Efisiensi merupakan hal yang sangat penting dan perlu mendapatkan perhatian agar perbankan syariah dapat berdaya saing, berkembang dan mampu berperan secara lebih optimal bagi pembangunan nasional. Sebagai entitas bisnis, perbankan syariah dituntut untuk senantiasa bekerja secara efisien.
Tulisan ini akan mengkaji tingkat efisiensi perbankan syariah di Indonesia serta membandingkan tingkat efisiensi Bank Umum Syariah (BUS) dengan Unit Usaha Syariah (UUS). Kajian ini menggunakan data tiga bulanan (quarterly) mulai kuartal 1 tahun 2004 hingga kuartal 4 tahun 2008 dari 9 bank, yaitu 3 BUS (BMI, BSM dan BSMI) dan 6 UUS saat itu (BNI Syariah, Permata Syariah, BRI Syariah, BTN Syariah, Bukopin Syariah dan Niaga Syariah). Dengan demikian kajian ini menggunakan 180 panel data.
Konsep dan teknik pengukuran efisiensi
Efisiensi didefinisikan sebagai perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input). Suatu perusahaan dikatakan efisien jika dapat menghasilkan output yang lebih besar dibandingkan perusahaan lain yang menggunakan input yang sama. Atau menghasilkan output yang sama, tetapi input yang dipergunakan lebih sedikit dibandingkan jumlah input yang digunakan perusahaan lain. Dengan demikian, ada tiga indikator untuk mengukur tingkat efisiensi, yaitu apabila dengan: (1) input yang sama dapat menghasilkan output yang lebih besar; (2) input yang lebih kecil dapat menghasilkan output yang sama; dan (3) input yang lebih besar dapat menghasilkan jumlah output dengan prosentase yang lebih besar.
Konsep pengukuran efisiensi perbankan pertama kali dikemukan oleh Farrell (1957). Secara teknik, ada tiga konsep efisiensi, yaitu efisiensi biaya (cost efficiency), efisiensi keuntungan standar (standart profit effeciency) dan efisiensi keuntungan alternatif (alternative profit-efficiency). Efisiensi biaya mengukur seberapa dekat perbedaan antara biaya nyata dengan berbagai kemungkinan tingkat biaya yang terjadi untuk menghasilan jumlah output yang sama. Efisiensi keuntungan standar mengukur seberapa dekat keuntungan nyata dengan tingkat keuntungan maksimum yang dapat dicapai pada tingkat harga input dan output tertentu. Sedangkan efisiensi keuntungan alternatif mengukur seberapa dekat keuntungan yang diperoleh bank dengan tingkat keuntungan maksimun yang mungkin dapat dicapai pada berbagai level kuantitas output dan harga input (Berger dan Mester, 1997).
Selanjutnya, efisiensi biaya dibagi dua yaitu efisiensi output dan efisiensi input. Efisiensi output didasarkan kepada perbandingan antara biaya di semua level output dengan biaya optimumnya. Inti dari efisiensi ini adalah seberapa banyak output yang dapat ditingkatkan secara proposional tanpa merubah jumlah input. Sedangkan efisiensi input adalah terkait dengan kemampuan perusahaan dalam menggunakan input secara efisien dalam menghasilkan output yang lebih banyak. Atau dengan kata lain, seberapa banyak input yang dapat dikurangi tanpa merubah jumlah output yang dapat dihasilkan. Pada prinsipnya ada dua teknik atau pendekatan dalam mengukur tingkat efisiensi perbankan yaitu (1) menggunakan rasio keuangan seperti ROA, ROE dan BOPO; (2) operation reseach(OR) seperti Data Envelopment Analysis(DEA), Stochastic Frontier Approch(SFA), Distribution Free Approch(DFA), Recusive Thick Frontier Approch(RTFA) dan Possible Free Hull (DFA).
Dalam tulisan ini, pendekatan yang digunakan adalah DEA. DEA adalah teknik pe mograman linear untuk menilai kinerja unit pembuat keputusan (decision making unit-DMU) atau suatu bank dalam suatu industri beroperasi dalam hubungannya dengan bank lain dalam sampel. Teknik ini membuat kumpulan batas (frontier set) perbankan yang efisien dan membandingkannya dengan perbankan lain yang tidak efisien. Ini dilakukan untuk membuat nilai efisiensi, nilai efisiensi dibatasi antara 0 dan 1. Bank yang paling efisien mempunyai skor 1, dan bank yang tidak efisien skornya 0. Dalam pendekatan DEA, bank yang paling efisien dengan nilai 1 tidak perlu menghasilkan tingkat output maksimum daripada input yang ada. Bank tersebut cukup menghasilkan “best practice level of output” di antara bank lain dalam sampel.
Dalam menghitung tingkat efisiensi dengan pendekatan DEA, perlu ditentukan variabel input dan output, dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan penghasilan, perantaraan, dan aset. Dalam tulisan ini pendekatan yang digunakan adalah pendekat an perantaraan, karena dianggap lebih sesuai jika dikaitkan dengan fungsi perbankan syariah sebagai lembaga perantara antara pihak penyimpan dana (surplus units) dan pihak yang memerlukan dana (defisit units). Adapun yang diperlakukan sebagai variabel input adalah sumber daya manusia, aset tetap (fixed aset) dan dana pihak ketiga (deposit). Sedangkan yang diperlakukan sebagai variabel output adalah pembiayaan dan surat berharga. Kemudian juga dalam pendekatan DEA ada dua perhitungan efisiensi yaitu constant return to scale(CRS) dan variable ruturn to scale(VRS).
Hasil perhitungan dan analisis Ada beberapa hasil temuan yang sangat penting. Pertama, tingkat efisiensi perbankan syariah secara total (overall). Untuk menghitung tingkat efisiensi perbankan syariah secara total dilakukan dengan men-jumlah seluruh nilai efisiensi seluruh periode kajian, kemudian dicari rata-ratanya. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa tingkat efisiensi perbankan syariah: rata-rata 0,84 (84 persen) untuk CRS, rata-rata 0,95 (95 persen) untuk VRS dan rata-rata 0,88 (88 persen) untuk skala efisiensi. Hasil perhi-tungan lebih rinci dapat dilihat pada tabel 1.
Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa dalam pendekatan DEA dihitung tingka efisiensi CRS dan VRS. Untuk CRS diasumsikan bahwa rasio antara penambahan input dan output adalah sama. Artinya, jika input ditambah sebesar nkali, maka output juga akan meningkat sebesar n kali. Asumsi lain dari CRS, setiap perusahaan telah beroperasi pada skala yang optimum. Untuk meningkatkan tahap efisiensi dari 0,88 menjadi 1, maka perlu ditambah input sebesar 1-0,88 atau 0,12. Sedangkan untuk VRS diasumsikan bahwa rasio antara penambahan input dan output tidak sama. Artinya, penambahan input sebesar n kali tidak akan menyebabkan output meningkat sebesar n kali, bisa lebih kecil atau lebih besar. Dengan demikian, untuk meningkatkan tingkat efisiensi perbankan syariah dari 0,95 menjadi 1, inputnya tidak mesti ditambah sebesar 1-0,95 atau 0,05, karena itu tidak menjamin bahwa tingkat efisiensinya meningkat sebesar peningkatan jumlah input.
Kedua, efisiensi perbankan syariah secara kelompok. Untuk menghitung tingkat efisiensi perbankan syariah secara kelompok (BUS dan UUS) dilakukan dengan membandingkan tingkat efisiensi setiap kelompok bank syariah tersebut ke dalam sebuah set terpilih, sehingga diperoleh nilai efisiensi setiap bank berdasarkan pembanding dalam satu kelompok dan bank yang paling efisien dari setiap kelompok dibandingkan satu sama lain, sehingga dapat diketahui kelompok bank (BUS atau UUS) yang paling efisien. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui, bahwa rata-rata jumlah bank dari kelompok BUS yang efisien 92 persen. Sedangkan dari kelompok UUS bank yang efisien rata-rata 46 persen. Hal ini berarti kelompok BUS memiliki tingkat efisiensi yang lebih baik dibanding kelompok UUS.
Hasil kajian ini juga menunjukkan bahwa : (1) Baik dari kelompok BUS maupun UUS belum mencapai tingkat efisiensi yang optimum. Dengan demikian, perlu diperbaiki tingkat efisiensi dari kedua kelompok perbankan syariah tersebut; (2) Kebijakan BI yang mengharuskan UUS melakukan spin-off secara akademik dapat dibenarkan.
Implikasi kebijakan
Sebagai implikasi dari hasil kajian, penulis menyarankan, pertama, agar para pemangku kepentingan terutama manajemen terus berusaha meningkatkan efisiensi perbankan syariah menuju tingkat yang optimum. Kedua, secara empirik terbukti bahwa BUS lebih efisien dibandingkan UUS, sehingga kebijakan BI yang mewajibkan spin-off UUS pada tahun 2020 merupakan langkah yang tepat.
