Pemerintah berkeras meneruskan program SLT (subsidi langsung tunai) walau program ini banyak mendapat kritikan pedas dari berbagai pihak. Setelah SLT tahap I selesai digulirkan, pemerintah memastikan pembayaran SLT tahap II akan dilakukan mulai 2 Januari hingga 31 Maret 2006. (Republika, 30/12/2005).Evaluasi secara cepat terhadap program SLT menunjukkan tingkat keberhasilan yang rendah. Secara umum kita dapat mengevaluasi program jaring pengaman sosial seperti SLT ini, dengan tiga kriteria utama yaitu: (i) cakupan (coverage), yaitu bagaimana kelompok miskin tercakup secara luas di dalam program; (ii) minimalisasi kebocoran (leakages), yaitu bagaimana kelompok non-miskin dapat dicegah untuk ikut menikmati program; dan (iii) minimalisasi biaya operasional program.
Sebagaimana telah diduga banyak pihak sebelumnya, program SLT memperlihatkan pencapaian yang rendah di semua kriteria. Buruknya basis data, tenggang waktu yang ketat, serta birokrasi yang lemah dan korup membuat program SLT gagal. Pemberitaan di berbagai media memperlihatkan tingkat cakupan program yang rendah dan tingginya tingkat kebocoran.
Di sisi lain, biaya operasional program juga tidak kecil, dan ironisnya sebagian besar justru harus ditanggung oleh si penerima program dalam bentuk transaction cost (biaya tranportasi dan pungli) yang tinggi ketika harus mengambil dana secara langsung ke tempat-tempat penyaluran dana yang telah ditunjuk. Bahkan di banyak tempat, penerima program tidak hanya berkorban dana tetapi juga keringat, darah dan bahkan nyawa karena harus berjibaku dalam antrian panjang yang kisruh untuk memperoleh Rp 300 ribu. Sebuah tragedi kemanusiaan yang luar biasa.
SLT dan Jaring Pengaman Responsif
Kegagalan program SLT menambah panjang daftar kegagalan program-program kompensasi sosial yang dilakukan oleh pemerintah seperti program JPS dan program raskin. Program targeted-subsidy massal seperti SLT, membutuhkan basis data yang akurat tentang siapa dan dimana orang miskin itu berada. Pengembangan basis data seperti ini membutuhkan usaha luar biasa dan dana yang sangat mahal. Dengan keterbatasan dalam kriteria penduduk miskin, tenaga SDM, dana dan waktu, tidak heran bila BPS gagal menyediakan basis data seperti ini. Hal ini menjadi semakin rumit untuk daerah-daerah yang terkena bencana alam luar biasa seperti Aceh dan Nias, atau daerah konflik seperti Poso.
Program targeted-subsidy juga membutuhkan sistem pengawasan dan informasi yang ketat dan berkelanjutan. Sifat dasar program mengharuskan adanya pengawasan yang ketat dalam penyaluran subsidi serta informasi yang terus menerus tentang si miskin mengingat kemiskinan adalah dinamis.
Lebih jauh lagi, program SLT menuai kritik karena program ini tidak mendidik masyarakat miskin, menumbuhkan mental pemalas, kental dengan nuansa feodal-subordinat, dan merendahkan kemanusiaan orang miskin.
Selain kegagalan dalam hal cakupan, kebocoran, dan biaya, program jaring pengaman sosial umumnya juga cenderung gagal dalam melindungi kelompok miskin pada waktu yang tepat. Adalah tidak jelas bagaimana program pengaman sosial yang diluncurkan setelah gejolak terjadi, dapat melindungi si miskin. Masalah waktu dan efektifitas menjadi hal paling krusial disini. Hal ini memunculkan isu tentang perlindungan terhadap kelompok miskin secara cepat dan tepat.
Program pengaman yang terbaik adalah ketika ia sampai di tangan si miskin ketika ia dibutuhkan (just-in-time delivery). Karenanya pendekatan yang lebih baik adalah dengan desain kebijakan yang secara otomatis bekerja ketika ia dibutuhkan. Kita sebut saja ia dengan jaring pengaman responsif.
Islam dan Jaring Pengaman Responsif
Islam sebagai sistem kehidupan memiliki pandangan yang unik tentang sistem jaring pengaman sosial yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, pemikiran ekonom muslim, maupun praktek sejarah. Dalam Islam, perlindungan sosial kepada kelompok miskin adalah berlapis-lapis. Perlindungan pertama berasal dari keluarga dan kerabat dekat (QS 2:233). Perlindungan kedua datang dari kaum muslim secara kolektif (QS 51:19). Dan perlindungan terakhir datang dari negara (QS 9:60). Islam memberikan kewajiban pada pemerintah, hanya setelah mendayagunakan modal sosial (social capital) yang ada di masyarakat. Perlindungan berlapis ini membuat sistem bekerja sangat responsif terhadap gejolak yang dialami kelompok miskin yang akan membuat mereka terhindar dari berbagai tragedi kemanusiaan akibat kemiskinan.
Dalam literatur sejarah pemikiran ekonomi Islam, kita mendapati pembahasan yang mendalam tentang jaring pengaman sosial. Ibn Hazm (994-1064 M) mencatat empat kebutuhan dasar penduduk yang wajib untuk dipenuhi oleh negara yaitu makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Ibnu Taimiyyah (1263-1328 M) berargumen bahwa setiap orang harus dijamin standar hidup minimum-nya agar dapat menjalankan kewajibannya terhadap keluarga, masyarakat, dan Tuhan. Lebih jauh lagi, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa semua aktivitas pertanian, industri, dan komersial yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, hukumnya adalah fardhu kifayah.
