Responsivitas Kebijakan Moneter terhadap Bursa Syariah

Meskipun perkembangannya relatif baru dibandingkan dengan perbankan syariah, keberadaan pasar modal syariah di Indonesia terus mengalami perkembangan, baik dari segi jumlah produk maupun jumlah emiten. Langkah awal perkembangan pasar modal syariah di Indonesia diawali dengan penerbitan reksadana syariah pada tanggal 25 Juni 1997, yang diikuti oleh peluncuran Jakarta Islamic Index pada tanggal 3 Juli 2000, dan penerbitan obligasi syariah pada akhir tahun 2002. JII diluncurkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) bersama dengan PT Dana Reksa Investment Management (DIM). JII mencakup 30 jenis saham yang memenuhi ketentuan syariah sebagaimana yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI.

Sementara di sisi lain, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen tahun lalu, lebih banyak disumbangkan oleh variabel konsumsi rumah tangga dan investasi terhadap sektor riil di Indonesia. Pertumbuhan investasi terhadap sektor riil ini antara lain dapat direalisasikan melalui pasar modal syariah. Pasar modal memiliki peran penting terhadap negara, salah satunya adalah untuk menciptakan fasilitas bagi keperluan industri dan keseluruhan entitas dalam memenuhi supply dan demand pasar modal. Keberadaan pasar modal syariah di Indonesia telah memberikan kontribusi terhadap perekonomian negara di berbagai sektor, seperti pertanian, pertambangan, properti, real estate dan lain sebagainya, dimana banyak perusahaan di bidang tersebut yang menerbitkan saham syariah.

Baiknya kondisi tersebut mengakibatkan kenaikan status investasi Indonesia menjadi Investmen Grade oleh sejumlah lembaga rating internasional. Ini menunjukkan semakin kuatnya fundamental perekonomian, semakin solidnya stabilitas politik dalam jangka panjang, dan semakin baiknya manajemen anggaran pemerintah serta kebijakan moneter yang ada, terlepas dari pro kontra yang ada akhir-akhir ini. Pada level ini, perhatian terhadap Indonesia akan semakin terbuka terutama dari kalangan investor. Kondisi ini memunculkan pemikiran bahwa akan terjadi responsivitas dan dinamika akibat adanya kebijakan moneter dan pasar modal syariah yang akan memengaruhi perekonomian Indonesia.

Kebijakan moneter dan bursa syariah
Menurut teori, variabel makroekonomi yang memengaruhi pasar modal ada tujuh, yaitu: Gross Domestic Product (GDP), inflasi, tingkat pengangguran, suku bunga, nilai tukar, transaksi berjalan, dan defisit anggaran. Variabel ini juga berkaitan dengan kebijakan moneter yang akan dijadikan acuan oleh Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi. Kebijakan moneter dapat memengaruhi sektor riil melalui jalur harga aset. Kebijakan moneter ekspansif maupun kontraktif akan memengaruhi jumlah uang beredar dan kemudian melalui mekanisme tersebut sejumlah uang akan terserap ataupun keluar dalam pasar saham. Baik aktivitas dalam kebijakan moneter maupun pasar modal syariah, kedua instrumen ini akan saling merespon dan akan berdampak pada kondisi perekonomian negara.

Dalam melaksanakan open market operation, sarana pengendali moneter dilakukan melalui Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), dan surat berharga pasar uang (SBPU). SBI dan SBIS digunakan untuk kontraksi moneter, sedangkan SBPU untuk ekspansi moneter. Dalam studi yang kami lakukan, ditemukan bahwa SBI tidak akan memengaruhi GDP riil dalam jangka panjang dan jangka pendek. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem kebijakan moneter ganda, yaitu kebijakan moneter konvensional dan kebijakan moneter syariah. Dalam penelitian Ascarya (2009) mengenai transmisi moneter Indonesia, dijelaskan bahwa SBI sebagai instrumen kebijakan moneter konvensional perlu melakukan transmisi terhadap SBIS sebagai instrumen kebijakan moneter syariah untuk dapat berkontribusi besar terhadap GDP riil di Indonesia. Proses transmisi tersebut membutuhkan lag yang cukup panjang, sehingga yang memberikan kontribusi terhadap GDP riil adalah SBIS.

Berdasarkan forecast dekomposisi varian JII pada Tabel 1, nilai SBIS dalam transaksi moneter mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap perubahan nilai JII, yang merupakan cermin dari perkembangan pasar modal syariah. Selain SBIS, GDP juga memberikan kontribusi yang besar yaitu mencapai 20 persen pada periode ke-30 terhadap JII. Semakin baik tingkat perekonomian suatu negara, maka semakin baik pula tingkat kemakmuran penduduknya. Tingkat kemakmuran yang lebih tinggi ini umumnya ditandai dengan adanya kenaikan tingkat pendapatan masyarakatnya. Dengan adanya peningkatan pendapatan tersebut, maka akan semakin banyak orang yang memiliki kelebihan dana, dan kelebihan dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk disimpan dalam bentuk tabungan atau diinvestasikan dalam bentuk surat-surat berharga yang diperdagangkan dalam pasar modal. Tabel 1 ini menunjukkan bahwa keragaman nilai pada variabel moneter akan memengaruhi nilai indeks saham syariah yang ditinjau melalui Jakarta Islamic Index dengan persentase kontribusi yang berbeda dari masing-masing variabel.

Impulse response function
Selanjutnya, Gambar 1 merupakan hasil analisis Impulse Response Function yang melibatkan variabel-variabel moneter dan GDP rill sebagai impuls yang terkena shock akibat pengaruh ekonomi global, menunjukkan respon baik JII. Berdasarkan gambar tersebut, dapat kita lihat bahwa dalam mengantisipasi adanya shock pada GDP yang dipengaruhi beragam faktor ekonomi makro maupun mikro, JII mampu merespon dengan stabil dalam kurun waktu lima bulan. Adanya shock pada pertumbuhan uang yang dicerminkan melalui narrow money (M1) dan broad money (M2), akan direspon baik oleh JII dalam waktu empat bulan.

Kestabilan JII pada bulan ke-6 akan terjadi sebagai respon dari guncangan pada SBIS dan SBI. Hal ini dikarenakan sejak SBIS menggunakan akad jualah pada tahun 2008, pergerakan SBI dan SBIS tidak jauh berbeda. Sebelum tahun 2008, SBIS bernama SWBI (Sertifikat Wadiah Bank Indonesia) yang memiliki akad wadiah. Akad wadiah merupakan akad titipan dimana salah satu pihak menitipkan sesuatu kepada pihak lain dengan tujuan untuk dijaga. Dengan kata lain, akad ini merupakan akad tabarru (tolong-menolong) yang bersifat sosial dan dianjurkan Islam. Sedangkan akad jualah adalah suatu akad dimana pihak pertama ber-iltizaam (bertanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan upah secara sukarela terhadap orang yang berjasa dalam menjalankan aktivitas SBIS.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi ini, dapat disimpulkan bahwa keberadaan pasar modal syariah mampu mem-back up perekonomian Indonesia. Variabel moneter mudah mengalami guncangan akibat krisis global. Melihat respon JII yang cepat stabil saat terjadi guncangan pada variabel-variabel moneter serta GDP riil, mendukung pasar modal syariah untuk terus dikembangkan. Daya tahan pasar modal syariah terhadap krisis seharusnya semakin meyakinkan pemerintah dan pelaku pasar untuk ikut terlibat mengembangkan instrumen ini. Penerbitan indeks saham syariah Indonesia belum lama ini seharusnya bisa semakin memperlebar alternatif pilihan investasi yang sesuai syariah. Wallaahu alam.

Istiqomah, Mahasiswa S1 Ilmu Ekonomi FEM IPB
Dr. Irfan Syauqi Beik, Dosen IE FEM IPB dan Ketua DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam

Klik suka di bawah ini ya