Di akhir tahun 2012 ini terdapat dua pertemuan internasional yang sangat penting terkait dengan perkembangan dunia perzakatan global ke depan, meskipun keduanya tidak memiliki keterkaitan langsung. Agenda yang pertama adalah Muktamar Zakat Internasional IX yang berlangsung di Amman, Yordania pada tanggal 26-28 November 2012, sedangkan agenda yang kedua adalah Expert Group Meeting yang diselenggarakan oleh IRTI (Islamic Research and Training Institute) IDB pada tanggal 11 Desember 2012.
Forum yang pertama adalah forum rutin dua tahunan yang melibatkan badan-badan zakat resmi negara-negara anggota OKI. Pada mulanya, forum yang pertama kali dilaksanakan di Kuwait tahun 1984 tersebut hanya dikhususkan untuk negara-negara Timur Tengah. Namun pada perkembangannya, muktamar tersebut diperluas ke belahan dunia lainnya, sehingga mencakup seluruh negara OKI. Indonesia sendiri baru bergabung pada tahun 2010 lalu di Beirut, Lebanon, saat berlangsungnya muktamar kedelapan, sehingga praktis keikutsertaan pada pertemuan Amman merupakan kali kedua.
Sedangkan forum yang kedua diselenggarakan oleh IRTI IDB dengan maksud untuk mengembangkan program IFSAP (Islamic Financial Sector Assessment Program), yang sesungguhnya merupakan bentuk adopsi dan penyesuaian dari FSAP (financial Sector Assessment Program) yang telah dikembangkan oleh Bank Dunia dan IMF sebelumnya, dengan fokus pada industri keuangan konvensional. IFSAP merupakan tools untuk mengukur dan menilai kinerja sektor keuangan syariah secara komprehensif, sekaligus melakukan evaluasi terhadap stabilitas sektor ini. Dengan assessment yang tepat, maka kemungkinan terjadinya krisis keuangan dapat dideteksi secara dini.
Dalam usulan template IFSAP yang akan dikembangkan, sektor keuangan syariah ini tidak hanya mencakup perbankan syariah saja, melainkan diperluas kepada seluruh lembaga keuangan syariah non bank, seperti asuransi syariah dan pasar modal syariah, hingga lembaga keuangan mikro syariah, zakat dan wakaf. Dimasukkannya zakat dan wakaf dengan pertimbangan bahwa kedua sektor ini merupakan pilar utama Islamic social finance yang memiliki potensi yang sangat besar. Apalagi secara filosofis, zakat merupakan instrumen yang disebut secara eksplisit dalam Alquran sebagai antitesa dari sistim riba.
Secara ekonomi, potensi dana zakat menurut studi Monzer Kahf mencapai angka 1,8 - 4,34 persen dari PDB masing-masing negara. Belum lagi ditambah dengan potensi wakaf, baik wakaf aset tetap maupun wakaf uang. Dari kedua pertemuan tersebut, penulis melihat ada benang merah yang bisa ditarik. Yaitu, adanya upaya menuju standarisasi pengelolaan zakat secara global. Telah muncul kesadaran secara internasional untuk membangun standarisasi ini secara lebih sistematis.
Tujuh aspek
Dari kedua pertemuan yang juga penulis hadiri itu, ada tujuh aspek yang menjadi fokus standarisasi ini, yang juga telah masuk menjadi bagian dari template IFSAP ke depan. Ketujuh hal tersebut adalah : (i) standarisasi regulasi dan aturan perundang-undangan, (ii) standarisasi pihak yang menjadi otoritas zakat, (iii) standarisasi penghimpunan zakat, (iv) standarisasi penyaluran zakat, (v) standarisasi good amil governance, (vi) standarisasi pelaporan dan pertanggungjawaban, serta (vii) cross-sector activities atau aktivitas lintas sektoral.
Pada aspek yang pertama, ada tiga model regulasi yang berkembang saat ini, jika ditinjau dari ada tidaknya UU Zakat serta wajib tidaknya zakat dari sudut pandang hukum positif (wajib siyasi). Jadi bukan hanya menjadi kewajiban agama (wajib syari). Ketiga model tersebut adalah model komprehensif, model parsial, dan model sekuler.
