Mendorong Kebijakan Pro Ekonomi dan Keuangan Syariah di 2013

Pergantian tahun merupakan momentum yang sangat tepat untuk melakukan koreksi dan perbaikan, termasuk dalam meningkatkan kualitas pembangunan ekonomi syariah. Tahun 2012 telah menjadi saksi bahwa institusi ekonomi syariah telah menunjukkan kinerja yang luar biasa. Perbankan syariah misalnya, total asetnya telah melebihi angka Rp 168 trilyun per September 2012. Kembali naik setelah sebelumnya sempat mengalami penurunan signifikan akibat penarikan dana haji oleh pemerintah. Diperkirakan bahwa total aset perbankan syariah dapat menyentuh angka Rp 229 trilyun pada bulan Maret 2013.

Demikian pula dengan perkembangan penerbitan sukuk negara dan sukuk korporasi yang juga mengindikasikan kinerja yang sangat baik. Hingga 1 November 2012, total sukuk yang telah diterbitkan mencapai angka Rp 128 trilyun, dengan pangsa pasar yang mencapai angka hampir 10 persen. Barangkali inilah market share instrumen keuangan syariah yang paling besar dibandingkan dengan yang lainnya, seperti asuransi syariah yang baru mencapai angka 3,3 persen dan perbankan syariah yang baru menyentuh level 4,2 persen.

Dengan angka pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan mencapai angka 6,3-6,7 persen tahun depan, dan jumlah kelas menengah muslim yang juga diperkirakan akan naik, maka prospek dan peluang pengembangan institusi ekonomi dan keuangan syariah masih sangat besar. Tinggal sekarang bagaimana kita bisa mendorong akselerasi pembangunan ekonomi syariah melalui penguatan dukungan dan regulasi pemerintah.

Harus kita sadari bahwa masih banyak kebijakan yang belum sepenuhnya ‘bersahabat’ dengan ekonomi syariah. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah kita semua, yaitu bagaimana meminimalisir sejumlah kebijakan yang kurang bersahabat dengan pengembangan ekonomi syariah, dan menggantinya dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung. Penulis melihat, paling tidak, ada sembilan kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah pada tahun 2013 dalam rangka memperkuat peran institusi ekonomi syariah nasional.

9 Kebijakan
Pertama, meningkatkan volume penempatan dana APBN di perbankan syariah. Kebijakan yang bisa dilakukan oleh pemerintah antara lain dengan memberi kesempatan para PNS untuk memilih rekening bank syariah sebagai tempat untuk menerima gaji mereka. Di beberapa institusi, seperti IPB, hal ini telah dilakukan, dimana 90 persen dosen dan tenaga kependidikan IPB lebih memilih bank syariah untuk rekening gaji mereka. Tinggal bagaimana kesempatan untuk memilih ini bisa diperluas ke institusi lainnya. Kalau perlu, Kementerian Agama memberikan contoh dengan mewajibkan para PNS yang tinggal di kota/kabupaten yang ada bank syariahnya, untuk memiliki rekening bank syariah dan menyalurkan gaji mereka melalui bank tersebut.

Penempatan dana APBN di perbankan syariah juga dapat dilakukan melalui pelaksanaan proyek-proyek pembangunan yang bersumber dari dana APBN. Misalnya, dalam proyek pembangunan jalan di daerah, hendaknya pembayaran kepada para kontraktor pemenang tender dilakukan via BPD syariah atau UUS yang dimiliki oleh BPD tersebut.

Kedua, menempatkan aset-aset BUMN di perbankan syariah. Setiap BUMN non bank, diwajibkan oleh Kementerian BUMN untuk menempatkan minimal sepertiga dananya di perbankan syariah. Hal ini dipastikan akan mendorong peningkatan aset perbankan syariah secara signifikan, sehingga target pangsa pasar 5 persen pada tahun 2013 akan dapat dilewati dengan mudah. Bahkan mungkin bisa lebih besar dari target tersebut.

Ketiga, mendorong penerapan aturan perpajakan yang “ramah” terhadap praktek ekonomi dan keuangan syariah, terutama terkait dengan transaksi keuangan syariah selain murabahah, dan terkait dengan pembangunan zakat nasional. Dalam konteks keuangan syariah, penghapusan pajak ganda murabahah tahun 2010 lalu saja tidak cukup, namun perlu diperluas ke akad-akad yang lainnya, seperti akad ijarah maupun ijarah muntahiya bit tamlik (IMBT). Jangan kalah oleh Inggris yang sudah menghapus pajak ganda murabahah pada tahun 2003, dan pajak ganda pada ijarah dan musyarakah pada tahun 2005 lalu. Meski telah ada Peraturan Menteri Keuangan No 136/PMK.03/2011 dan No 137/PMK.03/2011, namun hal tersebut dirasakan belum optimal karena berpotensi menimbulkan penafsiran yang beragam. Asbisindo menyatakan bahwa potensi multitafsir tersebut antara lain dikarenakan tidak adanya penegasan bahwa pajak dikenakan hanya pada ujroh (pendapatan ijarah), sehingga ada peluang pengenaan pajak pada depresiasi pokok pembiayaan. Jika ini terjadi, maka produk perbankan syariah menjadi kurang kompetitif dibandingkan bank konvensional.

Adapun dalam konteks zakat, pemerintah harus mendorong aturan perpajakan yang “bersahabat” dengan pelaksanaan zakat. Meski PP No 60/2010 telah mengatur teknis pelaksanaan zakat sebagai pengurang pendapatan kena pajak, namun aspirasi para penggiat zakat dan masyarakat pada umumnya adalah supaya zakat menjadi pengurang pajak langsung. Oleh karena itu, UU No 36/2008 diusulkan untuk dapat diamandemen pada tahun 2013, dan salah satu klausul yang masuk dalam proses amandemen tersebut adalah kebijakan zakat sebagai pengurang pajak langsung. Tidak perlu ada kekhawatiran akan adanya trade off antara zakat dengan pajak jika kebijakan ini diterapkan. Yang ada justru kebijakan ini dapat mendorong peningkatan penerimaan zakat dan pajak secara sekaligus, sebagaimana yang terjadi di Malaysia.

Selanjutnya, kebijakan yang keempat adalah mewajibkan para PNS dan BUMN/BUMD yang telah memenuhi syarat dan ketentuan syariah, untuk menunaikan kewajibannya sebagai muzakki. Hal ini diharapkan dapat mendongkrak penerimaan zakat nasional, dan diyakini akan menurunkan jumlah kemiskinan dengan lebih baik lagi. Dalam studi IZDR (Indonesia Zakat and Development Report) 2012, terungkap fakta bahwa program pendistribusian dan pendayagunaan zakat, mampu mengurangi jumlah kemiskinan mustahik sebesar 21,11 persen. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan dengan kinerja penurunan kemiskinan secara nasional.

Kelima, meningkatkan volume pembiayaan untuk rakyat, seperti kredit pertanian dan usaha mikro, termasuk KUR, dengan menggunakan akad-akad syariah. Program seperti PUAP Kementerian Pertanian misalnya, harus mulai diarahkan kepada pola pembiayaan syariah pada tahun 2013 ini. Keenam, perlunya penguatan terhadap lembaga keuangan mikro syariah (LKMS), baik secara aturan hukum, maupun terkait dengan pelibatan LKMS dalam program-program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah. RUU LKM yang rencananya masih akan dibahas di prolegnas 2013, harus menjamin penguatan terhadap posisi dan peran LKMS ini.

Ketujuh, penguatan instrumen sukuk negara (SBSN) terutama dalam hal pembangunan infrastruktur. Pembiayaan proyek pembangunan melalui SBSN harus menjadi prioritas pada tahun 2013. Rencana pembangunan jalur ganda kereta api tahun 2013 yang akan dibiayai oleh sukuk negara sebesar Rp 1,5 trilyun, merupakan suatu hal yang perlu diapresiasi. Selain itu, perlunya penguatan aturan mengenai SPV (Special Purpose Vehicle) sebagai perusahaan penerbit sukuk. Bahkan perlu diusulkan adanya RUU tentang SPV secara khusus. Disamping sukuk negara, perlu juga dipikirkan untuk mendorong perusahaan agar mau menerbitkan sukuk retail, yang ini akan sangat membantu para investor kecil (masyarakat umum) untuk berinvestasi.

Kedelapan, terkait OJK, maka OJK harus betul-betul mengakomodir dan mendorong penguatan industri keuangan syariah secara komprehensif. Di setiap sektor keuangan konvensional, maka harus ada instrumen dalam OJK yang menangani sektor keuangan syariah. Kesembilan, perlunya usulan mengenai RUU tentang Dual Economic System, sebagaimana yang pernah diusulkan oleh Prof Veitzal Rivai, sebagai payung hukum berjalannya mekanisme pembangunan ekonomi syariah yang setara dengan ekonomi konvensional pada semua lini. Wallahu a’lam.

Irfan Syauqi Beik
Kaprodi Ekonomi Syariah FEM dan Sekretaris Eksekutif Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah IPB

Klik suka di bawah ini ya