Etika, Underground Economy, dan Zakat

“(Ada) lima perbuatan (yang akan mengakibatkan) lima malapetaka :(1). Tidaklah suatu bangsa mudah mengingkari janji, kecuali akan dikendalikan oleh musuh-musuh mereka, (2). Tidaklah mereka berhukum dengan sesuatu yang bukan diturunkan Allah, kecuali akan tersebar kekafiran, (3). Tidaklah merajalela di suatu tempat perzinahan, kecuali akan merajalela pula penyakit yang membawa kematian, (4). Tidaklah mereka mempermainkan takaran / timbangan atau kwalitas suatu barang, kecuali akan dihambat tumbuhnya tanaman, dan akan disiksa dengan kemarau panjang, dan (5). Tidaklah mereka menahan zakat, kecuali akan dihambat turunnya hujan yang membawa keberkahan” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas)

Hadits di atas menggambarkan sejumlah perilaku yang akan mengundang malapetaka. Dari perspektif ekonomi, hadits tersebut memiliki sejumlah pesan yang sangat penting. Paling tidak, ada tiga pesan utama yang ingin disampaikan Rasulullah SAW terkait dengan persoalan ekonomi dan bisnis. Pertama, urgensi etika bisnis yang benar dan kesesuaiannya dengan syariah (shariah compliance). Kedua, bahaya illegal economy atau underground economy apabila ia merajalela di suatu wilayah atau negara. Ketiga, urgensi membangun zakat dalam perekonomian.

Etika bisnis dan underground economy
Pada pesan yang pertama, Rasulullah SAW menegaskan pentingnya untuk memiliki etika bisnis yang benar dan sesuai dengan syariah. Pada hadits tersebut, basis etika yang harus dimiliki oleh setiap pebisnis adalah kejujuran dan integritas. Dua sifat yang sangat menentukan kinerja perekonomian, baik pada level makro maupun mikro.

Pada level makro, ketiadaan integritas dan kejujuran akan melahirkan budaya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini akan mengakibatkan beragam dampak buruk yang akan mereduksi kualitas kinerja perekonomian. Sebagai contoh, dalam suatu studi, World Bank menyatakan bahwa korupsi telah mengakibatkan dunia ini kehilangan lima persen dari GDP (Gross Domestic Product)-nya. Demikian pula dalam konteks Indonesia. Munculnya seruan untuk tidak membayar pajak, sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua PBNU Said Agil Siradj belum lama ini, merefleksikan betapa frustasinya masyarakat terhadap perilaku korup para pejabat dan elit negara ini.

Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka bangsa Indonesia akan dengan mudah dikendalikan oleh kekuatan asing, maupun oleh para komprador atau mafia lokal yang bekerja untuk kepentingan asing yang merusak. Indikatornya sederhana saja, yaitu ketika desain kebijakan ekonomi semuanya menguntungkan kaum pemodal besar dan kelompok asing, sehingga dengan mudahnya mereka meraup keuntungan dari kekayaan bangsa ini.

Pada level mikro, hilangnya kejujuran dan integritas individu, akan mengakibatkan penurunan kinerja perusahaan dan entitas bisnis lainnya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa perusahaan yang mampu menjaga reputasi dan integritasnyalah yang akan bertahan dalam persaingan global yang semakin ketat ini. Bahkan unsur etika inipun menjadi salah satu dasar penilaian bagi industri keuangan syariah dalam menyalurkan pembiayaannya.

Hal berikutnya adalah urgensi menjaga aspek shariah compliance. Ini menjadi sangat penting karena akan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap institusi ekonomi syariah. Perbankan syariah misalnya, harus bisa menampilkan pola negosiasi dengan nasabah yang mencerminkan nilai ekonomi syariah. Menyepelekan aspek ini akan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap ekonomi dan keuangan syariah, yang berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan terhadap ajaran Islam tentang ekonomi. Seolah-olah ekonomi dalam Islam sama saja dengan ekonomi konvensional.

Kemudian pada pesan yang kedua, Rasul SAW menegaskan kepada kita bahwa praktek-praktek underground economy seperti prostitusi, perdagangan manusia, dan penyalahgunaan narkoba, walaupun secara ekonomi menguntungkan, namun hanya akan melahirkan beragam kemadharatan. Biaya sosial yang ditimbulkan akan jauh lebih besar dibandingkan dengan manfaat ekonomi yang dirasakan. Karena itu, pemerintah harus secara tegas mengeliminasi praktek-praktek ekonomi ilegal ini melalui upaya yang sistematis dan sungguh-sungguh. Jangan sampai aktivitas ilegal ini dibiarkan beroperasi dengan leluasa di negara ini.

Zakat
Sedangkan pesan yang ketiga adalah terkait dengan pembangunan zakat. Sudah saatnya zakat dijadikan sebagai instrumen penting dan terintegrasi dalam pengelolaan kebijakan ekonomi negara. Zakat adalah media yang akan melahirkan kesalehan individual dan kesalehan sosial, serta akan memberikan dampak positif terhadap pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Karena itu, gerakan untuk membangun kesadaran berzakat, harus terus menerus dibangun, agar potensi zakat yang mencapai angka Rp 217 triliun ini dapat direalisasikan. Wallahu a’lam.

Dr Irfan Syauqi Beik
Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB

Klik suka di bawah ini ya