asset-backed yang memastikan adanya koneksi langsung antara transaksi keuangan dan ekonomi riil. Demikian halnya koneksi antara lembaga pengumpul simpanan dan lembaga investasi juga mesti terkait erat dimana return terkait dengan sektor riil, bukan sektor keuangan.
Di samping fleksibilitas dalam menghadapi berbagai situasi yang buruk, konsekuensi lainnya adalah bahwa asset riil dan liabilitas akan selalu sama. Hal ini menyangkut penciri lain dimana excessive leverage dalam berbagai sekuritisasi yang kompleks tidak diperbolehkan dalam keuangan syariah.
Di samping itu, keuangan syariah juga bisa menjamin mekanisme yang lebih adil dimana pemberi pinjaman dan peminjam mesti berbagi risiko maupun dalam insentif (reward) yang membuat keduanya akan lebih fokus pada tujuan jangka panjang dan membatasi pengambilan risiko yang berlebihan dalam jangka pendek (excessive short term risk-taking).
Singkatnya, lembaga keuangan syariah memperlakukan nasabah mereka seperti mitra bisnis. Oleh karena itu, akan selalu ada insentif yang kuat tak hanya dalam mengevaluasi permintaan pembiayaan tapi juga membantu peminjam ketika menghadapi situasi yang tidak diinginkan. Implikasinya tentu saja akan mengurangi “jual obral” asset ketika situasi buruk yang menyebabkan financial contagion.
Saat ini¸ keuangan syariah sudah memiliki coverage lebih dari 70 negara dengan pangsa asset sekitar 0,5% dari aset keuangan global. Walaupun masih kecil, prospek untuk bertumbuh secara cepat masih terbuka lebar. Deutsche Bank (2011) dalam laporan terbarunya memproyeksikan asset perbankan syariah akan tumbuh sekira 24% selama tiga tahun mendatang. Dalam laporan tersebut, disebutkan beberapa faktor pendorongnya sebagai berikut.
Pertama, skema keuangan syariah menawarkan alternatif instrumen yang cukup menarik bagi penabung dan investor konvensional. Kedua, semakin membaiknya kualitas layanan keuangan syariah, dan layanan ini tidak terbatas pada klien tertentu. Ketiga, semakin banyaknya lembaga keuangan konvensional yang berskala multinasional (termasuk di pusat keuangan dunia seperti London¸Swiss,Luxembourg dan sebagainya) yang menawarkan produk keuangan syariah. Keempat, banyaknya surplus keuangan akibat commodity boom di beberapa negara Muslim yang perlu dialokasikan melalui lembaga keuangan (syariah) di samping dalam sovereign wealth fund (SWF). Terakhir, agar dapat secara mudah membuka layanan keuangan di negara mayoritas Muslim, (cabang) institusi keuangan internasional mau tidak mau harus mengaplikasikan instrument keuangan yang mesti mengikuti hukum syariah.
Akan tetapi, beberapa tantangan mengemuka perkembangan keuangan syariah. Salah satu yang utama adalah sistem pengawasan (supervisi) yang mesti diperkuat, terkait peningkatan mekanisme screening dan monitoring (sebelum dan setelah) pembiayaan. Permasalahan lainnya masih dikenakannya pajak bagi penerima utang (pinjaman) di banyak negara, termasuk dalam skema equity and profit loss sharing.
Selain itu, produk-produk perbankan syariah seperti sewa (leasing), microfinance, bahkan kredit kepemilikan rumah/apartemen, masih belum berkembang dalam keuangan syariah. Demikian pula prosedur dalam kepailitan (insolvency dan bankruptcy) mesti ditingkatkan. Di samping itu, lembaga keuangan syariah juga mesti lebih concern terhadap liquidity-risk management yang sejalan dengan global regulatory standard (Basel III), penerapan standar akuntansi, dan good corporate governance (GCG).
Sementara berbagai laporan keuangan di atas lebih menekankan pada aspek size dan pertumbuhan nominalnya, pada akhirnya kualitas layanan, inovasi keuangan, dan praktik manajemen risiko yang baik yang akan menentukan keberhasilan lembaga keuangan syariah sehingga bisa diterima oleh masyarakat umum. Yang tak kalah penting juga kesesuaian dengan prinsip dan tujuan (maqashid) syariah juga mesti tetap dipegang teguh.
Dengan terus menerus melakukan evaluasi diri untuk mengatasi berbagai kekurangan yang ada, keuangan syariah diharapkan dapat terus berkembang dalam menyediakan layanan perbankan dan investasi, berkontribusi dalam menjaga stabilitas keuangan, sehingga dapat berperan dalam pembangunan tak hanya (eksklusif) bagi masyarakat Muslim, tapi juga inklusif bisa diterima siapapun. Bukankah itu yang diharapkan?
Walaupun tidak serta merta bebas krisis, skema syariah secara intrinsik dapat menghindari berbagai macam dampak negatif yang parah dari krisis keuangan global seperti terjadi semenjak 2008. Krisis keuangan global memang berdampak buruk terhadap sejumlah lembaga keuangan syariah. Hal ini adalah alamiah karena terjadinya kontraksi disektor riil sehingga beberapa emiten (termasuk obligasi syariah) mengalami gagal bayar (default).
Namun skema pembagian risiko (risk sharing) sebagai penciri instrumen keuangan syariah menjadikannya lebih tahan terhadap efek pertama (first-round contagion) krisis keuangan global. Beberapa ekonom terkemuka, seperti Kenneth Rogoff dari Harvard University, bahkan menyatakan bahwa keuangan syariah memiliki beberapa keuntungan terutama karena adanya equity and risk sharing yang lebih tegas dibanding sistem keuangan konvensional yang hanya berbasis instrumen utang-piutang.
Lalu apakah fitur khas yang bisa menjadikan embaga keuangan syariah relatif stabil terhadap guncangan krisis? Salah satunya adalah bahwa keuangan syariah mengharuskan adanya asset-backed yang memastikan adanya koneksi langsung antara transaksi keuangan dan ekonomi riil. Demikian halnya koneksi antara lembaga pengumpul simpanan dan lembaga investasi juga mesti terkait erat dimana return terkait dengan sektor riil, bukan sektor keuangan.
Di samping fleksibilitas dalam menghadapi berbagai situasi yang buruk, konsekuensi lainnya adalah bahwa asset riil dan liabilitas akan selalu sama. Hal ini menyangkut penciri lain dimana excessive leverage dalam berbagai sekuritisasi yang kompleks tidak diperbolehkan dalam keuangan syariah.
Di samping itu, keuangan syariah juga bisa menjamin mekanisme yang lebih adil dimana pemberi pinjaman dan peminjam mesti berbagi risiko maupun dalam insentif (reward) yang membuat keduanya akan lebih fokus pada tujuan jangka panjang dan membatasi pengambilan risiko yang berlebihan dalam jangka pendek (excessive short term risk-taking).
Singkatnya, lembaga keuangan syariah memperlakukan nasabah mereka seperti mitra bisnis. Oleh karena itu, akan selalu ada insentif yang kuat tak hanya dalam mengevaluasi permintaan pembiayaan tapi juga membantu peminjam ketika menghadapi situasi yang tidak diinginkan. Implikasinya tentu saja akan mengurangi “jual obral” asset ketika situasi buruk yang menyebabkan financial contagion.
Saat ini¸ keuangan syariah sudah memiliki coverage lebih dari 70 negara dengan pangsa asset sekitar 0,5% dari aset keuangan global. Walaupun masih kecil, prospek untuk bertumbuh secara cepat masih terbuka lebar. Deutsche Bank (2011) dalam laporan terbarunya memproyeksikan asset perbankan syariah akan tumbuh sekira 24% selama tiga tahun mendatang. Dalam laporan tersebut, disebutkan beberapa faktor pendorongnya sebagai berikut.
Pertama, skema keuangan syariah menawarkan alternatif instrumen yang cukup menarik bagi penabung dan investor konvensional. Kedua, semakin membaiknya kualitas layanan keuangan syariah, dan layanan ini tidak terbatas pada klien tertentu. Ketiga, semakin banyaknya lembaga keuangan konvensional yang berskala multinasional (termasuk di pusat keuangan dunia seperti London¸Swiss,Luxembourg dan sebagainya) yang menawarkan produk keuangan syariah. Keempat, banyaknya surplus keuangan akibat commodity boom di beberapa negara Muslim yang perlu dialokasikan melalui lembaga keuangan (syariah) di samping dalam sovereign wealth fund (SWF). Terakhir, agar dapat secara mudah membuka layanan keuangan di negara mayoritas Muslim, (cabang) institusi keuangan internasional mau tidak mau harus mengaplikasikan instrument keuangan yang mesti mengikuti hukum syariah.
Akan tetapi, beberapa tantangan mengemuka perkembangan keuangan syariah. Salah satu yang utama adalah sistem pengawasan (supervisi) yang mesti diperkuat, terkait peningkatan mekanisme screening dan monitoring (sebelum dan setelah) pembiayaan. Permasalahan lainnya masih dikenakannya pajak bagi penerima utang (pinjaman) di banyak negara, termasuk dalam skema equity and profit loss sharing.
Selain itu, produk-produk perbankan syariah seperti sewa (leasing), microfinance, bahkan kredit kepemilikan rumah/apartemen, masih belum berkembang dalam keuangan syariah. Demikian pula prosedur dalam kepailitan (insolvency dan bankruptcy) mesti ditingkatkan. Di samping itu, lembaga keuangan syariah juga mesti lebih concern terhadap liquidity-risk management yang sejalan dengan global regulatory standard (Basel III), penerapan standar akuntansi, dan good corporate governance (GCG).
Sementara berbagai laporan keuangan di atas lebih menekankan pada aspek size dan pertumbuhan nominalnya, pada akhirnya kualitas layanan, inovasi keuangan, dan praktik manajemen risiko yang baik yang akan menentukan keberhasilan lembaga keuangan syariah sehingga bisa diterima oleh masyarakat umum. Yang tak kalah penting juga kesesuaian dengan prinsip dan tujuan (maqashid) syariah juga mesti tetap dipegang teguh.
Dengan terus menerus melakukan evaluasi diri untuk mengatasi berbagai kekurangan yang ada, keuangan syariah diharapkan dapat terus berkembang dalam menyediakan layanan perbankan dan investasi, berkontribusi dalam menjaga stabilitas keuangan, sehingga dapat berperan dalam pembangunan tak hanya (eksklusif) bagi masyarakat Muslim, tapi juga inklusif bisa diterima siapapun. Bukankah itu yang diharapkan?
Iman Sugema, Dosen IE FEM IPB
M. Iqbal Irfany, Dosen IE FEM IPB