Secara ekonomi jumlah penduduk yang beragama Islam me rupakan potensi besar dalam menentukan arah ekonomi dunia. Jumlah ini dapat men jadi faktor pendorong per tumbuhan ekonomi, baik yang sifatnya sup ply-driven factor (jumlah tenaga kerja yang banyak) maupun demand-driven factor (potensi permintaan yang sangat tinggi).
Namun, perdagangan yang dilakukan Indonesia dengan negara-negara Islam lainnya ti dak sebesar perdagangan dengan negara tu juan ekspor utama, seperti AS, Jepang, dan Singapura. Ketiga negara tersebut merupakan tujuan ekspor tradisional produkproduk Indonesia.
Negara Islam yang cukup besar sebagai mitra dagang adalah Malaysia. Selain karena secara geografis sangat dekat, Indonesia dan Malaysia terikat dalam kerja sama ASEAN Free Trade Area (AFTA). Kerangka ASEAN Single Market diyakini akan memperdalam kerja sama keduanya. Sementara di sisi lain, Arab Saudi dan Pakistan juga merupakan mitra dagang yang cukup penting, walaupun nilainya lebih rendah dibandingkan dengan nilai perdagangan dengan Malaysia (Tabel 1).
Dengan melihat potensi ekonomi yang cukup besar, volume dan nilai perdagangan di tambah investasi di antara negara mayoritas Muslim, masih dapat ditingkatkan de ngan dukungan berbagai kebijakan. Ke bijakan ini diharapkan dapat mengurangi disinsentif jarak yang relatif jauh, terutama dengan negara-negara Timur Tengah.
Salah satu kendala atau hambatan perdagangan yang perlu dinegosiasikan adalah kebijakan bea masuk. Pada Tabel 1 diketahui bahwa tarif yang diberlakukan masih cukup tinggi. Misalnya, bea masuk barang ke Iran dan Turki masih di atas 100 persen (MFN basis). Besarnya tarif tersebut terkait dengan kebijakan proteksi industri domestik, sumber penerimaan negara, dan juga upaya melindungi masyarakatnya dari produk-produk yang membahayakan. Oleh karena itu, proses negosiasi tarif ini diperkirakan akan memerlukan waktu yang lama.
Faktor-faktor yang memengaruhi perdagangan
Untuk memahami lebih dalam faktorfaktor yang memengaruhi aliran perdagangan, khususnya antara Indonesia dan beberapa negara mayoritas Muslim, artikel ini mencoba menggunakan model regresi berganda. Peubah tidak bebasnya adalah nilai ekspor Indonesia, sedangkan peubah bebasnya adalah GDP riil negara tujun ekspor, nilai tukar rupiah dengan mata uang negara tujuan ekspor, dan jarak ekonomi antara Indonesia dan negara tujuan ekspor.
Hasil analisis regresi memberikan informasi yang menarik dan penting sebagai bahan pertimbangan dalam meningkatkan volume perdagangan dengan negara-negara anggota OKI lainnya. Dengan nilai probabili tasnya yang sangat kecil (di bawah 10 per sen), hasil riset menunjukkan bahwa ketiga peubah bebas dalam model tersebut memengaruhi perkembangan ekspor Indonesia ke negara-negara Islam lain, seperti Iran, Malaysia, dan Turki (Tabel 2).
Peningkatan pendapatan (pertumbuhan ekonomi) dari negara mayoritas Islam akan meningkatkan permintaan konsumsi masyarakatnya sehingga permintaan impor negara tersebut terhadap produk-produk Indonesia akan naik. Kenaikan harga minyak, terutama bagi negara-negara Timur Tengah, memberikan andil besar dalam meningkatkan volume perdagangan dengan Indonesia.
Bagi Indonesia, pertumbuhan ekonomi di negara-negara tersebut menjadi potensi besar dalam peningkatan ekspor melalui perbaik an sistem produksi agar dihasilkan barang yang relatif memiliki daya saing tinggi dengan kualitas yang diharapkan oleh konsumen di negara-negara yang menjadi mitra dagang kita.
Potensi perdagangan dengan negaranegara mayoritas Muslim ini dapat menjadi opsi atau alternatif dalam meningkatkan economies of scale maupun economies of scope ekspor Indonesia. Di samping itu, juga memperluas diversifikasi tujuan ekspor.
Ekspor Indonesia dan Malaysia, misalnya, tidak menjadi pesaing produk-produk di kawasan Timur Tengah, bahkan menjadi pro duk komplementer yang memberikan nilai tambah satu sama lain. Keragaman produk atau komoditas yang cukup besar akan memberikan kesempatan kepada konsumen mendapatkan harga dan kualitas yang sesuai dengan preferensinya.
