Pemikiran Ekonomi Sang Hujatul Islam, Al-Ghazali

Jospeh A. Schumpeter dalam karya klasiknya, History of Economic Analysis (1954) memperkenalkan sebuah tesis “Great Gap” yang menyatakan bahwa terdapat masa kekosongan (blank centuries) antara zaman kejayaan Yunani (Greeks) sampai zaman munculnya ilmuwan-ilmuwan Latin (Latin Scholastics), khususnya St Thomas Aquinus (1225-1274 M) di Eropa. Selama masa kekosongan ini, Schumpeter berpendapat bahwa tidak ada tulisan satu pun yang relevan tentang ekonomi.


Tesis Schumpeter ini berusaha menafikan kontribusi peradaban Islam terhadap evolusi perkembangan ilmu pengetahun (intellectual evolution) sampai zaman modern ini. Di saat Islam mencapai puncak kejayaannya di Cordova, kehidupan orang Eropa masih berada pada titik peradaban yang terendah. Kehidupan bangsa Eropa mulai berubah ketika mereka mulai bersentuhan dengan peradaban Islam di Andalusia (Spanyol).


Pada hakekatnya, peradaban Islamlah yang menjembatani kontinuitas peradaban Yunani sampai ke Eropa dan Barat. Namun masa kejayaan Islam ini berusaha ditutup-tutupi oleh sebagian ilmuwan Klasik Barat  dengan memunculkan istilah “Great Gap” atau “Blank Centuries”.


Masa kejayaan Islam yang berlangsung lebih dari 6 abad lamanya telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan klasik Islam beserta karya-karya monumentalnya yang sampai saat ini masih menjadi rujukan kaum intelektual di kalangan Islam maupun Barat dalam berbagai disiplin ilmu zaman modern ini.


Al-Ghazali adalah salah satu ilmuwan muslim yang sering dikutip pemikirannya dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk dalam pemikiran ekonomi.


Beberapa penelitian membuktikan adanya kesamaan pemikiran ekonomi Al-Ghazali (1058-1111 M) dalam Ihya ‘Ulum al-Din dengan pemikiran St Thomas Aquinus (1225-1274) dalam Summa Theologica-nya.


Margaret Smith (1944) mengatakan, “there can be no doubt that Al-Ghazali’s works would be among the first to attract the attenton of these European scholars”, kemudian dia mengatakan lagi bahwa salah satu tokoh Kristen yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Al-Ghazali adalah St Thomas Aquinus. Dia belajar di University of Naples di mana pengaruh literatur dan budaya Arab sangat dominan pada saat itu. Bahkan lebih lanjut dia mengatakan, Albertus Magnus and Raymond Martin yang menjadi guru sekaligus mentor Thomas Aquinus, sangat familiar dengan pemikiran Al-Ghazali dan ilmuwan Arab muslim lainnya.


Tulisan ini dimaksudkan untuk menelusuri pemikiran ekonomi Al-Ghazali sebagai upaya untuk membantah tesis Great Gap-nya Schumpeter bahwa Blank Centuries yang berlangsung selama 6 abad itu tidak pernah terjadi dan berusaha membuktikan bahwa pada masa itu justru terjadi puncak peradaban Islam, khususnya perkembangan berbagai ilmu pengetahuan.


Berbagai Ilmu


Al-Ghazali yang nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Tusi Al-Ghazali lahir di Tus Khurasan, Iran pada tahun 450 H (1058 M). Beliau diperkirakan telah menghasilkan 300 buah karya tulis yang meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti logika, filsafat, moral, tafsir, fiqh, ilmu al-Quran, tasawuf, politik, administrasi, dan ekonomi.


Namun yang tersisa hingga kini hanya 84 buah, di antaranya adalah Ihya ‘Ulum al-Din, Tahfut al-Falasifaha, al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk, al-Mustashfa, Mizan al-‘Amal.


Pemikiran ekonomi Al-Ghazali setidaknya mencakup konsep dasar tentang perilaku individu sebagai economic agent, konsep tentang harta, konsep kesejahteraan sosial (maslahah), market evolution, demand dan supply, harga dan keuntungan, nilai dan etika pasar, aktivitas produksi dan hirarkinya, sistem barter dan fungsi uang, dan fungsi negara dalam sebuah perekonomian.


Menurut Al-Ghazali, terlibat dalam aktivitas ekonomi hukumnya fardu kifayah. Aktivitas ekonomi harus didasarkan pada tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat.


Lebih lanjut lagi ia menjelaskan alasan kenapa manusia harus terlibat dalam urusan ekonomi, yaitu:


Pertama, Allah telah menciptakan sumber daya alam yang melimpah untuk dimanfaatkan oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya, sekaligus sebagai bukti kesyukuran kepada Sang Maha Pemberi Rezeki.


Kedua, orang yang kuat secara ekonomi maka hidupnya akan bebas, jauh dari ketergantungan pada orang lain dan dapat menjalankan ajaran agama secara sempurna, misalnya zakat, infak, sedekah dan ibadah haji.


Ketiga, perilaku dalam mengejar pemenuhan ekonomi tak boleh menyimpang dari ajaran dan prinsip agama Islam.


Al-Ghazali menekankan pentingnya bagi para pelaku ekonomi untuk memiliki pengetahuan tentang prinsip-prinsip dan aturan-aturan Islam dalam transaksi ekonomi. Mereka harus mengetahui jenis-jenis transaksi yang dilarang dan dibolehkan. Mereka harus mengetahui tentang bai’ (jual-beli), riba, salam, ijarah, musharakah dan mudharabah. Setiap transaksi-transaksi ekonomi tersebut memiliki rukun dan ketentuan yang wajid diketahui oleh para pelaku ekonomi demi menghindari kemudharatan dan kerugian yang bisa muncul kemudian hari.


Pemikiran sosio ekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial Islam”. Dari konsep ini kemudian lahirlah istilah masalih (utilitas, manfaat) dan mafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningktakan kesejahteraan sosial. Menurut Al-Ghazali, kesejahteraan suatu masyarakat hanya akan terwujud jika memelihara lima tujuan dasar, yaitu agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Melalui kelima tujuan dasar ini, dia kemudian membagi tiga tingkatan utilitas individu dan sosial, yakni daruriat (kebutuhan), hajiat (kesenangan) , dan tahsinat (kemewahan).


Jadi konsep tentang kemaslahatan dan kemudaratan sudah lama dikemukakan oleh Al-Ghazali sebelum konsep ini berkembang dalam ekonomi modern dengan istilah “kesejahteraan sosial”. Ia mengatakan bahwa setiap tindakan individu yang merugikan orang lain maka termasuk perbuatan zholim. Contoh perbuatan yang membahayakan kepentingan umum dan masuk dalam kategori perbuatan zholim menurut Al-Ghazali adalah menimbun barang dan memalsukan uang. Hal ini dianggap sebagai perbuatan zholim karena berdampak pada ketidakseimbangan pasar yang pada akhirnya merugikan kepentingan masyarakat umum.


Al-Ghazali juga mengemukakan secara detail tentang proses terbentuknya “pasar” secara alamiah. Pasar terbentuk karena adanya dorongan untuk saling memenuhi kebutuhan. Al-Ghazali menggunakan istilah pandai besi (blacksmiths), tukang kayu (carpenters), dan petani (farmers) untuk saling bertukar kepemilikan demi memenuhi kebutuhan masing-masing. Secara alamiah akan terbentuk suatu tempat yang disebut “pasar” untuk saling bertukar jika kebutuhan masing-masing berbeda. Al-Ghazali kemudian berpendapat bahwa dengan alasan perdagangan (tukar-menukar) maka akan terjadi perpindahan barang dagangan dari satu tempat ke tempat lain. Adapun motif utama di balik aktivitas ini adalah untuk mengumpulkan modal dan keuntungan. Adam Smith (1723-1790) yang hidup 700 tahun setelah Al-Ghazali mengungkapkan istilah yang hampir mirip dengan pandangan Al-Ghazali ketika menjelaskan proses terbentuknya pasar (tukar-menukar) , namun menggunakan istilah yang berbeda yaitu tukang daging (butcher), pembuat bir (brewer), dan tukang roti (baker).


“It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest. We address ourselves, not to their humanity but to their self-love.” (Adam Smith, The Wealth of Nation).”


Meskipun Al-Ghazali tidak banyak berteori tentang hukum pasar supply-demand seperti dalam teks buku-buku ekonomi saat ini, namun banyak pikirannnya bisa ditemukan dalam bukunya, khususnya Ihya ‘Ulum al Din yang menunjukkan kedalaman pemahamannya tentang hukum pasar supply-demand. Misalnya beliau mengatakan, “Ketika seorang petani tidak menemukan seorang pembeli atas hasil pertaniannya maka ia akan menjualnya dengan harga yang lebih rendah.” (Ghazanfar, 2005)


Al-Ghazali juga nampaknya begitu mengerti tentang ‘price-inelastic’ demand. Hal ini terlihat pada anjurannya untuk tidak mengambil keuntungan yang tinggi dalam perdagangan barang-barang kebutuhan dasar manusia seperti makanan.


Uang diciptakan untuk memfasilitasi pertukaran dalam transaksi ekonomi. Al-Ghazali sangat memahami fungsi uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange). Tukar-menukar barang dan jasa tidak akan efektif jika hanya mengandalkan sistem barter. Di sinilah manfaat ciptaan Allah bernama Dinar dan Dirham yang memiliki nilai intrinsic dan dapat digunakan sebagai alat pertukaran. Al-Ghazali mengatakan “kepemilikan uang (dinar dan dirham) tidak bermanfaat kecuali jika digunakan sebagai alat pertukaran barang dan jasa.” (Ghazanfar, 2005)


Uang tidak hanya berfungsi sebagai alat pertukaran tapi juga sebagai pengukur nilai (measure of value). Al-Ghazali mengingatkan supaya tidak menggunakan uang dalam praktik riba seperti dalam perkataannya:


“jika seseorang memperdagangkan dinar dan dirham untuk mendapatkan dinar dan dirham lagi, ia menjadikan dinar dan dirham sebagai tujuannya. Hal ini berlawanan dengan fungsi dinar dan dirham. Uang tidak diciptakan untuk menghasilkan uang. Melakukan hal ini merupakan pelanggaran. Dinar dan dirham adalah alat untuk mendapatkan barang-barang lainnya. Mereka tidak dimaksudkan bagi mereka sendiri.” (Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din)


Al-Ghazali juga memikirkan tentang fungsi Negara dan penguasa dalam pengaturan aktivitas ekonomi. Kemajuan ekonomi akan tercapai jika terjadi keadilan, kedamaian, kesejahteraan, dan stabilitas. Dan ini merupakan ruang lingkup tanggung jawab negara untuk mewujudkannya. Selain itu, Al-Ghazali juga berbicara tentang konsep keuangan publik. Pendapatan negara didapatkan dari zakat, fai, ghanimah dan jizyah. Sementara untuk pengeluaran publik, Al-Ghazali menganjurkan perlunya membangun infrastruktur sosio ekonomi yang manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.


Ali Rama, Master Student in Economics, IIUM.
Sumber: Majalah Hidayatullah

Klik suka di bawah ini ya