Ketika saya mendemonstrasikan dan kemudian melatihkan—secara perlahan-lahan diselingi ajakan saya untuk merasakan proses—kegiatan menulis bebas (free writing), saya menyinggung sekilas tentang menulis catatan harian. Saya menganjurkan para peserta pelatihan agar melanjutkan latihan free writing di lembar-lembar catatan harian mereka. Saya tegaskan bahwa dalam sebuah workshop menulis, demonstrasi dan latihan serta ditambah pengetahuan-baru tentang membaca dan menulis tidak akan otomatis mengubah diri-diri mereka menjadi penulis. Hanya lewat latihan menulis bebas yang tekun, konsisten, dan kontinulah diri mereka akan berubah.
”Lho, saya ingin menjadi mudah dan lancar dalam menulis karya ilmiah Pak Hernowo, bukan sekadar memiliki kemampuan menulis bebas?” tanya seorang peserta. ”Anda perlu merasakan keasyikan menulis terlebih dahulu. Menulis karya ilmiah bukan kegiatan yang enteng. Nah, saya berharap lewat kegiatan free writing—yang benar-benar dapat Anda kendalikan dan membebaskan diri Anda sepenuhnya dari pelbagai aturan menulis—Anda kemudian dapat memetik manfaat menulis dan kemudian benar-benar mampu merasakan kenikmatan menulis (mengeluarkan pikiran Anda secara leluasa),” jawab saya.
Sembari menunjukkan konsep-konsep dan teknik-teknik free writing yang dibangun oleh Natalie Goldberg (Writing Down the Bones), Peter Elbow (Writing without Teachers), dan James W. Pennebaker (Opening Up), saya juga menayangkan potret Dr. Sir Muhammad Iqbal bersama sampul depan buku catatan hariannya, Stray Reflections. Saya menayangkan catatan harian Iqbal karena saya ingin memberi contoh adanya seorang akademisi bergelar doktor di bidang filsafat yang memiliki catatan harian. Apakah Iqbal juga berlatih free writing dengan memanfaatkan catatan hariannya? Saya tidak tahu secara persis. Catatan harian, bagi saya, adalah wadah untuk berlatih menulis bebas.
Seorang peserta rupanya tertarik dengan catatan harian Iqbal. Dia tahu buku Stray Reflections dan pernah membacanya serta bahkan pernah bertemu dengan putra Iqbal, Javid Iqbal, yang memberikan ”catatan” atas catatan harian ayahnya. Setelah mengisahkan pertemuannya dengan Javid Iqbal, peserta tersebut bertanya kepada saya, ”Bagaimana caranya agar dapat membuat catatan harian yang berkualitas sebagaimana catatan harian Iqbal?” Saya agak terkejut dengan pertanyaan itu. Pertanyaan tersebut benar-benar tidak saya duga. Saya merenung sejenak, tidak langsung menjawab.
”Untuk membuat sebuah catatan harian yang berkualitas, kita perlu menjadikan pikiran kita berkualitas terlebih dahulu,” jawab saya meyakinkan. Inti workshop ”The Power of IQRA’” adalah membaca, bukan menulis. Saya mengonsep workshop di ISID Gontor yang berlangsung 2 dan 3 Maret 2012 dengan menyerahkan tulisan pendek saya yang berjudul, “The Power of IQRA’: Efek-Dahsyat Membaca yang Baik”. Lewat sebuah presentasi yang menggunakan power point, saya menayangkan pijakan saya, yaitu buku karya Dr. Stephen D. Krashen, The Power of Reading, dan buku karya Ustad Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Quran”, yang di dalamnya ada tulisan “Falsafah Dasar Iqra’”.
Menurut riset Dr. Krashen, membaca yang baik berakibat pada menulis yang baik. Sementara itu, menurut Ustad Quraish, ayat-ayat iqra’ menganjurkan agar kita membaca hal-hal baik. “Perintah membaca, menelaah, meneliti, menghimpun, dan sebagainya dikaitkan dengan ‘bi ismi Rabbika’. Pengaitan ini merupakan syarat sehingga menuntut dari si pembaca bukan saja sekadar melakukan pembacaan dengan ikhlas, tetapi juga antara lain memilih bahan-bahan bacaan yang tidak mengantarkannya kepada hal-hal yang bertentangan dengan ‘nama Allah’,” demikian tulis Ustad Quraish.
Nah, menurut saya, hanya dengan membaca yang baik, pikiran kita akan berkembang dengan baik dan, akhirnya, pikiran itu menjadi berkualitas. Wallahu a’lam.
Oleh Hernowo