Ekspor-impor pada dasarnya merupakan perdagangan lintas negara, di mana negara yang satu membeli atau menjual barang dari atau kepada negara yang lain. Praktik eksporimpor merupakan sesuatu yang natural, di mana perbedaan sumber daya dan spesialisasi antarnegara mengakibatkan adanya perbedaan jenis produk yang diproduksi. Namun, di dalam aktivitas ekspor-impor pun terdapat praktik ketidakadilan ekonomi, yang tecermin antara lain melalui mekanisme berbasis riba dan gharar.
Riba dalam kegiatan ekspor-impor terkait dengan pertukaran mata uang sebagai alat transaksi dalam perdagangan internasional. Seringkali naik-turunnya harga barang-barang ekspor-impor (sektor riil) terjadi sebagai akibat apresiasi dan depresiasi nilai mata uang. Sehingga, baik riba al-fadhl maupun riba an-nasiah sering terjadi secara bersamaan dalam aktivitas ekspor-impor.
Praktik gharar dalam perdagangan internasional biasanya terlihat dalam aktivitas pengiriman barang, di mana pada umumnya barang yang diekspor/diimpor jumlahnya sangat banyak. Sehingga, tidak menutup kemungkinan terdapat sejumlah barang yang memiliki cacat produksi atau masuk dalam kategori haram.
Artikel ini mencoba mengembangkan suatu model perdagangan internasional yang sesuai dengan syariah dengan menggunakan pendekatan financial engineering(rekayasa keuangan) yang terdiri atas metode imitasi, mutasi, dan adaptasi.
Pengertian imbal dagang
Imbal dagang merupakan praktik perdagang an internasional yang dikemas dalam wujud barter. Praktik imbal dagang sudah dilakukan sebelum umat manusia mengenal uang. Saat uang sudah dikenal, imbal dagang masih dilakukan berbagai pihak sebagai taktik perdagangan alternatif. Pelaku praktik imbal dagang saat ini pada umumnya adalah institusi negara dan perusahaan multinasional.
Dengan imbal dagang, sebuah negara dapat menyiasati masalah defisit neraca pembayaran dan untuk memperoleh produk dari negara lain, meskipun infrastruktur pembayaran dengan uang dianggap sulit, mahal, atau tidak ada. Ini dapat terjadi bilamana suatu negara customertidak memiliki akses kepada mata uang kuat (hard currency) ataupun jika tidak memiliki banyak devisa yang diperlukan guna membeli barang-barang impor.
Dengan kata lain, imbal dagang dapat diandalkan untuk mengatasi persoalan risiko nilai tukar, tekanan persaingan pasar yang berat, atau perkembangan pasar yang kurang menggembirakan. Sehingga, ditinjau dari perspektif diplomasi perdagangan kontemporer, praktik imbal dagang dianggap sebagai salah satu praktik kreatif dalam upaya-upaya diplomasi perdagangan. (Latief dan Nugent, 1992) Praktik imbal dagang telah mengalami peningkatan sejak dasawarsa 1980-an.
Berdasarkan perkiraan yang dibuat oleh OECD pada 1983, jika seluruh aspek imbal dagang diperhitungkan, komponen imbal dagang mencapai 4,8 persen dari total perdagangan dunia (Miramon, 1985). Perkiraan lain mengatakan, persentase imbal dagang dari nilai perdagangan dunia akan mencapai lebih dari 40 persen pada awal abad ini. Menurut Hill (1998), dalam sebuah survey, bentuk imbal dagang yang paling banyak dilakukan perusahaan multinasional adalah offset(73 persen), disusul counterpurchase(60 persen), buyback (22 persen), barter (19 persen), dan switch trading(tiga persen). Imbal dagang memiliki praktik yang bervariasi, yang terbentuk dari jenis kesepakatan, pihak yang dilibatkan, dan opsi barang yang diperjualbelikan. Meski demikian, praktik imbal dagang tetap memiliki potensi terjadinya praktik ribadan gharar. Pemetaan potensi riba dan gharartersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Salah satu contoh kasus terjadinya gharar adalah masalah imbal beli pesawat CN-235 Indonesia dengan beras ketan Thailand pada 1999. Pada praktiknya, kesepakatan ini mengandung gharar, yang dalam hal ini disebabkan oleh beberapa hal, seperti a) bureacratic bottleneck (proses persetujuan yang tidak pasti dan berlarut-larut sehingga berpengaruh terhadap perubahan regulasi/harga), b) kebijakan yang bersifat jangka pendek serta tidak antisipatif terhadap risiko dan biaya sharingdengan mitra asing, c) sikapsikap tidak fleksibel/kaku dari para birokrat dengan program yang tidak biasa, dan d) BI ataupun Depkeu waktu itu cenderung memprioritaskan neraca pembayaran daripada neraca perdagangan, sehingga tuntutan peningkatan cadangan devisa dari hasil penjualan pesawat CN-235 memiliki nuansa politis yang lebih kental dalam tarik-menarik kepentingan kebijakan ekonomi.
Solusi imbal dagang
Untuk mencegah terjadinya masalahmasalah di atas, perlu dipersiapkan solusi agar negara-negara yang hendak melakukan imbal dagang sama-sama memperoleh manfaat yang baik dan tidak merusak satu sama lain baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Solusi-solusi tersebut menurut pandangan Islam merupakan upaya agar manusia senantiasa memperhatikan manfaat atau mas lahat ketika hendak mengambil keputusan ataupun kebijakan bagi pemerintah. Adapun beberapa alternatif solusi yang mungkin dapat dilakukan.
Pertama, menggunakan satuan mata uang yang sama dan stabil sebagai patokan harga dalam melakukan imbal dagang. Emas dan perak, dengan nilainya yang stabil, berpeluang besar menjadi komponen penting dalam transaksi imbal dagang. Kedua, menerapkan model konsesi sharingrisiko seperti mudharabah ataupun musyarakah dalam imbal dagang untuk produk yang akan dijual kembali pada pihak lain. Hal ini bertujuan untuk meringankan risiko ketidakpastian usaha dari imbal dagang, terutama yang melibatkan pihak ketiga.
Ketiga, memecah akad perjanjian imbal dagang ke dalam dua atau lebih klausul perjanjian yang berbeda. Secara regulasi, hal ini jauh lebih memudahkan para pejabat dalam memutuskan kebijakan imbal dagang. Sehingga, dapat meminimalisasi persoalan bureucratic bottleneck sebagai penyebab dominan munculnya gharar dalam imbal dagang . Meski imbal dagang ini tidak mudah dilaksanakan karena mengandalkan adanya mekanisme yang jelas secara keseluruhan, imbal dagang menawarkan peluang ekspansi ekspor dan impor yang lebih baik dibandingkan dengan skema perdagangan normal yang berbasis riba. Wallahu a’lam.
Ranti Wiliasih, Dosen Ekonomi Syariah FEM IPB