Faktor penting lainnya yang dapat memengaruhi perdagangan antarnegara adalah nilai tukar riil, yang dapat menggambarkan ba gaimana daya saing negara tersebut berupa perbedaan relatif harga komoditas ekspor Indonesia dengan harga domestik di ne gara tujuan ekspor.
Namun, hasil analisis menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar rupiah belum dapat meningkatkan nilai perdagangan Indonesia dengan negara mitra dagangnya. Indonesia belum mampu memanfaatkan keuntungan dari adanya depresiasi nilai tukar.
Secara teoretis, depresiasi nilai tukar dapat meningkatkan nilai ekspor di mana depresiasi akan menyebabkan harga produk Indonesia menjadi lebih murah dibandingkan dengan harga luar negeri sehingga akan meningkatkan permintaan ekspor.
Walaupun demikian, nilai koefisien regresi yang menunjukkan respons perubahan nilai ekspor akibat perubahan nilai tukar rupiah masih sangat kecil (-0,04). Artinya, pada kasus di atas, depresiasi rupiah sebesar 10 per sen hanya akan berdampak pada penurunan ekspor sebesar 0,4 persen ke negarane gara Islam.
Dengan membandingkan kemampuan daya ungkit peubah pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar, model regresi tersebut memberikan indikasi bahwa peningkatan pendapatan di negara-negara tujuan ekspor merupakan faktor utama penggerak permintaan barang ekspor Indonesia.
Kendala lain dalam peningkatan ekspor ke negara-negara mayoritas Muslim adalah posisi geografis yang relatif jauh, khususnya antara Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya, kecuali Malaysia (ditunjukkan oleh tanda negatif koefisien regresi untuk peubah jarak). Secara ekonomi, semakin jauh jarak antarnegara, akan semakin berkurang pula volume dan nilai ekspor.
Konsumen di negara tujuan ekspor harus mengeluarkan dana cukup tinggi untuk meng ompensasi adanya tambahan biaya transportasi. Konsmen dengan perilaku yang ra sio nal, pasti akan mengurangi atau mengalih kan permintaan kepada komoditas domestik karena harganya relatif rendah dibandingkan dengan harga produk impor dari Indonesia.
Hasil ini memberikan panduan bahwa untuk mengompensasi mahalnya biaya transportasi ini, satu-satunya pilihan strategi yang dapat diambil adalah menawarkan produk dengan harga murah. Artinya, peningkatan efisiensi produksi perlu dilakukan, baik melalui kebijakan peningkatan teknologi agar dihasilkan jumlah produk yang cukup banyak maupun melalui penekanan terhadap biaya produksi.
Pengurangan dan penghilangan kendalakendala yang membuat biaya input lebih rendah harus diprioritaskan oleh pemerintah agar daya saing produk Indonesia semakin meningkat.
Free Trade Area
Hasil regresi pada Tabel 2 memberikan implikasi penting dalam upaya peningkatan kerja sama perdagangan dan investasi antaranggota OKI. Kesamaan ideologi serta keingin an untuk mencapai tujuan kolektif negara-negara mayoritas Muslim menjadi fundamental yang kokoh dalam kerja sama tersebut.
Gagasan percepatan kerja sama ini telah disampaikan secara individu oleh Menteri Perekonomian Iran dalam pertemuan Forum Ekonomi Islam Sedunia (WIEF) keenam di Kuala Lumpur tahun lalu. Format yang paling mungkin adalah kerja sama bilateral me lalui perundingan dua pihak, atau membentuk kerangka kerja (FTA) sesama negara mayoritas Muslim.
Agenda awal adalah identifikasi produkproduk yang sangat potensial untuk dikurangi hambatan perdagangannya. Agar kebijakan atau kesepakatan ini bersifat mengikat, diperlukan adanya payung hukum seperti kasus di ASEAN.
Secara hierarki, for -mat Free Trade Area merupakan bentuk ker ja sama yang dampaknya relatif terbatas. Namun, dukungan atau keinginan politik untuk mengejawantahkan harapan strategis ini sangat diperlukan.
Agar kerja sama perdagangan lebih efektif, perlu diikuti dengan upaya mening katkan investasi di negara-negara mayoritas Muslim. Dengan investasi ini, produk-pro duk yang dihasilkan akan memperoleh kon sesi bea masuk yang semakin rendah sehingga dapat diakses lebih mudah oleh kon sumen atau masyarakat.
Dr Dedi Budiman Hakim, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
Dian Pandjaitan, Asisten Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
Dian Pandjaitan, Asisten Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB