Daftar panjang para pemikir dunia seperti Karl Marx, August Comte, Sigmund Freud menganggap bahwa dogma agama adalah salah satu manifestasi kelemahan dan kebodohan. Kalau saja mereka masih hidup, terminologi ekonomi berlandaskan nilai-nilai agama, termasuk ekonomi syariah (islamic economics) hanya akan menjadi bahan cemoohan mereka.
Pendapat skeptis akan terus mengemuka terutama terkait dengan adaptabilitas moralitas agama dalam perekonomian yang modern. Argumen lain terkait bahwa agama hanya akan menjadi candu dan membatasi pengayaan individu maupun masyarakat. Dalam hal ini, berbagai pihak tidak begitu yakin bagaimana bisa bangun ekonomi berbasis agama, termasuk Islam, mampu meningkatkan produktivitas, memberi insentif pertumbuhan, atau mengurangi ketimpangan?
Akan tetapi, di lain pihak landasan moral tetap akan dan terus berperan penting dalam khasanah perekonomian (simak misalnya argumen Leda Cosmides dan John Tooby, 1992). Dalam hal ini, salah satu fungsi utama agama adalah untuk menjaga moralitas dalam mendefinisikan benar dan salah. Apalagi pengalaman terjadinya berbagai turbulensi dan krisis ekonomi yang terjadi silih berganti yang semakin menekankan pentingnya moralitas. Robert Skidelsky, penulis masyhur biografi J. M. Keynes, misalnya menegaskan pentingnya para pelaku ekonomi kembali merenungkan kembali peranan filsafat dan moral yang secara implisit menekankan masyarakat masuk ke zona spiritual dan philosophical economy.
Dalam terminologi yang lain, Gustav von Hertzen menekankan pentingnya “modal moral” atau “moral capital”. Ia menegaskan fenomena sebagian besar pihak masih mengejar kepentingan pribadinya karena masih lemahnya sendi moralitas. Dalam perekonomian pasar, memang terdapat banyak sekali wilayah abu-abu. Pelaku ekonomi dengan mudah menikmati keuntungan dengan melakukan tindakan merugikan pihak lain (zero-sum-game). Untuk itulah diperlukan adanya konstitusi, hukum dan seperangkat tata aturan penjaga nilai moral yang sangat diperlukan dalam demokratisasi dan ekonomi pasar yang dinamis.
Para agamawan atau kita pun boleh saja menyalahkan carut marut ekonomi yang terjadi karena ‘kerakusan’ dan ‘sikap tidak bertanggung jawab’ sebagai sumber utama dari masalah. Sebagai penggiat ekonomi spiritual, Anda pun dipersilakan menggali khasanah dan paradigma ajaran agama dalam memberi khasanah atau bahkan membentuk sistem dengan entitasnya tersendiri sekalipun.
Namun yang lebih lebih penting bagaimana aplikasi penegakkan moralitas dan tujuan kesejahteraan sosial di lapangan. Adalah benar bahwa kegagalan pembangunan ekonomi disebabkan strategi pembangunan ekonomi, yang mengabaikan pentingnya strategi membangun manusia dalam upaya mencapai kesejahteraan sosial bagi siapa pun.
Terdapat beberapa dasar filosofis dari nilai moral dalam ekonomi (keuangan) syariah yaitu: 1) adanya kesetaraan vertikal melalui penegasan keesaan dan kedaulatan Tuhan (tauhid); 2) keadilan horizontal atau keadilan sosial ekonomi (al-‘adl wal-ihsan); 3) jaminan kebebasan dalam bekerja (ikhtiyar); 4) adanya tanggungjawab (fard); 5) kesempurnaan pengaturan ilahi atas sumberdaya sehingga manusia mesti saling membantu dan berbagi (rububiyyah), 6) pertumbuhan yang mesti diiringi pemurnian (tazkiyah); 7) akuntabilitas manusia di hadapan Allah (khilafah), 8) dan tercapainya tujuan syariah (maqasid as-syari’ah). Namun bagaimanakah implementasi di lapangan itu laksana berlayar dari pulau utopia menuju “kampung realita”.
Disadari atau tidak, ada fakta bahwa dalam berbagai praktek ekonomi (khususnya keuangan) syariah, justru terjadi deviasi dari norma-norma dan filosofi moral agama. Hal ini muncul karena pragmatisme praktisi syariah di lapangan. Berikut ini diulas beberapa contohnya.
Karena keuangan dan perbankan syariah mempunyai tugas penting dalam mencapai tujuan keadilan dan kesejahteraan sosial, maka pada awal keuangan Islam di masa awal lebih berorientasi sebagai “lembaga sosial”, seperti halnya terjadi di di Mesir dan Malaysia pada periode 1970-an.
Namun lain halnya terjadi semenjak awal tahun 1990, dimana operasi keuangan dan model pembiayaan semakin berkembang pesat, dimensi individu dan dimensi sosial justru semakin kurang banyak disentuh. Dimensi sosial terbatas dengan zakat dan kegiatan amal lainnya, yang tidak menyiratkan fungsi pemberdayaan yang sistematis dan program keadilan sosial dalam peningkatan kapasitas individual.
Seperti diketahui, dari sisi pembiayaan, tujuan pembangunan ekonomi hanya dapat dicapai dengan pendanaan jangka panjang. Namun, data menunjukkan bahwa perbankan syariah masih jarang sekali yang menawarkan pembiayaan jangka panjang. Karena tujuan keuangan syariah adalah melakukan pembiayaan modal (equity financing) demi menciptakan menciptakan nilai tambah ekonomi, perubahan arah keuangan syariah mesti diupayakan. Ini masih menjadi PR yang besar bagi para praktisi syariah.
Selain itu, pembiayaan dalam menunjang pembangunan juga perlu pertumbuhan ekonomi memerlukan pembiayaan sektor riil seperti pertanian dan sektor industri manufaktur. Namun kenyataannya saat ini sebagian besar transaksi keuangan bank syariah sebagian besar bukan diarahkan untuk pertanian dan industri tapi menuju sektor ritel atau pembiayaan perdagangan.
Mengubah arah keuangan syariah memang membutuhkan pemikiran yang melampaui interpretasi hukum, karena pendekatan berbasis nilai lah yang akan mampu mengatasi tensi antara arah realita dan utopia dari anjuran moral keuangan syariah. Oleh karena itu, adalah penting proses pemahaman terus menerus melaui pendidikan dan riset aplikatif yang bisa mengarahkan perkembangan perbankan dan keuangan syariah yang tidak menjadikan industri hanya mengikuti ‘rule of thumb’ sesuai mainstream keuangan konvensional seperti terjadi akhir-akhir ini.
Keuangan (perbankan) syariah dalam prakteknya adalah tidak (belum) dikatakan ideal. Itulah kenapa ulasan tentang utopia perbankan syariah ini penting untuk terus diingatkan. Dengan demikian bank syariah setidaknya secara moral lebih superior dibandingkan perbankan konvensional. Superioritas moral tentu lebih penting daripada sekedar citra dan performa artifisial dimana keuangan syariah hanya berbeda dengan keuangan konvensional tak hanya dari atribut fisik di kantor cabangnya saja, ada musholla, banyak hiasan kaligrafi Arab di dinding, serta dilayani front officer berkerudung. Utopia memang harus ada sehingga realitas dapat dibangun sejalan dengannya. Wallahu a’lam.
Iman Sugema, Dosen IE FEM IPB
M. Iqbal Irfany, Dosen IE FEM IPB
Pendapat skeptis akan terus mengemuka terutama terkait dengan adaptabilitas moralitas agama dalam perekonomian yang modern. Argumen lain terkait bahwa agama hanya akan menjadi candu dan membatasi pengayaan individu maupun masyarakat. Dalam hal ini, berbagai pihak tidak begitu yakin bagaimana bisa bangun ekonomi berbasis agama, termasuk Islam, mampu meningkatkan produktivitas, memberi insentif pertumbuhan, atau mengurangi ketimpangan?
Akan tetapi, di lain pihak landasan moral tetap akan dan terus berperan penting dalam khasanah perekonomian (simak misalnya argumen Leda Cosmides dan John Tooby, 1992). Dalam hal ini, salah satu fungsi utama agama adalah untuk menjaga moralitas dalam mendefinisikan benar dan salah. Apalagi pengalaman terjadinya berbagai turbulensi dan krisis ekonomi yang terjadi silih berganti yang semakin menekankan pentingnya moralitas. Robert Skidelsky, penulis masyhur biografi J. M. Keynes, misalnya menegaskan pentingnya para pelaku ekonomi kembali merenungkan kembali peranan filsafat dan moral yang secara implisit menekankan masyarakat masuk ke zona spiritual dan philosophical economy.
Dalam terminologi yang lain, Gustav von Hertzen menekankan pentingnya “modal moral” atau “moral capital”. Ia menegaskan fenomena sebagian besar pihak masih mengejar kepentingan pribadinya karena masih lemahnya sendi moralitas. Dalam perekonomian pasar, memang terdapat banyak sekali wilayah abu-abu. Pelaku ekonomi dengan mudah menikmati keuntungan dengan melakukan tindakan merugikan pihak lain (zero-sum-game). Untuk itulah diperlukan adanya konstitusi, hukum dan seperangkat tata aturan penjaga nilai moral yang sangat diperlukan dalam demokratisasi dan ekonomi pasar yang dinamis.
Para agamawan atau kita pun boleh saja menyalahkan carut marut ekonomi yang terjadi karena ‘kerakusan’ dan ‘sikap tidak bertanggung jawab’ sebagai sumber utama dari masalah. Sebagai penggiat ekonomi spiritual, Anda pun dipersilakan menggali khasanah dan paradigma ajaran agama dalam memberi khasanah atau bahkan membentuk sistem dengan entitasnya tersendiri sekalipun.
Namun yang lebih lebih penting bagaimana aplikasi penegakkan moralitas dan tujuan kesejahteraan sosial di lapangan. Adalah benar bahwa kegagalan pembangunan ekonomi disebabkan strategi pembangunan ekonomi, yang mengabaikan pentingnya strategi membangun manusia dalam upaya mencapai kesejahteraan sosial bagi siapa pun.
Terdapat beberapa dasar filosofis dari nilai moral dalam ekonomi (keuangan) syariah yaitu: 1) adanya kesetaraan vertikal melalui penegasan keesaan dan kedaulatan Tuhan (tauhid); 2) keadilan horizontal atau keadilan sosial ekonomi (al-‘adl wal-ihsan); 3) jaminan kebebasan dalam bekerja (ikhtiyar); 4) adanya tanggungjawab (fard); 5) kesempurnaan pengaturan ilahi atas sumberdaya sehingga manusia mesti saling membantu dan berbagi (rububiyyah), 6) pertumbuhan yang mesti diiringi pemurnian (tazkiyah); 7) akuntabilitas manusia di hadapan Allah (khilafah), 8) dan tercapainya tujuan syariah (maqasid as-syari’ah). Namun bagaimanakah implementasi di lapangan itu laksana berlayar dari pulau utopia menuju “kampung realita”.
Disadari atau tidak, ada fakta bahwa dalam berbagai praktek ekonomi (khususnya keuangan) syariah, justru terjadi deviasi dari norma-norma dan filosofi moral agama. Hal ini muncul karena pragmatisme praktisi syariah di lapangan. Berikut ini diulas beberapa contohnya.
Karena keuangan dan perbankan syariah mempunyai tugas penting dalam mencapai tujuan keadilan dan kesejahteraan sosial, maka pada awal keuangan Islam di masa awal lebih berorientasi sebagai “lembaga sosial”, seperti halnya terjadi di di Mesir dan Malaysia pada periode 1970-an.
Namun lain halnya terjadi semenjak awal tahun 1990, dimana operasi keuangan dan model pembiayaan semakin berkembang pesat, dimensi individu dan dimensi sosial justru semakin kurang banyak disentuh. Dimensi sosial terbatas dengan zakat dan kegiatan amal lainnya, yang tidak menyiratkan fungsi pemberdayaan yang sistematis dan program keadilan sosial dalam peningkatan kapasitas individual.
Seperti diketahui, dari sisi pembiayaan, tujuan pembangunan ekonomi hanya dapat dicapai dengan pendanaan jangka panjang. Namun, data menunjukkan bahwa perbankan syariah masih jarang sekali yang menawarkan pembiayaan jangka panjang. Karena tujuan keuangan syariah adalah melakukan pembiayaan modal (equity financing) demi menciptakan menciptakan nilai tambah ekonomi, perubahan arah keuangan syariah mesti diupayakan. Ini masih menjadi PR yang besar bagi para praktisi syariah.
Selain itu, pembiayaan dalam menunjang pembangunan juga perlu pertumbuhan ekonomi memerlukan pembiayaan sektor riil seperti pertanian dan sektor industri manufaktur. Namun kenyataannya saat ini sebagian besar transaksi keuangan bank syariah sebagian besar bukan diarahkan untuk pertanian dan industri tapi menuju sektor ritel atau pembiayaan perdagangan.
Mengubah arah keuangan syariah memang membutuhkan pemikiran yang melampaui interpretasi hukum, karena pendekatan berbasis nilai lah yang akan mampu mengatasi tensi antara arah realita dan utopia dari anjuran moral keuangan syariah. Oleh karena itu, adalah penting proses pemahaman terus menerus melaui pendidikan dan riset aplikatif yang bisa mengarahkan perkembangan perbankan dan keuangan syariah yang tidak menjadikan industri hanya mengikuti ‘rule of thumb’ sesuai mainstream keuangan konvensional seperti terjadi akhir-akhir ini.
Keuangan (perbankan) syariah dalam prakteknya adalah tidak (belum) dikatakan ideal. Itulah kenapa ulasan tentang utopia perbankan syariah ini penting untuk terus diingatkan. Dengan demikian bank syariah setidaknya secara moral lebih superior dibandingkan perbankan konvensional. Superioritas moral tentu lebih penting daripada sekedar citra dan performa artifisial dimana keuangan syariah hanya berbeda dengan keuangan konvensional tak hanya dari atribut fisik di kantor cabangnya saja, ada musholla, banyak hiasan kaligrafi Arab di dinding, serta dilayani front officer berkerudung. Utopia memang harus ada sehingga realitas dapat dibangun sejalan dengannya. Wallahu a’lam.
Iman Sugema, Dosen IE FEM IPB
M. Iqbal Irfany, Dosen IE FEM IPB