Oleh: Dr Rahmat Hidayat, Kepala Bidang Inovasi Pembiayaan Syariah Kemenpera dan Peneliti Tamu FEM IPB
Tulisan ini akan mengkaji tingkat efisiensi perbankan syariah di Indonesia serta membandingkan tingkat efisiensi Bank Umum Syariah (BUS) dengan Unit Usaha Syariah (UUS). Kajian ini menggunakan data tiga bulanan (quarterly) mulai kuartal 1 tahun 2004 hingga kuartal 4 tahun 2008 dari 9 bank, yaitu 3 BUS (BMI, BSM dan BSMI) dan 6 UUS saat itu (BNI Syariah, Permata Syariah, BRI Syariah, BTN Syariah, Bukopin Syariah dan Niaga Syariah). Dengan demikian kajian ini menggunakan 180 panel data.
Konsep dan teknik pengukuran efisiensi
Efisiensi didefinisikan sebagai perbandingan antara keluaran (output) dengan masukan (input). Suatu perusahaan dikatakan efisien jika dapat menghasilkan output yang lebih besar dibandingkan perusahaan lain yang menggunakan input yang sama. Atau menghasilkan output yang sama, tetapi input yang dipergunakan lebih sedikit dibandingkan jumlah input yang digunakan perusahaan lain. Dengan demikian, ada tiga indikator untuk mengukur tingkat efisiensi, yaitu apabila dengan: (1) input yang sama dapat menghasilkan output yang lebih besar; (2) input yang lebih kecil dapat menghasilkan output yang sama; dan (3) input yang lebih besar dapat menghasilkan jumlah output dengan prosentase yang lebih besar.
Konsep pengukuran efisiensi perbankan pertama kali dikemukan oleh Farrell (1957). Secara teknik, ada tiga konsep efisiensi, yaitu efisiensi biaya (cost efficiency), efisiensi keuntungan standar (standart profit effeciency) dan efisiensi keuntungan alternatif (alternative profit-efficiency). Efisiensi biaya mengukur seberapa dekat perbedaan antara biaya nyata dengan berbagai kemungkinan tingkat biaya yang terjadi untuk menghasilan jumlah output yang sama. Efisiensi keuntungan standar mengukur seberapa dekat keuntungan nyata dengan tingkat keuntungan maksimum yang dapat dicapai pada tingkat harga input dan output tertentu. Sedangkan efisiensi keuntungan alternatif mengukur seberapa dekat keuntungan yang diperoleh bank dengan tingkat keuntungan maksimun yang mungkin dapat dicapai pada berbagai level kuantitas output dan harga input (Berger dan Mester, 1997).
Selanjutnya, efisiensi biaya dibagi dua yaitu efisiensi output dan efisiensi input. Efisiensi output didasarkan kepada perbandingan antara biaya di semua level output dengan biaya optimumnya. Inti dari efisiensi ini adalah seberapa banyak output yang dapat ditingkatkan secara proposional tanpa merubah jumlah input. Sedangkan efisiensi input adalah terkait dengan kemampuan perusahaan dalam menggunakan input secara efisien dalam menghasilkan output yang lebih banyak. Atau dengan kata lain, seberapa banyak input yang dapat dikurangi tanpa merubah jumlah output yang dapat dihasilkan. Pada prinsipnya ada dua teknik atau pendekatan dalam mengukur tingkat efisiensi perbankan yaitu (1) menggunakan rasio keuangan seperti ROA, ROE dan BOPO; (2) operation reseach(OR) seperti Data Envelopment Analysis(DEA), Stochastic Frontier Approch(SFA), Distribution Free Approch(DFA), Recusive Thick Frontier Approch(RTFA) dan Possible Free Hull (DFA).
Dalam tulisan ini, pendekatan yang digunakan adalah DEA. DEA adalah teknik pe mograman linear untuk menilai kinerja unit pembuat keputusan (decision making unit-DMU) atau suatu bank dalam suatu industri beroperasi dalam hubungannya dengan bank lain dalam sampel. Teknik ini membuat kumpulan batas (frontier set) perbankan yang efisien dan membandingkannya dengan perbankan lain yang tidak efisien. Ini dilakukan untuk membuat nilai efisiensi, nilai efisiensi dibatasi antara 0 dan 1. Bank yang paling efisien mempunyai skor 1, dan bank yang tidak efisien skornya 0. Dalam pendekatan DEA, bank yang paling efisien dengan nilai 1 tidak perlu menghasilkan tingkat output maksimum daripada input yang ada. Bank tersebut cukup menghasilkan “best practice level of output” di antara bank lain dalam sampel.
