Sungguh saya harus bersyukur sepulang dari mengadakan workshop dengan tema “The Power of IQRA’” di Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Gontor. Acara workshop berlangsung Jumat dan Sabtu, 2 dan 3 Maret 2012. Saya banyak belajar dan mendapatkan pengalaman berharga ketika pikiran saya bersentuhan dengan pikiran para peserta yang kebanyakan adalah para mahasiswa S2 dan dosen. Hal-hal berharga dan penting apa yang saya peroleh dari workshop tersebut?
Pertama, membaca dan menulis tidak dapat sekadar diajarkan (disampaikan hanya dalam bentuk konsep-konsep dan teori-teori membaca dan menulis aturan-aturan tentang berbahasa-tulis). Kedua keterampilan penting ini harus dapat disampaikan dengan cara didemonstrasikan (dicontohkan) dan dilatihkan. Apabila sekadar diajarkan, dua kegiatan itu akan sangat membosankan. Kenapa? Membaca dan menulis adalah kegiatan yang kompleks dan berat. Kedua kegiatan ini sangat terkait dengan pikiran—lebih eksplisit lagi: pikiran yang berkualitas. Apalagi jika kegiatan membaca dan menulis itu dikaitkan dengan karya tulis ilmiah.
Kedua, betapa pentingnya seorang instruktur atau pelatih membaca dan menulis memiliki jam terbang (pengalaman) yang banyak dan nyata di bidang keduanya. Bukan hanya pengalaman membaca atau menulis saja tetapi pengalaman itu benar-benar terkait dengan pengalaman membaca dan menulis yang dipadukan. Membaca dan menulis saling terkait dan ketika seseorang menjalankan (dan benar-benar mengalami) kegiatan membaca dan menulis, dia harus juga memiliki kesabaran dan ketekunan misalnya. Tanpa disertai sikap-sikap yang mulia seperti itu, kegiatan membaca dan menulis tidak akan menghasilkan apa-apa. Mungkin saja, hasilnya memang ada—seperti sebuah buku berhalaman 300 yang selesai dibaca atau makalah setebal 20 halaman yang selesai ditulis. Namun, hasil ini adalah sekadar hasil dalam bentuk material bukan sesuatu yang lebih tinggi daripada itu sebagaimana dituju oleh setiap orang yang semestinya berhasil menjalankan kegiatan membaca dan menulis dengan baik.
Ketiga, gabungan poin pertama dan kedua di atas itulah yang ingin saya sebuat sebagai ”proses kreatif” membaca dan menulis. Menulis karya ilmiah adalah sebuah proses kreatif membaca dan menulis yang sangat tinggi. Atau bahkan, kegiatan tersebut—bagi seorang akademisi—adalah kegiatan membaca dan menulis yang berada di posisi paling puncak. Saya tidak hanya bicara menulis tetapi juga bicara membaca karena menulis karya ilmiah menuntut kegiatan membaca yang juga (bersifat) ilmiah. Membaca yang (bersifat) ilmiah adalah membaca yang setara dengan bertafakur atau saya sering menyebutnya sebagai ”deep reading”. Dalam konteks kegiatan menulis karya ilmiah, saya menangkap kesan bahwa kegiatan ”deep reading” ini seperti tidak terlalu penting untuk dibicarakan atau dibuatkan langkah-langkahnya yang dapat membawa si pelaku membaca untuk menghasilkan sesuatu yang sangat penting dan berharga dari kegiatan membacanya.
Padahal, untuk menghasilkan karya tulis ilmiah yang berkualitas—wujud karya tulis ilmiah itu benar-benar memuat pikiran orisinal yang menarik milik penulisnya dan bebas dari kegiatan plagiat—seorang akademisi perlu menjadikan terlebih dahulu pikirannya dalam bentuk yang berkualitas. Dan menjadikan pikiran yang berkualitas ini tidak dapat diwujudkan secara mendadak atau ujug-ujug. Pikiran berkualitas perlu berproses dan prosesnya harus dalam bentuk yang kreatif—menjelajah ke mana-mana dan senantiasa berhasil menemukan hal-hal baru. Apabila pikiran tidak dibawa menjelajah ke mana-mana dan tidak didorong menemukan hal-hal baru, bukan hanya pikiran yang dituangkan secara tertulis itu dangkal dan buruk, tetapi juga kegiatan menulisnya pun menjadi tidak kreatif—datar, biasa-biasa saja, dan (kemungkinan besar) hampa atau membosankan.
Ketika saya mengalami dan menikmati—sebagai instruktur membaca dan menulis—kegiatan workshop di ISID Gontor, saya merasakan sekali betapa sulitnya menyampaikan proses kreatif membaca dan menulis (yang perlu dipadukan) untuk mendapatkan dampak yang dahsyat (yaitu berupa berkembangnya pikiran dan bagaimana pikiran itu menjadi sangat berkualitas) bagi si pelaku.
Oleh Hernowo