Salah satu sektor yang sangat penting dan memiliki peran yang sangat strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia adalah pertanian. Selain berperan dalam pemenuhan kebutuhan pangan, sektor ini juga mampu menyerap 40,3 persen tenaga kerja dan menggunakan 71,33 persen lahan yang ada. Namun demikian, kontribusinya terhadap PDB hanya sebesar 15,3 persen. Salah satu permasalahan yang dihadapi para pelaku usaha pertanian adalah minimnya pembiayaan Untuk itu diperlukan adanya suatu model pembiayaan yang mampu memberikan stimulus kepada para pelaku usaha pertanian untuk dapat meningkatkan produksinya. Disinilah peran penting perbankan syariah sebagai solusi penyediaan pembiayaan bagi sektor ini.
Potensi yang dimiliki perbankan syariah cukup besar dalam mengatasi permasalahan ini karena perbankan syariah menawarkan sistem pembiayaan berbasis bagi hasil, yang dapat mengurangi beban para pelaku usaha pertanian karena adanya pembagian risiko yang tidak hanya ditanggung oleh pihak peminjam, sebagaimana skim kredit dengan bunga di perbankan konvensional. Namun demikian, pada kenyataannya penyaluran pembiayaan perbankan syariah terhadap sektor pertanian masih relatif kecil, bahkan pada tahun 2010 persentasenya hanya mencapai angka 2,58 persen.
Artikel ini mencoba menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembiayaan pertanian pada perbankan syariah di Indonesia secara kuantitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder runtut waktu {time series) bulanan .periode Juli 2004-Desember 2010, dan metode yang digunakan adalah deskriptif analitis serta Vector Autoregression (VAR)/Vector Error Correction Model (VECM). Pada model penelitian ini, sejumlah variabel diduga mempengaruhi tingkat pembiayaan pertanian, antara lain NPF {Non Performing Financing) khusus pertanian dan bukan NPF keseluruhan, inflasi, suku bunga SBI, equivalent rate pembiayaan, suku bunga kredit bank konvensional, equivalent rate Dana Pihak Ketiga (DPK), bonus SBI Syariah (SBIS), dan jumlah DPK.
Hasil VECM
Tabel 1 menunjukan hasil analisis VECM dalam jangka pendek maupun jangka panjang untuk model pembiayaan pertanian. Variabel NPF ternyata tidak signifikan dalam jangka panjang maupun jangka pendek, sehingga penyaluran pembiayaan pada sektor pertanian pada dasarnya tidak terlalu dipengaruhi oleh nilai NPF. Fokus permasalahan sebenarnya lebih kepada belum tersedianya skim pembiayaan yang tepat bagi sektor pertanian, yang lebih sesuai dengan karakteristik sektor ini. Demikian pula dengan variabel inflasi yang juga tidak signifikan dalam mempengaruhi pembiayaan sektor pertanian pada perbankan syariah, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek, meskipun inflasi ini merupakan risiko yang harus ditanggung oleh pihak bank syariah. Dengan kata lain, kedua va-riabel ini tidak menjadi pertimbangan utama perbankan syariah dalam menyalurkan pembiayaan pertanian.
Adapun suku bunga SBI, ternyata berpengaruh positif terhadap pembiayaan pertanian sebesar 0,220026. Artinya, ketika Suku Bunga SBI naik sebesar satu persen maka pembiayaan pertanian akan naik sebesar 0,220026 persen. Hal ini terjadi akibat kecenderungan perbankan konvensional untuk menempatkan dananya pada SBI, apalagi pada saat suku bunga SBI naik, dan bukan menyalurkannya pada sektor riil termasuk pertanian, sehingga perbankan syariah ter-stimulasi untuk menaikkan proporsi pembiayaan pertaniannya.
Selanjutnya, Equivalent Rate Pembiayaan (ERP) berpengaruh signifikan secara positif terhadap pembiayaan pertanian, dengan nilai sebesar 0,129624. Artinya, setiap kenaikan ERP sebesar satu persen maka akan meningkatkan pembiayaan pertanian sebesar 0,129624 persen. Ketika ERP naik, maka pendapatan yang diterima perbankan syariah semakin besar, dan sebagian dari hasil pendapatan ini disalurkan pada sektor pertanian, sehingga meningkatkan volume pembiayaan pada sektor ini.
Suku bunga kredit bank umum berpengaruh secara signifikan dan negatif terhadap pembiayaan pertanian, dengan angka sebesar -0,204700. Artinya, jika suku bunga kredit naik sebesar satu persen maka pembiayaan pertanian akan turun sebesar 0,204700 persen. Hal ini terjadi melalui perantara variabel permintaan terhadap kredit bank umum. Ketika suku bunga kredit naik, maka permintaan kredit konvensional akan menurun. Menurut penelitian Nugroho (2009), hubungan antara kredit perbankan konvensional dan pembiayaan perbankan syariah adalah searah, sehingga turunnya permintaan kredit konvensional akan menurunkan permintaan pembiayaan pada perbankan syariah. Penurunan terhadap pembiayaan syariah ini berdampak pada penurunan pembiayaan sektor pertanian.
Selain itu, benchmarking marjin profit murabahah, sebagai akad yang mendominasi perbankan syariah, terhadap tingkat suku bunga juga ikut mempengaruhi pergerakan naik turunnya pembiayaan tersebut, seiring dengan naik turunnya kredit konvensional. Karena itu, benchmarking ini perlu dikaji ulang, dan perbankan syariah hendaknya mengembangkan pricing model tersendiri, sehingga efek perubahan suku bunga dapat diminimalisir.
Selanjutnya, Equivalent Rate Dana Pihak Ketiga (ERDPK) berpengaruh signifikan secara positif terhadap pembiayaan pertanian sebesar 0,323794. Setiap kenaikan ERDPK sebesar satu persen maka akan meningkatkan pembiayaan pertanian sebesar 0,323794 persen. Ketika ERDPK naik, maka perbankan harus meningkatkan pendapatannya demi memenuhi kewajibannya kepada nasabah. Salah satunya adalah melalui peningkatan volume pembiayaan pertanian, di samping pembiayaan untuk sektor-sektor lainnya.
Bonus SBIS dan peningkatan kompetensi
Bonus SBIS juga berpengaruh secara positif sebesar 0,106752. Artinya, jika Bonus
SBIS naik sebesar satu persen maka pembiayaan pertanian akan naik 0,106752 persen. Hal ini membuktikan bahwa kenaikan hasil Bonus SBIS memberi andil terhadap peningkatan alokasi dana untuk pembiayaan sektor pertanian.
Yang sangat menarik, jumlah DPK ter-nyata berpengaruh secara negatif sebesar 3,799583. Artinya, jika jumlah DPK naik satu persen, maka pembiayaan pertanian justru turun sebesar 3,799583 persen. Ini menjadi indikasi bahwa peningkatan jumlah DPK tidak secara otomatis menaikkan pembiayaan pertanian, karena pihak perbankan syariah lebih cenderung untuk menyalurkan kenaikan DPK ini pada pembiayaan di sektor lain yang dianggap lebih menguntungkan.
Dengan melihat hasil estimasi terhadap variabel jumlah DPK dan Bonus SBIS, dapat disimpulkan bahwa perbankan syariah lebih mengandalkan bonus SBIS untuk penyaluran pembiayaan sektor pertanian dibandingkan dengan jumlah DPK yang berhasil dihim-pun. Inilah yang menjadi penyebab "stagnasi" prosentase pembiayaan pertanian selama ini, dimana angkanya masih di bawah tiga persen.
Adapun untuk jangka pendek, hasil estimasi VECM menunjukan bahwa terdapat koreksi kesalahan sebesar -0,005059 yang secara statistik tidak signifikan. Pada jangka pendek, variabel yang mempengaruhi pembiayaan pertanian secara signifikan adalah pembiayaan pertanian itu sendiri dan jumlah Dana Pihak Ketiga. Sedangkan variabel lain secara statistik tidak signifikan dalam mempengaruhi pembiayaan pertanian.
Satu hal yang sangat urgen untuk dilakukan ke depan adalah peningkatan kompetensi SDM bank syariah terhadap sektor pertanian. Perbedaan karakteristik pada sejumlah komoditas pertanian seharusnya mendorong inovasi model dan skim pembiayaan pada sektor ini. Koordinasi dan komunikasi dengan asosiasi dan komunitas pelaku usaha pertanian juga harus ditingkatkan.
Oleh Winda Nur Aprianti, Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB