Ramadhan, Lebaran, dan Kemiskinan

Seorang kawan lama baru bisa mudik setelah shalat Id. Bukan karena ingin menghindari kemacetan yang terjadi di mana-mana menjelang Lebaran, melainkan karena sebagai pengurus DKM di sebuah masjid kompleks perumahan, ia harus menyalurkan zakat fitrah sampai menjelang subuh.


Dengan senang hati ia harus menyisir satu per satu ratusan kaum dhuafa, takut ada yang terlewat. Ia dengan keluarganya lebih memilih berlebaran dengan anak yatim dan fakir miskin untuk berbagi kebahagiaan.


Dua hari sebelumnya, ia membagikan paket bingkisan Lebaran yang berisi dua kilogram daging sapi, sebotol sirup, beberapa jenis kue kering, dan lima kilogram aneka buah-buahan. Tak lupa pula disisipkan pakaian baru yang cukup 'wah'.


Dengan mata berkaca-kaca, ia bercerita bahwa ia ingin agar para kaum dhuafa tersebut dapat makan enak minimal sekali dalam setahun di rumahnya masing-masing. Maklum, kaum papa sehari-hari hanya bisa makan ala kadarnya.


Uang untuk membiayai kegiatan tersebut ia dapatkan dari para jamaah masjid di lingkungan yang sebetulnya tidak bisa dikatakan sebagai kompleks orang berduit. Pengurus DKM rupanya pandai menyadarkan warga untuk menunaikan zakat secara benar. Terlebih lagi di bulan Ramadhan saat setiap amal kebaikan dilipatgandakan ganjarannya.


Setiap awal bulan, ratusan anak yatim dan orang jompo datang ke rumahnya menghadiri pengajian rutin. Selesai pengajian, mereka menyantap hidangan dengan lahap dan penuh keceriaan, seolah itulah makanan terbaik yang pernah mereka cicipi.


Memang istri teman saya tersebut terkenal pintar masak walaupun dengan bahan ala kadarnya. Ketika pulang, setiap anak yatim diberi beasiswa dan orang jompo diberi biaya hidup semacam bantuan langsung tunai.


Ia bercerita bahwa untuk memutus lingkaran setan kemiskinan, pendidikan bagi anak-anak kaum dhuafa merupakan solusi jangka panjang. Karena miskin, orang tua tak dapat menyediakan gizi yang baik sehingga tingkat kecerdasan anak-anaknya tidak seberkembang kelompok masyarakat yang lebih mampu.


Anak-anak miskin juga sering kali harus putus sekolah karena tak mampu memenuhi berbagai pungutan sekolah yang terkadang sangat bengis. Dibilang bengis karena sesungguhnya pungutan tersebut adalah ilegal dan tidak memperhatikan kondisi keuangan orang tua murid.


Bagi orang miskin, uang puluhan ribu rupiah sama dengan biaya hidup sepekan. Karena putus sekolah, si anak kemudian tidak bisa mendapatkan jenis pekerjaan yang baik dan akhirnya ketika dewasa mereka menjadi miskin seperti orang tuanya.


Sebagai solusinya, teman saya tersebut menargetkan setiap anak kaum dhuafa yang berada di bawah binaannya minimal bisa lulus SMA atau SMK. Bahkan, bagi yang cukup cerdas, sudah ada yang dibiayai sampai lulus PTN. Ketika seorang anak miskin tiba-tiba bisa jadi sarjana dan bekerja di sebuah bank dengan memakai dasi, anak-anak yang lain seperti mendapatkan sebuah mimpi baru bahwa kalau mereka rajin sekolah, suatu saat nanti belenggu kemiskinan itu akan terlepas dengan sendirinya.


Mimpi hidup nyaman memang sebuah barang langka bagi kaum dhuafa. Padahal, mimpi dan cita-cita merupakan motivator terpenting yang akan menentukan apakah seseorang akan sukses atau tidak.


Namun, mimpi indah itu terkadang pupus di tengah jalan ketika lingkungan sekolah sudah sangat hedonis. Seseorang hanya boleh sekolah kalau bisa membayar iuran, memiliki buku paket yang lengkap, dan berpakaian dengan baik.


Anak miskin seolah tidak mendapat tempat. Karena itu, setiap awal tahun pelajaran teman saya menyediakan bingkisan yang berisi pakaian seragam sekolah, tas, sepatu, kaus kaki, buku pelajaran, dan alat tulis-menulis. Itu disediakan agar si anak tetap percaya diri bergaul dengan anak yang lebih mampu dan tidak dikucilkan dari lingkungan pergaulannya.


Padahal, kami dahulu tidak pernah menghadapi hambatan hedonisme seperti itu. Kami dulu sama-sama bersekolah di SD Inpres yang berlantai tanah, tak pakai seragam sekolah, mayoritas hanya pakai sandal jepit dan cukup bawa satu pensil dan satu buku untuk semua pelajaran. Buku paket semuanya disediakan oleh pemerintah dan bisa dipinjam setahun penuh dari perpustakaan.


Sekarang, buku pelajaran setiap tahun berganti dan wajib dibeli dari sekolah atau dari penyuplai yang direkomendasikan. Aroma bisnis terlalu kental menghinggapi jiwa para guru.


Cerita tersebut memberikan dua pelajaran khusus bagi pengentasan kemiskinan di Indonesia. Pertama, kita sering melupakan bahwa masjid bisa menjadi lembaga yang cukup efektif dalam mengatasi masalah-masalah sosial. Tempat ibadah selayaknya menjadi pusat aktivitas kemasyarakatan.


Pada zaman Rasulullah dahulu, masjid bahkan menjadi pusat interaksi pemerintah dengan masyarakat. Saya yakin ada ribuan DKM yang melakukan aktivitas seperti yang dilakukan teman saya tersebut. Kalau program-program antikemiskinan dari pemerintah dititipkan kepada mereka, tentunya efektivitas dari program tersebut akan lebih baik dan dengan biaya yang lebih murah.


Sekarang ini dana pemerintah lebih banyak yang menyangkut pada orang atau lembaga yang tidak bertanggung jawab. Pengurus DKM pada umumnya adalah orang-orang yang oleh lingkungannya dianggap 'lebih jujur dan saleh' sehingga dana jarang sekali raib.  Yang jelas, mereka dianggap lebih dipercaya dibanding para birokrat yang suka makan duit rakyat.


Kedua, inti permasalahan dalam upaya pengentasan kemiskinan adalah bagaimana memahami berbagai permasalahan yang dihadapi oleh setiap keluarga miskin. Hanya orang-orang yang sangat intensif bergaul dengan mereka sajalah yang cukup paham mengenai hal tersebut.


Dengan demikian, desain program dan cara mengeksekusinya akan sangat spesifik sehingga berbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Itulah yang dinamakan kearifan lokal dalam versi kehidupan modern. Pengurus masjid ataupun lembaga sosial lainnya yang berskala lokal akan jauh lebih efektif dalam menjangkau kelompok sasaran karena merekalah yang lebih mengerti tentang keadaan di lingkungan sekitarnya.


Sebagai penutup, kita boleh saja memiliki konsep yang sangat ilmiah dari seorang profesor dari Harvard atau universitas berkelas dunia lainnya. Akan tetapi, yang harus diingat bahwa yang dibutuhkan oleh kaum dhuafa adalah program nyata yang sesuai dengan permasalahan yang mereka hadapi sehari-hari.


Teman saya pernah bilang bahwa masalah terbesar di Indonesia bukanlah di tataran konsep, melainkan lebih banyak dalam implementasi yang karut-marut. DKM bisa menjadi agen yang cukup kredibel dalam memecahkan masalah implementasi.


Oleh: Iman Sugema
Sumber: Republika

Klik suka di bawah ini ya