Analisis Peran Baitul Mal Aceh Barat Daya

Pasca diterbitkannya Qanun nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal sebagai lembaga pengelolaan zakat, maka setiap Baitul Mal (BAZNAS) Ka bupaten/Kota di Aceh berusaha mengedepankan prinsip-prinsip manajemen modern dalam prakteknya. Diantara lembaga yang menjadi pionirnya adalah Baitul Mal Kabupaten Aceh Barat Daya. Program yang ditawarkannya pun sangat variatif dan inovatif. Tulisan ini ini mencoba mengangkat dua hal pokok, yaitu bagaimana sejarah singkat berdirinya Baitul Maal, yang menjadi tulang punggung pengelolaan zakat di Aceh, dan bagaimana dampak penyaluran zakat Baitul Maal Aceh Barat Daya terhadap penurunan angka kemiskinan mustahik.

Baitul Maal dalam sejarah Aceh
Sebelum tahun 1970, pengelolaan zakat di Aceh masih sangat tradisional, yaitu sebatas zakat fitrah dan zakat padi yang diserahkan pada ulama setempat. Sedangkan zakat mal lainnya hanya sebatas zakat perniagaan. Pemahaman zakat pun hanya terbatas pada kalangan tertentu saja seperti orang-orang yang pernah belajar di Dayah dan Abu Gampoeng, sehingga sosialisasi zakat sangat terbatas dan belum adanya campur tangan pemerintah. Karena itu, pada tahun 1973 dirintislah lembaga formal pengelolaan zakat melalui keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh No.5 tahun 1973 tentang Pembentukan Badan Penertiban Harta Agama (BPHA), yang kemudian berubah menjadi Badan Harta Agama (BHA) pada tahun 1975.

Pada tahun 1991, keluar keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pembentukan BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak dan Sedekah), sehingga di Aceh pada tahun 1998 BHA berubah menjadi BAZIS dengan struktur agak berbeda dengan BAZIS daerah lain secara nasional, yaitu terdiri dari Bazis Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Gampong.

Namun dalam perjalanannya, keputusan itu kurang bergema di Aceh akibat keberadaan UU No. 44/ 1999 tentang Keistimewaan Aceh. Sebagai tindak lanjut dari keistimewaan tersebut, maka lahirlah Perda No. 5/2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Salah satu dari 13 Pelak sanaan Syariat Islam Aceh adalah de ngan membentuk Badan Baitul Mal sebagai pengelola zakat dan harta aga ma. Langkah yang paling maju berkaitan dengan regulasi zakat yang dilakukan Provinsi Aceh adalah memasukkan zakat dalam struktur fiskal daerah atau PAD, sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2) huruf c UU No. 18/2001 tentang otonomi khusus sebagai Provinsi NAD.

Selanjutnya Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam mengeluarkan keputusan Gubernur No. 18/2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Baitul Mal Provinsi NAD, yang mulai beroperasi pada bulan Januari 2004. Selanjutnya ditetapkan Qanun Aceh No.7/2004 mengenai Pengelolaan Zakat.

Pasca tragedi tsunami pada tahun 2004 dan selepas MoU Helsinki tahun 2005, Aceh mengalami transisi hukum di mana UU No. 18/2001 diganti dengan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (PA). Undang-undang ini menetapkan kembali status zakat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pendapatan Asli Kabupaten/Kota (PAK) yang diatur dalam pasal 180 ayat (1) huruf (d).

Pada awal tahun 2008, berdasarkan Qanun No. 10/2007, maka Badan Baitul Mal berubah menjadi Baitul Mal dengan empat tingkatan, yaitu Baitul Mal Aceh, Baitul Mal Kabupaten/Kota, Baitul Mal Kemukiman dan Baitul Mal Gampong. Fungsi dan kewenangan Baitu Mal adalah mengelola dan mengembangkan zakat, waqaf dan harta agama, dengan
tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas berdasarkan syariat islam.

Dibandingkan dari segi pengelolaan lembaga zakat, maka Qanun Baitul Mal telah menambah tugas lembaga tersebut dengan pengelolaan wakaf. Kemudian, berdasarkan Perppu No.2/2007, yang selanjutnya ditetapkan menjadi UU No.48/2007, Baitul Mal juga menjadi wali atau wali pengawas terhadap anak yatim piatu beserta hartanya, serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada ahli warisnya. Baitul Mal Kabupaten Aceh Barat Daya adalah lembaga daerah non struktural yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat independen dan diberikan kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, waqaf dan harta agama lain dengan tujuan untuk kemaslahatan bagi rakyat.

Pendekatan metodologi
Selanjutnya, untuk mengetahui apakah zakat yang disalurkan Baitul Maal Aceh Barat Daya memiliki dampak positif atau negatif terhadap kemiskinan, maka penelitian ini
menggunakan sejumlah alat analisa, yaitu headcout ratio (H), untuk mengetahui berapa jumlah dan persentase tingkat orang miskin, Poverty Gap (P1) dan Incame Gap Ratio (I) untuk mengetahui tingkat kedalaman kemiskinan, dan indeks Sen (P2) serta Indeks Foster, Greer dan Thorbecke (FGT) yaitu (P3) yang digunakan untuk mengukur tingkat keparahan kemiskinan mustahik, dengan satuan ukuran rumah tangga.

Adapun jenis data yang digunakan adalah data primer dengan 251 orang mustahik Baitul Maal Aceh Barat Daya yang menjadi responden, yang telah dipilih secara acak, diberi kuisioner, dan diwawancara. Data garis kemiskinan diperoleh melalui pendekatan nisab (nisab approach) dengan menggunakan opsi nilai standar 85 gram emas murni yang besarnya Rp. 610.800,00. Standar ini kemudian dikonversi menjadi garis kemiskinan keluarga yang nilainya mencapai angka Rp. 2.393.725/keluarga/bulan.

Kemudian, hasil penelitian menunjukkan bahwa pendistribusian zakat oleh Baitul Mal Aceh Barat Daya secara umum dapat mereduksi jumlah tingkat kemiskinan, meski sangat kecil, yaitu dari 0,821 menjadi 0,817. Penurunan yang terjadi adalah sebesar 0,5 persen. Kemudian dari aspek kedalaman kemiskinan, zakat juga terbukti mampu mengurangi kesenjangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, yang diindikasikan oleh penurunan nilai P1 dari Rp 1.072.269,71 menjadi Rp 1.046.747,75 dan nilai I dari 0,448 menjadi 0,437. Masing-masing turun 2,38 persen. Sedangkan ditinjau dari tingkat keparahan kemiskinan, zakat juga mampu mengurangi tingkat keparahan kemiskinan yang ditandai dengan penurunan nilai Indeks Sen (P2) dari 0,475 menjadi 0,465, atau turun sebesar 2,09 persen, dan nilai indeks FGT (P3) dari 0,207 menjadi 0,199, atau turun sebesar 3,83 persen.

Fakta ini menunjukkan bahwa kinerja Baitul Maal Aceh Barat Daya terbukti mampu mengurangi angka kemiskinan mustahik. Meski demikian, upaya peningkatan kualitas program penyaluran, baik pendistribusian yang sifatnya konsumtif, maupun pendayagunaan yang sifatnya produktif, harus terus-menerus dilakukan.

Hal yang juga perlu ditingkatkan adalah kualitas SDM, yang memiliki profesionalitas dan penguasaan teknik-teknik penyaluran zakat secara efektif, di samping menguasai fiqh zakat dengan benar. Keberadaan SDM berkualitas ini mutlak diperlukan, agar misi zakat untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, dapat tercapai. Wallahu a’lam.

Oleh: Iin Supardi, Peserta Program Kaderisasi Ulama DDII-BAZNAS dan Peneliti Tamu CIBEST IPB
Sumber: REPUBLIKA, 27 SEPTEMBER 2012

Klik suka di bawah ini ya