Dalam model komprehensif, negara telah memiliki UU Zakat secara khusus, yang mengatur seluruh aspek perzakatan secara detil, serta telah mewajibkan rakyatnya yang termasuk kelompok muzakki untuk menunaikan kewajiban zakatnya. Jika tidak, maka ada ancaman sanksi, baik yang sifatnya pidana dan atau sanksi administratif. Sedangkan pada model parsial, negara telah memiliki UU Zakat, namun belum mewajibkan rakyatnya untuk membayar zakat secara hukum positif. Biasanya pada model ini, UU Zakat lebih menitikberatkan pada aturan mengenai pengelola zakat atau institusi amil. Adapun pada model sekuler, tidak ada UU Zakat yang berlaku, dan pengelolaan zakat diserahkan sepenuhnya pada masyarakat.
Agar standarisasi ini bisa berjalan dengan baik, maka harus diupayakan agar setiap negara anggota OKI bisa mengembangkan model komprehensif. Model ini menjamin adanya proses integrasi yang kuat antara zakat dengan kebijakan fiskal dan perekonomian secara menyeluruh.
Selanjutnya pada aspek yang kedua, perlu ada definisi yang jelas mengenai otoritas zakat. Sama dengan sektor moneter dimana definisi otoritas sektor ini adalah bank sentral, meski di beberapa negara, sebagian kewenangan bank sentral diberikan pada pihak lain, yaitu otoritas jasa keuangan atau FSA (Financial Services Authority). Ini menjadi hal yang sangat penting.
Pada sisi ini, definisi otoritas zakat setiap negara berbeda-beda. Di Malaysia misalnya, otoritas zakat berada di bawah kendali Majelis Agama Islam (MAI), seperti MAI Wilayah Persekutuan yang memiliki Pusat Pungutan Zakat (PPZ) pada sisi penghimpunan dan Baytul Maal pada sisi penyaluran. Adapun di Arab Saudi, otoritas zakat dipegang oleh Maslahatuz Zakah yang berada di bawah kendali Kementerian Keuangan. Di Kuwait, otoritas zakat adalah Baytuz Zakah yang merupakan lembaga pemerintah yang independen, sementara di Indonesia, sebagian kewenangan ada di Kementerian Agama, sebagian lagi di tangan BAZNAS. Perbedaan ini perlu untuk distandarisasikan, sehingga akan memudahkan koordinasi pada level global.
Pada aspek yang keempat, definisi muzakki dan harta obyek zakat harus distandarisasikan sehingga setiap negara memiliki persepsi yang sama. Misalnya, meskipun muktamar zakat internasional telah memutuskan legalnya zakat profesi, namun di beberapa wilayah masih ada penolakan terhadap zakat profesi akibat minimnya sosialisasi dan edukasi. Sehingga, ada orang kaya muslim yang masuk kategori muzakki, dan ada orang kaya muslim yang tidak menjadi muzakki karena profesinya tidak ada dalam nash, seperti konsultan keuangan dan pengacara. Standarisasi ini penting agar persepsi umat ini bisa sama.
Demikian pula pada aspek kelima, yaitu penyaluran. Standarisasi ini sangat penting agar setiap negara memiliki panduan yang jelas, sehingga dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya moral hazard. Misalnya, menyalurkan zakat pada lembaga keuangan mikro syariah (LKMS), tapi oleh LKMS tersebut dana yang ada disalurkan kembali dalam bentuk pembiayaan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak masuk ke dalam kelompok usaha mikro milik mustahik. Ini tentu tidak sesuai dengan syariah. Standarisasi ini harus melahirkan guideline yang jelas terkait dengan program konsumtif dan program produktif, serta prioritas program yang harus dilakukan.
Good amil governance
Dua aspek terakhir adalah good amil governance (GAG) dan aktivitas lintas sektoral. Pada GAG, hal yang sangat penting antara lain adalah standarisasi kode etik amil, serta mekanisme reporting dan auditing yang sesuai syariah dan menjamin transparansi dan akuntabilitas lembaga zakat. Sedangkan aktivitas lintas sektoral merupakan bentuk sinergi antar instrumen dan institusi keuangan syariah, seperti kerjasama antara perbankan syariah, pasar modal syariah, BMT dan lembaga zakat dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Perlu ada panduan yang jelas agar masing-masing institusi tidak saling mengambil peran yang lain. Contoh, ketika zakat dikelola bank syariah, maka framework-nya menjadi berbeda dengan ketika zakat tersebut dikelola oleh badan/lembaga amil zakat. Seharusnya, zakat bank syariah diserahkan sepenuhnya pada lembaga zakat, namun pada sisi pemanfaatannya bisa disinergikan dengan program yang dimiliki bank syariah tersebut. Wallahu alam.
Dr. Irfan Syauqi Beik
Ketua DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam dan Wakil Ketua Komite ZISWAF PP-MES
Forum yang pertama adalah forum rutin dua tahunan yang melibatkan badan-badan zakat resmi negara-negara anggota OKI. Pada mulanya, forum yang pertama kali dilaksanakan di Kuwait tahun 1984 tersebut hanya dikhususkan untuk negara-negara Timur Tengah. Namun pada perkembangannya, muktamar tersebut diperluas ke belahan dunia lainnya, sehingga mencakup seluruh negara OKI. Indonesia sendiri baru bergabung pada tahun 2010 lalu di Beirut, Lebanon, saat berlangsungnya muktamar kedelapan, sehingga praktis keikutsertaan pada pertemuan Amman merupakan kali kedua.
Sedangkan forum yang kedua diselenggarakan oleh IRTI IDB dengan maksud untuk mengembangkan program IFSAP (Islamic Financial Sector Assessment Program), yang sesungguhnya merupakan bentuk adopsi dan penyesuaian dari FSAP (financial Sector Assessment Program) yang telah dikembangkan oleh Bank Dunia dan IMF sebelumnya, dengan fokus pada industri keuangan konvensional. IFSAP merupakan tools untuk mengukur dan menilai kinerja sektor keuangan syariah secara komprehensif, sekaligus melakukan evaluasi terhadap stabilitas sektor ini. Dengan assessment yang tepat, maka kemungkinan terjadinya krisis keuangan dapat dideteksi secara dini.
Dalam usulan template IFSAP yang akan dikembangkan, sektor keuangan syariah ini tidak hanya mencakup perbankan syariah saja, melainkan diperluas kepada seluruh lembaga keuangan syariah non bank, seperti asuransi syariah dan pasar modal syariah, hingga lembaga keuangan mikro syariah, zakat dan wakaf. Dimasukkannya zakat dan wakaf dengan pertimbangan bahwa kedua sektor ini merupakan pilar utama Islamic social finance yang memiliki potensi yang sangat besar. Apalagi secara filosofis, zakat merupakan instrumen yang disebut secara eksplisit dalam Alquran sebagai antitesa dari sistim riba.
Secara ekonomi, potensi dana zakat menurut studi Monzer Kahf mencapai angka 1,8 - 4,34 persen dari PDB masing-masing negara. Belum lagi ditambah dengan potensi wakaf, baik wakaf aset tetap maupun wakaf uang. Dari kedua pertemuan tersebut, penulis melihat ada benang merah yang bisa ditarik. Yaitu, adanya upaya menuju standarisasi pengelolaan zakat secara global. Telah muncul kesadaran secara internasional untuk membangun standarisasi ini secara lebih sistematis.
Tujuh aspek
Dari kedua pertemuan yang juga penulis hadiri itu, ada tujuh aspek yang menjadi fokus standarisasi ini, yang juga telah masuk menjadi bagian dari template IFSAP ke depan. Ketujuh hal tersebut adalah : (i) standarisasi regulasi dan aturan perundang-undangan, (ii) standarisasi pihak yang menjadi otoritas zakat, (iii) standarisasi penghimpunan zakat, (iv) standarisasi penyaluran zakat, (v) standarisasi good amil governance, (vi) standarisasi pelaporan dan pertanggungjawaban, serta (vii) cross-sector activities atau aktivitas lintas sektoral.
Pada aspek yang pertama, ada tiga model regulasi yang berkembang saat ini, jika ditinjau dari ada tidaknya UU Zakat serta wajib tidaknya zakat dari sudut pandang hukum positif (wajib siyasi). Jadi bukan hanya menjadi kewajiban agama (wajib syari). Ketiga model tersebut adalah model komprehensif, model parsial, dan model sekuler.
Dalam model komprehensif, negara telah memiliki UU Zakat secara khusus, yang mengatur seluruh aspek perzakatan secara detil, serta telah mewajibkan rakyatnya yang termasuk kelompok muzakki untuk menunaikan kewajiban zakatnya. Jika tidak, maka ada ancaman sanksi, baik yang sifatnya pidana dan atau sanksi administratif. Sedangkan pada model parsial, negara telah memiliki UU Zakat, namun belum mewajibkan rakyatnya untuk membayar zakat secara hukum positif. Biasanya pada model ini, UU Zakat lebih menitikberatkan pada aturan mengenai pengelola zakat atau institusi amil. Adapun pada model sekuler, tidak ada UU Zakat yang berlaku, dan pengelolaan zakat diserahkan sepenuhnya pada masyarakat.
Agar standarisasi ini bisa berjalan dengan baik, maka harus diupayakan agar setiap negara anggota OKI bisa mengembangkan model komprehensif. Model ini menjamin adanya proses integrasi yang kuat antara zakat dengan kebijakan fiskal dan perekonomian secara menyeluruh.
Selanjutnya pada aspek yang kedua, perlu ada definisi yang jelas mengenai otoritas zakat. Sama dengan sektor moneter dimana definisi otoritas sektor ini adalah bank sentral, meski di beberapa negara, sebagian kewenangan bank sentral diberikan pada pihak lain, yaitu otoritas jasa keuangan atau FSA (Financial Services Authority). Ini menjadi hal yang sangat penting.
Pada sisi ini, definisi otoritas zakat setiap negara berbeda-beda. Di Malaysia misalnya, otoritas zakat berada di bawah kendali Majelis Agama Islam (MAI), seperti MAI Wilayah Persekutuan yang memiliki Pusat Pungutan Zakat (PPZ) pada sisi penghimpunan dan Baytul Maal pada sisi penyaluran. Adapun di Arab Saudi, otoritas zakat dipegang oleh Maslahatuz Zakah yang berada di bawah kendali Kementerian Keuangan. Di Kuwait, otoritas zakat adalah Baytuz Zakah yang merupakan lembaga pemerintah yang independen, sementara di Indonesia, sebagian kewenangan ada di Kementerian Agama, sebagian lagi di tangan BAZNAS. Perbedaan ini perlu untuk distandarisasikan, sehingga akan memudahkan koordinasi pada level global.
Pada aspek yang keempat, definisi muzakki dan harta obyek zakat harus distandarisasikan sehingga setiap negara memiliki persepsi yang sama. Misalnya, meskipun muktamar zakat internasional telah memutuskan legalnya zakat profesi, namun di beberapa wilayah masih ada penolakan terhadap zakat profesi akibat minimnya sosialisasi dan edukasi. Sehingga, ada orang kaya muslim yang masuk kategori muzakki, dan ada orang kaya muslim yang tidak menjadi muzakki karena profesinya tidak ada dalam nash, seperti konsultan keuangan dan pengacara. Standarisasi ini penting agar persepsi umat ini bisa sama.
Demikian pula pada aspek kelima, yaitu penyaluran. Standarisasi ini sangat penting agar setiap negara memiliki panduan yang jelas, sehingga dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya moral hazard. Misalnya, menyalurkan zakat pada lembaga keuangan mikro syariah (LKMS), tapi oleh LKMS tersebut dana yang ada disalurkan kembali dalam bentuk pembiayaan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak masuk ke dalam kelompok usaha mikro milik mustahik. Ini tentu tidak sesuai dengan syariah. Standarisasi ini harus melahirkan guideline yang jelas terkait dengan program konsumtif dan program produktif, serta prioritas program yang harus dilakukan.
Good amil governance
Dua aspek terakhir adalah good amil governance (GAG) dan aktivitas lintas sektoral. Pada GAG, hal yang sangat penting antara lain adalah standarisasi kode etik amil, serta mekanisme reporting dan auditing yang sesuai syariah dan menjamin transparansi dan akuntabilitas lembaga zakat. Sedangkan aktivitas lintas sektoral merupakan bentuk sinergi antar instrumen dan institusi keuangan syariah, seperti kerjasama antara perbankan syariah, pasar modal syariah, BMT dan lembaga zakat dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Perlu ada panduan yang jelas agar masing-masing institusi tidak saling mengambil peran yang lain. Contoh, ketika zakat dikelola bank syariah, maka framework-nya menjadi berbeda dengan ketika zakat tersebut dikelola oleh badan/lembaga amil zakat. Seharusnya, zakat bank syariah diserahkan sepenuhnya pada lembaga zakat, namun pada sisi pemanfaatannya bisa disinergikan dengan program yang dimiliki bank syariah tersebut. Wallahu alam.
Dr. Irfan Syauqi Beik
Ketua DPP Ikatan Ahli Ekonomi Islam dan Wakil Ketua Komite ZISWAF PP-MES