Praktek sejarah dalam pemerintahan Islam juga memberi kita pemahaman yang mendalam tentang berbagai prinsip-prinsip terkait kebijakan publik yang dapat dijadikan panduan bagi program jaring pengaman sosial.
Pertama, Islam memandang bahwa anggaran negara adalah harta kaum muslim, bukan harta negara, apalagi harta para pejabat-nya. Implikasinya, anggaran negara tersebut sepenuhnya dipergunakan untuk berbagai golongan tertentu dalam masyarakat (pro-poor budget) dan dibelanjakan sesuai prinsip-prinsip dalam hukum Islam. Sebagai misal, pada masa Khalifah Umar bin Khattab harta Baitul Mal dipergunakan mulai untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar; membiayai penguburan orang-orang miskin; membayar utang orang-orang yang bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu, sampai untuk pinjaman tanpa bunga untuk tujuan komersial. Bahkan, karena hidup sangat sederhana, Khalifah Umar sendiri pernah meminjam sejumlah kecil uang untuk keperluan pribadinya. Dengan prinsip ini, maka anggaran negara di dalam Islam menjadi sangat responsif dalam melindungi kelompok miskin.
Maka menjadi keprihatinan yang mendalam bagi kita melihat anggaran pemerintah negeri ini dimana sebagian besar anggaran habis hanya untuk membayar pokok dan bunga utang. Tidak terlihat upaya untuk menurunkan beban utang seraya pada saat yang sama melindungi kepentingan kelompok miskin.
Kedua, Islam mendorong penciptaan lapangan kerja yang luas. Dalam Islam, faktor produksi terpenting adalah bekerja dan kemalasan dipandang sebagai kehinaan. Sedemikian penting-nya bekerja hingga Islam menjadikan bekerja sebagai salah satu pilar terpenting kualitas ke-Islaman seseorang (QS 9:105). Dalam sebuah riwayat Nabi Muhammad SAW memberi dua dirham kepada seorang laki-laki dan menyuruhnya agar makan dari satu dirham dan membeli kapak dari satu dirham sisanya sebagai modal agar ia bekerja. Tidak heran pula bila kemudian dalam lintasan sejarah Islam kita melihat perhatian yang besar dari pemerintah terhadap public works terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan penciptaan lapangan kerja.
Indonesia sebenarnya memiliki pengalaman cukup baik dalam hal ini seperti dalam program IDT (inpres desa tertinggal) dan program padat karya. Program padat karya disamping menyelesaikan masalah kemiskinan temporer, juga akan menambah stok modal masyarakat, mengurangi tekanan terhadap penurunan tingkat upah di pasar tenaga kerja informal, serta menekan tingkat urbanisasi desa-kota. Sifat dasar program padat karya seperti upah rendah dan sifat pekerjaan yang kasar, membuatnya berfungsi sebagai self-selecting mechanism sehingga akan memperluas coverage program dan mengurangi leakages.
Institusionalisasi program padat karya membuat program ini menjadi salah satu bentuk jaring pengaman responsif yang menjanjikan. Dengan membuatnya permanen, maka program padat karya secara otomatis bekerja ketika ia dibutuhkan. Contoh klasik disini adalah Skema Jaminan Kerja di negara bagian Maharashtra, India. Skema ini ditujukan untuk mendukung pendapatan di daerah pedesaan dengan menyediakan pekerjaan pada tingkat upah rendah bagi siapapun yang menginginkannya. Program ini menurun pada masa panen dan meningkat pada masa paceklik. Mekanisme upah rendah menjadi automatic screen yang membuat program ini tepat sasaran. Program ini sebagian besar dibiayai oleh pajak dari penduduk kaya kota yang merasakan manfaat program ini berupa turunnya migrasi desa-kota.
Ketiga, Islam mendorong distribusi pendapatan dalam masyarakat. Islam memiliki mekanisme yang membuat kekayaan berputar tidak hanya dikalangan orang kaya. Instrument terpenting disini adalah zakat. Zakat memiliki berbagai keunggulan yang membuatnya menjadi jaring pengaman sosial yang responsif yaitu: (i) penggunaan zakat hanya untuk 8 golongan saja (ashnaf) yaitu fakir, miskin, amil zakat, mu’allaf, budak, orang yang berhutang, jihad fi sabilillah, dan ibnu sabil (QS 9:60). Karakteristik ini membuat zakat secara inheren bersifat pro-poor dan self-targeted; (ii) zakat dikenakan pada basis yang luas dan meliputi berbagai aktivitas perekonomian. Dengan demikian, potensi zakat adalah sangat besar. Hal ini menjadi modal dasar yang penting bagi pembiayaan program-program jaminan sosial; (iii) zakat adalah pajak spiritual yang wajib dibayar oleh setiap muslim dalam kondisi apapun. Karena itu, penerimaan zakat cenderung stabil. Hal ini akan menjamin keberlangsungan program pengaman sosial dalam jangka waktu yang cukup panjang.
Selain zakat, Islam juga memiliki instrumen lain seperti infaq, shadaqah, dan wakaf. Secara bersama-sama, semua instrument tersebut akan membuat distribusi pendapatan lebih merata setiap waktu. Hal ini merupakan salah satu bentuk dari jaring pengaman sosial yang responsif.
Oleh: Yusuf Wibisono
Sumber: Republika Online