Dalam menghitung tingkat efisiensi dengan pendekatan DEA, perlu ditentukan variabel input dan output, dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan penghasilan, perantaraan, dan aset. Dalam tulisan ini pendekatan yang digunakan adalah pendekat an perantaraan, karena dianggap lebih sesuai jika dikaitkan dengan fungsi perbankan syariah sebagai lembaga perantara antara pihak penyimpan dana (surplus units) dan pihak yang memerlukan dana (defisit units). Adapun yang diperlakukan sebagai variabel input adalah sumber daya manusia, aset tetap (fixed aset) dan dana pihak ketiga (deposit). Sedangkan yang diperlakukan sebagai variabel output adalah pembiayaan dan surat berharga. Kemudian juga dalam pendekatan DEA ada dua perhitungan efisiensi yaitu constant return to scale(CRS) dan variable ruturn to scale(VRS).
Hasil perhitungan dan analisis Ada beberapa hasil temuan yang sangat penting. Pertama, tingkat efisiensi perbankan syariah secara total (overall). Untuk menghitung tingkat efisiensi perbankan syariah secara total dilakukan dengan men-jumlah seluruh nilai efisiensi seluruh periode kajian, kemudian dicari rata-ratanya. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa tingkat efisiensi perbankan syariah: rata-rata 0,84 (84 persen) untuk CRS, rata-rata 0,95 (95 persen) untuk VRS dan rata-rata 0,88 (88 persen) untuk skala efisiensi. Hasil perhi-tungan lebih rinci dapat dilihat pada tabel 1.
Sebagaimana dijelaskan diatas, bahwa dalam pendekatan DEA dihitung tingka efisiensi CRS dan VRS. Untuk CRS diasumsikan bahwa rasio antara penambahan input dan output adalah sama. Artinya, jika input ditambah sebesar nkali, maka output juga akan meningkat sebesar n kali. Asumsi lain dari CRS, setiap perusahaan telah beroperasi pada skala yang optimum. Untuk meningkatkan tahap efisiensi dari 0,88 menjadi 1, maka perlu ditambah input sebesar 1-0,88 atau 0,12. Sedangkan untuk VRS diasumsikan bahwa rasio antara penambahan input dan output tidak sama. Artinya, penambahan input sebesar n kali tidak akan menyebabkan output meningkat sebesar n kali, bisa lebih kecil atau lebih besar. Dengan demikian, untuk meningkatkan tingkat efisiensi perbankan syariah dari 0,95 menjadi 1, inputnya tidak mesti ditambah sebesar 1-0,95 atau 0,05, karena itu tidak menjamin bahwa tingkat efisiensinya meningkat sebesar peningkatan jumlah input.
Kedua, efisiensi perbankan syariah secara kelompok. Untuk menghitung tingkat efisiensi perbankan syariah secara kelompok (BUS dan UUS) dilakukan dengan membandingkan tingkat efisiensi setiap kelompok bank syariah tersebut ke dalam sebuah set terpilih, sehingga diperoleh nilai efisiensi setiap bank berdasarkan pembanding dalam satu kelompok dan bank yang paling efisien dari setiap kelompok dibandingkan satu sama lain, sehingga dapat diketahui kelompok bank (BUS atau UUS) yang paling efisien. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui, bahwa rata-rata jumlah bank dari kelompok BUS yang efisien 92 persen. Sedangkan dari kelompok UUS bank yang efisien rata-rata 46 persen. Hal ini berarti kelompok BUS memiliki tingkat efisiensi yang lebih baik dibanding kelompok UUS.
Hasil kajian ini juga menunjukkan bahwa : (1) Baik dari kelompok BUS maupun UUS belum mencapai tingkat efisiensi yang optimum. Dengan demikian, perlu diperbaiki tingkat efisiensi dari kedua kelompok perbankan syariah tersebut; (2) Kebijakan BI yang mengharuskan UUS melakukan spin-off secara akademik dapat dibenarkan.
Implikasi kebijakan
Sebagai implikasi dari hasil kajian, penulis menyarankan, pertama, agar para pemangku kepentingan terutama manajemen terus berusaha meningkatkan efisiensi perbankan syariah menuju tingkat yang optimum. Kedua, secara empirik terbukti bahwa BUS lebih efisien dibandingkan UUS, sehingga kebijakan BI yang mewajibkan spin-off UUS pada tahun 2020 merupakan langkah yang tepat.
Oleh: Dr Rahmat Hidayat, Kepala Bidang Inovasi Pembiayaan Syariah Kemenpera dan Peneliti Tamu FEM IPB