Ada kegundahan yang sangat mendasar diantara para aktivis perbankan syariah. Kegundahan tersebut menyangkut kecenderungan return bank syariah yang selalu mengikuti perkembangan suku bunga bank konvensional. Ketika suku bunga simpanan di bank konvensional meningkat maka bagi hasil yang diperoleh para penabung di bank syariah juga cenderung naik. Begitu juga dengan hubungan antara suku bunga kredit dengan imbalan yang didapatkan bank syariah dari berbagai skema pembiayaan yang disalurkan. Intinya, naik turunnya return di perbankan syariah hampir selalu searah dengan suku bunga perbankan konvensional.
Kegundahan ini tentunya sangatlah beralasan karena akan mengundang tuduhan bahwa sebetulnya pratek penghitungan imbal jasa intermediasi keuangan di perbankan syariah tak beda jauh dengan penghitungan suku bunga di perbankan konvesional. Apapun jenis transaksi pembiayaannya, apakah istisna, murabahah, musyarakah, atau mudarabah, anda dapat dengan mudah melakukan perbandingan imbal jasa syariah terhadap suku bunga. Yang menjadi pembedanya hanyalah ijab-kabul.
Pertanyaannya, kenapa hal tersebut bisa terjadi? Bukankah seharusnya terdapat perbedaan yang nyata antara kedua sistem perbankan tersebut? Ada tiga jawaban terhadap fenomena ini. Yang pertama merupakan jawaban teoritis, sedang yang dua lainnya merupakan kenyataan empiris.
Jawaban pertama berasal dari teori ekonomi yaitu yang disebut dengan hukum satu harga atau the law of one price. Hukum ini menyebutkan bahwa aset yang identik akan memiliki harga yang sama walaupun dijual di pasar yang berbeda. Agar mudah memahami fenomena ini, cobalah anda perhatikan harga rupiah terhadap dolar di berbagai tempat. Bukankah cenderung sama pada waktu yang sama? Kalaupun ada perbedaan, hanyalah sedikit saja.
Karena sebagai penabung yang kita simpan di bank konvensional dan di bank syariah adalah semata-mata uang. Karena itu imbalan yang kita peroleh dari kedua jenis bank ini mestinya kurang lebih sama. Kalau terlalu jauh perbedaanya, maka akan ada upaya untuk mengalihkan dana dari yang memberikan return yang rendah menuju ke yang lebih tinggi. Coba kita perhatikan suku bunga diantara sesama bank konvensional, bukankah selalu bergerak dengan trend yang sama? Hampir tak ada bank yang menurunkan suku bunga ketika semua bank lain menaikan suku bunga. Logika yang sama mestinya berlaku antara bank konvensional dengan bank syariah. Bagi hasil dari simpanan bank syariah akan cenderung memiliki trend yang sama dengan suku bunga bank konvensional. Ada perbedaan, tapi hanya sedikit saja.
Ketika suku bunga simpanan di bank konvensional naik, maka bank syariah akan juga dipaksa untuk menaikan bagi hasil. Kalau tidak, maka akan terjadi pemindahan dana dari bank syariah ke bank konvensional. Hal tersebut jelas akan mengganggu likuiditas bank syariah. Untuk mencegah itu, bank syariah harus mengimbangi imbalan yang diperoleh dari bank konvensional.
Jawaban yang kedua lebih bersifat empiris yaitu siapa yang jadi price leader dan siapa yang jadi follower. Walaupun pahit untuk menerimanya, perbankan syariah masih akan terus menjadi follower selama pangsa pasarnya masih rendah. Yang menentukan harga di pasar, adalah pihak yang lebih kuat. Karena itu kita harus menerima kenyataan bahwa kita belum bisa membalik keadaan. Tampaknya, untuk menjadikan perbankan syariah menjadi price leader di pasar keuangan masih memerlukan waktu yang panjang.
Jawaban yang ketiga lebih bersifat empiris dan ideologis. Dalam definisi the law of one price di atas, kata-kata asset yang sama harus digarisbawahi. Fenomena bahwa bank syariah menjadi follower bisa juga diartikan bahwa masalah halal-haram belum menjadi faktor penting bagi sebagian besar pemilik uang. Apakah itu juga berarti para pemilik uang tidak peduli dengan halal-haram? Bisa ya dan bisa juga tidak.
Untuk isu yang terakhir ini mari kita coba introspeksi saja. Mungkin masyarakat masih memandang bahwa praktek bisnis di bank syariah terlalu mirip dengan di bank konvensional. Barangkali penggunaan istilah yang sama bisa jadi mengaburkan makna yang sebenarnya. Kalau skema keuangan di bank syariah terlalu banyak yang mirip dan apalagi menggunakan istilah yang mirip, maka jangan salahkan masyarakat kalau mereka menganggapnya sebagai tidak adanya perbedaan yang signifikan.
Artinya, produk dan penamaan produk mestinya jauh berbeda supaya masyarakat yakin mana yang halal dengan yang haram. Coba silahkan tanya ke masyarakat apa perbedaan antara deposito syariah dengan deposito, KPR syariah dengan KPR. Kalau mereka tidak bisa menjelaskan dengan baik perbedaannya, maka ada risiko bahwa produk-produk di perbankan syariah dianggap tidak semuanya halal. Kami sendiri sering mendapatkan keluhan kok KPR di bank syariah terlalu mirip dengan di bank konvensional. Apa benar margin murabahah pada esensinya berbeda dengan penghitungan bunga di bank konvensional. Namanya sama-sama KPR, cicilannya hampir sepadan, cara bayarnya juga sama dan perbedaanya cuma terletak di embel-embel syariah atau iB saja. Sekali lagi jangan salahkan masyarakat. Adalah tugas dari para praktisi perbankan syariah untuk menjamin dan meyakinkan mereka bahwa perbedaan itu memang nyata.
Terkait dengan itu, mungkin ada baiknya untuk memikirkan secara serius agar kita tak terlalu doyan menyalurkan pembiayaan yang berbasis jual beli atau murabahah. Masalahnya memang bagi orang awam tetap sulit membedakan margin dengan bunga. Sekedar contoh praktis saja, sulit bagi siapapun untuk menjawab mengapa margin KPR murabahah 10 tahun lebih tinggi dibanding yang 5 tahun. Kalau margin adalah fungsi dari waktu, bukankah itu sama saja dengan suku bunga? Kalau begitu, margin sama dengan the price of time dong?
Intinya, kita harus mulai secara serius memikirkan bagaimana agar murabahah memang secara esensi berbeda dengan kredit konvensional. Ini adalah masalah yang serius. Jangan sampai produk yang seratus persen halal dianggap haram.
Dr Iman Sugema, Dosen IE FEM IPBM
Iqbal Irfany, Dosen IE-FEM IPB