Paling tidak, ada lima elemen kunci yang menjadikan keuangan syariah berbeda secara signifikan dengan keuangan konvensional. Pertama, pada keuangan syariah, ada keterkaitan erat (direct link) antara sektor moneter dengan sektor riil. Hal itu terjadi karena semua jenis transaksi keuangan syariah adalah berbasis pada sektor riil, baik transaksi yang bersifat flexible return modes seperti mudharabah (bagi hasil) dan musyarakah (bagi hasil dan rugi), maupun transaksi yang bersifat fixed return modes seperti murabahah (jual beli dengan marjin) dan ijarah (sewa menyewa).
Dengan pola-pola tersebut, maka kinerja sektor keuangan akan sangat dipengaruhi oleh kinerja sektor riil. Karena itu, mendorong tumbuh dan berkembangnya sistem keuangan syariah di negeri ini pada dasarnya sama dengan mendorong tumbuh dan berkembangnya sektor riil. Apalagi jika yang dikembangkan adalah pola berbasis bagi hasil. Implikasi terhadap pembukaan lapangan kerja dan penyerapan angka pengangguran akan jauh lebih besar bila dibandingkan dengan pola berbasis return tetap. Fakta ini tersaji secara meyakinkan oleh riset Ayuniyyah, Achsani, dan Ascarya pada edisi Iqtishodia kali ini, dimana pembiayaan berbasis bagi hasil ternyata berkorelasi positif dengan pertumbuhan di sektor riil. Berbeda dengan tingkat suku bunga yang justru berbanding terbalik dengan pertumbuhan di sektor riil.
Kedua, adanya faktor etika dan kemaslahatan sebagai framework keuangan syariah. Sejumlah larangan, seperti larangan maysir (perjudian dan spekulasi) dan gharar (ketidakpastian), mengindikasikan bahwa moralitas merupakan instrumen yang tidak boleh diabaikan dalam membangun stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana diketahui bersama, salah satu sumber penyebab utama instabilitas di pasar keuangan adalah karena keberadaan aktivitas spekulasi yang mengarah pada perjudian dan ketidakpastian, terutama di pasar derivatif. Larangan maysir dan gharar akan mereduksi kemungkinan terjadinya ketidakstabilan tersebut.
Ketiga, adanya semangat kerjasama dan prinsip saling berbagi yang jelas. Ini adalah bentuk simbiosis mutualisme diantara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi keuangan syariah. Misalnya, dalam musyarakah, perlu ada kerjasama dalam hal permodalan dan manajemen, serta kesediaan untuk saling berbagi resiko dan keuntungan dalam proporsi yang tepat dan adil. Tanpa adanya kerjasama, mustahil akad syariah dapat dieksekusi dengan baik. Keempat, pada aspek tata kelola (governance), kesesuaian dengan ajaran Islam merupakan sebuah keharusan. Namun demikian, kesesuaian ini bukan hanya pada aspek fiqh semata, yaitu halal haram dan boleh-tidak boleh saja, melainkan juga pada persoalan yang terkait dengan perilaku (behaviour).
Kelima, keuangan syariah juga menjamin adanya aliran kekayaan dari kelompok the have pada kelompok the have not. Larangan bunga dan kewajiban zakat merupakan contoh instrumen yang akan mencegah terkonsentrasikannya kekayaan di tangan segelintir kelompok. Sehingga, keadilan ekonomi akan tetap terjaga. Wallahu alam.
Oleh: Irfan Syauqi Beik, Ketua Tim Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB
Dengan pola-pola tersebut, maka kinerja sektor keuangan akan sangat dipengaruhi oleh kinerja sektor riil. Karena itu, mendorong tumbuh dan berkembangnya sistem keuangan syariah di negeri ini pada dasarnya sama dengan mendorong tumbuh dan berkembangnya sektor riil. Apalagi jika yang dikembangkan adalah pola berbasis bagi hasil. Implikasi terhadap pembukaan lapangan kerja dan penyerapan angka pengangguran akan jauh lebih besar bila dibandingkan dengan pola berbasis return tetap. Fakta ini tersaji secara meyakinkan oleh riset Ayuniyyah, Achsani, dan Ascarya pada edisi Iqtishodia kali ini, dimana pembiayaan berbasis bagi hasil ternyata berkorelasi positif dengan pertumbuhan di sektor riil. Berbeda dengan tingkat suku bunga yang justru berbanding terbalik dengan pertumbuhan di sektor riil.
Kedua, adanya faktor etika dan kemaslahatan sebagai framework keuangan syariah. Sejumlah larangan, seperti larangan maysir (perjudian dan spekulasi) dan gharar (ketidakpastian), mengindikasikan bahwa moralitas merupakan instrumen yang tidak boleh diabaikan dalam membangun stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana diketahui bersama, salah satu sumber penyebab utama instabilitas di pasar keuangan adalah karena keberadaan aktivitas spekulasi yang mengarah pada perjudian dan ketidakpastian, terutama di pasar derivatif. Larangan maysir dan gharar akan mereduksi kemungkinan terjadinya ketidakstabilan tersebut.
Ketiga, adanya semangat kerjasama dan prinsip saling berbagi yang jelas. Ini adalah bentuk simbiosis mutualisme diantara pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi keuangan syariah. Misalnya, dalam musyarakah, perlu ada kerjasama dalam hal permodalan dan manajemen, serta kesediaan untuk saling berbagi resiko dan keuntungan dalam proporsi yang tepat dan adil. Tanpa adanya kerjasama, mustahil akad syariah dapat dieksekusi dengan baik. Keempat, pada aspek tata kelola (governance), kesesuaian dengan ajaran Islam merupakan sebuah keharusan. Namun demikian, kesesuaian ini bukan hanya pada aspek fiqh semata, yaitu halal haram dan boleh-tidak boleh saja, melainkan juga pada persoalan yang terkait dengan perilaku (behaviour).
Kelima, keuangan syariah juga menjamin adanya aliran kekayaan dari kelompok the have pada kelompok the have not. Larangan bunga dan kewajiban zakat merupakan contoh instrumen yang akan mencegah terkonsentrasikannya kekayaan di tangan segelintir kelompok. Sehingga, keadilan ekonomi akan tetap terjaga. Wallahu alam.
Oleh: Irfan Syauqi Beik, Ketua Tim Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB