Sebagai kepala negara, salah satu fokus kebijakan Umar bin Khattab dalam mengelola perekonomian negara adalah pengelolaan sektor moneter. Dengan wilayah kekuasaan yang semakin meluas, manajemen sektor keuangan ini menjadi hal yang sangat strategis. Pada praktiknya. Umar melandaskan kebijakan moneternya pada tiga pilar utama, yaitu menjaga stabilitas nilai uang dan daya beli masyarakat, menjaga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap uang yang beredar, dan mengembangkan konsep kesatuan uang pada seluruh wilayah Islam saat itu.
Tiga pilar
Dalam melaksanakan pilar yang pertama, Umar secara ketat melakukan monitoring terhadap pergerakan harga barang dan dampaknya terhadap nilai mata uang. Jika kemudian muncul inflasi dan penurunan nilai mata uang, maka Umar berusaha untuk melakukan berbagai adjustment policy untuk menjaga agar daya beli masyarakat jangan sampai turun. Misalnya, ketika harga unta terus naik dan harga emas terus turun, maka Umar menaikkan nilai diyat yang dibayarkan kepada keluarga yang terkena musibah, dari delapan ribu dirharn menjadi dua belas ribu dirharn.
Yang sangat menarik, untuk melindungiperekonomian dari inflasi, Umar menginstruksikan rakyatnya untuk menginvestasikan uang mereka pada sektor-sektor usaha produktif. Termasuk di dalamnya larangan untuk berlebih-lebihan dalam membelanjakan uang yang ada, jika ternya-ta tidak sesuai dengan kebutuhan hidup.
Selanjutnya, Umar berusaha mencegah berbagai praktik yang dapat menggerus nilai mata uang dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, antara lain larangan memperdagangkan uang dan mengharamkan riba, serta memerangi para penimbun yang berupaya menaikkan harga pasar di atas kewajaran. Apalagi pada saat itu muncul upaya pemalsuan uang, dimana dinar palsu (buruk) mulai beredar di pasar, sehingga ketika terjadi pertukaran antara dinar yang baik dengan yang buruk kualitasnya, maka itu termasuk ke dalam tindakan ribawi.
Untuk mencegah semakin meluasnya peredaran dinar yang buruk, Umar mengirimkan surat ke berbagai wilayah provinsi untuk mengingatkan rakyat agar jangan mengambil jalan riba, serta mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku utamanya. Umar sadar, jika tidak mengambil tindakan tegas seperti itu, maka dikhawatirkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap mata uang resmi akan berkurang, termasuk terhadap lembaga yang berwe-nang mencetak uang, sehingga berpotensi merusak fungsi dan nilai uang itu sendiri. Karena itu, sebagai realisasi kebijakan pilar yang kedua, Umar mengeluarkan instruksi resmi yang melarang segala jenis transaksi yang menggunakan uang palsu.
Ketika hal yang sama terjadi pada uang dirharn, di mana dirharn buruk mulai beredar akibat melemahnya pemerintahan Persia, Umar segera mengambil tindakan tegas. Tidak lama setelah menguasai Persia, Umar segera merestorasi tempat percetakan darham resmi di negeri tersebut demi menormalisasikan keadaan, sehingga dirharn asli yang tidak dicampur dengan bahan-bahan lain dapat segera dicetak dan diedarkan kembali.
Sedangkan pada pilar yang ketiga, demi terciptanya penyatuan nilai uang yang beredar, Umar menetapkan dirharn resmi negara setelah melihat adanya perbedaan pada nilai dirharn yang ada. Pada saat itu beredar dirharn bighall dengan nilai delapan daniq, dirharn thabari dengan nilai empat daniq, dan dirharn Yamani dengan nilai satu daniq.
Setelah melihat bahwa kedua jenis dirharn pertama yang paling banyak digunakan masyarakat, maka Umar kemudian menggabungkan keduanya sehingga jumlahnya 12 daniq, dan mengambil separuhnya (enam daniq) sebagai nilai dirharn
Islam. Menurut Al-Haritsi (2003), riwayat tersebut mengukuhkan pendapat bahwa Umar-lah khalifah pertama yang mencetak dirharn, dan bukan menentukan timbangan dirharn yang legal.
Pelajaran umar
Dari kisah di atas, ada dua pelajaran yang sangat penting. Pertama, orientasi kebijakan moneter Umar yang paling utama adalah pada perlindungan kepentingan rakyat dan penegakan keadilan. Kelompok masyarakat berpendapatan tetap adalah pihak yang paling dirugikan jika terjadi inflasi berkepanjangan akibat manajemen sistem moneter yang buruk.
Kedua, kebijakan moneter didesain sedemikian rupa untuk mendukung perkembangan sektor riil. Hubungan keduanya ibarat oli dengan mesin pada kendaraan. Fungsi oli adalah melancarkan jalannya mesin kendaraan. Ketika oli tersebut bermasalah, maka mesin perekonomian pun akan mengalami masalah, sehingga akan menzalimi rakyat secara keseluruhan. Dalam kaitan ini, Al-Ghazali telah membuat perumpamaan sektor moneter layakknya aliran darah dalam tubuh manusia. Jika terjadi "kemacetan" pada aliran tersebut, maka berpotensi menciptakan berbagai macam penyakit.
Dr Irfan Syauqi Beik, Ketua Tim Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB