Saya melihat wajah-wajah peserta pelatihan menulis yang heran dengan instruksi saya terkait dengan kegiatan mengeluarkan pikiran pada tahap sangat awal. “Silakan sediakan selembar kertas putih dan pena. Dalam waktu lima menit, keluarkan secara bebas pikiran Anda saat ini,” demikian bunyi instruksi saya. Apa yang harus dikeluarkan? Seberapa banyak? Tentang pikiran yang terkait dengan apa? Bebas yang bagaimana? Mungkin ada sebagian peserta yang terus bertanya keheranan seperti ini.
”Tulislah apa saja dan nikmati prosesnya, bukan hasilnya,” tambah saya. Setelah lima menit berlalu, saya memang tidak meminta para peserta untuk membaca hasil tulisan mereka. Saya menanyakan bagaimana proses mereka mengalami kegiatan menulis yang paling dasar itu, apakah mereka merasa nyaman atau tersiksa. Apa pun kegiatan menulis yang Anda lakukan—termasuk menulis karya ilmiah—Anda harus melewati proses menulis untuk mengeluarkan pikiran.
Setelah berdiskusi panjang-lebar, saya pun menayangkan tiga indikator keberhasilan dalam melewati kegiatan menulis untuk mengeluarkan pikiran. Tiga indikator keberhasilan tersebut adalah, pertama, ada perasaan lega (plong) di dalam diri setiap kali diri mengeluarkan sesuatu—apa pun itu—lewat kegiatan menulis. Kedua, kegiatan refleks membaca-kembali (mengoreksi) hasil tulisan setiap kali selesai menulis—meski yang ditulis baru sedikit—hilang lenyap. Dan ketiga, diri benar-benar lebih mementingkan proses menulis daripada fokus pada hasil tulisan.
”Apa kaitan kegiatan menulis ini dengan menulis karya ilmiah?” tanya seorang peserta. Saya ingin tidak menjawab pertanyaan tersebut sebab masih ada dua jenis latihan menulis yang harus dilalui. ”Nanti Pak, bukan sekarang. Ada tiga paket kegiatan menulis yang perlu bapak alami terlebih dahulu, baru bapak dapat memahami apa kaitan latihan menulis yang bapak alami tadi dengan kegiatan menulis karya ilmiah,” jawab saya. Namun, rupanya si bapak ingin mendapatkan jawaban saya. Dia tak mau menunggu dua latihan berikutnya.
Ada tiga latihan untuk mengeluarkan pikiran orisinal—pikiran asli kita yang belum tercampur dengan pikiran orang lain. Latihan pertama adalah latihan menulis untuk mengeluarkan apa saja yang ada di dalam pikiran kita. Latihan kedua adalah latihan menulis yang didahului dengan membaca. Peserta membaca sebuah artikel pendek (5.000-an karakter) dan kemudian sehabis membaca, setiap peserta berusaha mengeluarkan pikiran orisinal miliknya. Dan latihan ketiga, mereka menulis untuk mengeluarkan pikiran orisinal lewat penentuan sebuah topik, misalnya ”kursi”.
Nah, latihan-latihan tersebut—khususnya latihan terakhir—dapat mendeteksi diri kita apakah kita sigap dan terampil dalam mengeluarkan pikiran orisinal kita. Apabila kita tidak memiliki keterampilan menulis untuk mengeluarkan pikiran orisinal, maka kita akan terjerumus ke plagiarisme. ”Ini kaitannya latihan tersebut dengan kegiatan menulis karya ilmiah Pak,” tutup saya. Dan kegiatan menulis itu bertingkat-tingkat. Menulis karya ilmiah adalah menulis dalam tingkat yang paling tinggi. Bagaimana mungkin kita nyaman dan senang menulis karya ilmiah jika tidak terlatih menulis di tingkat yang paling rendah?
Kegiatan menulis yang paling rendah, misalnya, adalah free writing (selama 10-15 menit setiap hari sesering mungkin—ini anjuran Elbow), lalu menulis catatan harian, menulis untuk diri sendiri (MUDS) dalam bentuk yang lebih terstruktur, menulis artikel sehari-hari dengan menekankan pada ide-ide yang menarik (ide yang menarik akan muncul apabila kita berhasil mengubah sudut pandang kita setiap kali menulis dengan topik tertentu), dan seterusnya hingga sampai ke jenjang tertingi (menulis karya ilmiah). Ada kemungkinan besar, menulis karya ilmiah menjadi sangat sulit dan menyiksa dikarenakan kita tidak pernah melatih kegiatan menulis yang berada di bawahnya. Wallau a’alam.
Oleh Hernowo, Editor Mizan